JAKARTA, KOMPAS — Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan sejumlah permasalahan yang timbul akibat operasionalisasi PT Freeport Indonesia mulai diatasi. Permasalahan itu adalah pembuangan tailing, pemanfaatan kawasan hutan lindung, serta kerusakan ekosistem di sekitar operasi pertambangan di Timika, Papua. Pernyataan itu bakal memuluskan rencana divestasi saham Freeport ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum.
Dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Kepala BPK Rizal Djalil mengatakan, pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan bakal segera beres. Selain itu, Kementerian ESDM dan Kementerian LHK juga menerbitkan regulasi baru terkait dengan pengelolaan pertambangan yang dapat mencegah timbulnya penyimpangan.
”Soal Rp 183 triliun, angka itu adalah nilai kerusakan ekosistem, kalimatnya begitu. BPK akan memonitor (upaya pemulihannya) bersama Kementerian LHK. Kementerian LHK adalah mitra BPK dalam konteks pemeriksaan,” ujar Rizal, Rabu (19/12/2018), di Jakarta.
Pada April 2017, BPK merilis hasil audit mereka terhadap Freeport untuk menjadi masukan bagi pemerintah yang saat itu merencanakan divestasi saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. Dari temuan BPK, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas 4.535,93 hektar tanpa izin dari pemerintah. Freeport juga belum mengantongi izin lingkungan untuk operasi tambang bawah tanah mereka di lokasi yang dinamai deep mile level zone/DMLZ). Pembuangan tailing oleh perusahaan sudah mencemari sungai, hutan, bahkan laut.
Kelebihan pembayaran
Temuan lainnya, ada kelebihan pembayaran pencairan jaminan reklamasi Freeport sebesar Rp 19,4 miliar. Temuan terakhir BPK menyangkut operasi Freeport di Papua adalah minimnya pengawasan pemerintah terhadap operasi Freeport khususnya untuk operasi tambang bawah tanah sehingga sejumlah operasi perusahaan belum sesuai aturan.
Mengenai izin pinjam pakai, menurut Siti, saat ini sedang dalam tahap penyelesaian tahap akhir. Tentang pembuangan tailing, pihaknya tengah menyiapkan peta jalan bagi Freeport bagaimana mengelola tailing yang volumenya bisa mencapai 200.000 ton per hari. Penanganan tailing, menurut dia, tidak bisa selesai dalam kurun lima tahun.
”Peta jalan dibuat bertahap. Tidak akan cukup lima tahun. Yang pertama dikonsep sampai 2024, selanjutnya untuk periode 2025 sampai 2030,” kata Siti.
Adapun mengenai kekurangan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi dengan total sebesar 1,6 juta dollar AS, menurut Siti, Freeport memiliki rentang waktu 1 bulan sampai 24 bulan untuk menuntaskan pembayaran tersebut.
Sementara itu, Jonan mengatakan, segala kesepakatan antara pemerintah dan Freeport terkait dengan divestasi sudah final. Beberapa di antaranya kesediaan Freeport membangun smelter, perubahan status operasi dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), dan kewajiban perpajakan. Kesiapan perubahan status dari KK menjadi IUPK sudah memasuki tahap akhir.
Segala kesepakatan antara pemerintah dan Freeport terkait dengan divestasi sudah final.
”Freeport juga mendapat perpanjangan operasi dua kali masing-masing 10 tahun. Jadi, perpanjangan pertama akan berlaku sampai 2031 dan berikutnya mereka bisa mengajukan perpanjangan lagi 5 tahun sebelum masa kontrak habis,” ucap Jonan.
Saat ini, kepemilikan saham Pemerintah Indonesia yang direpresentasikan Inalum pada Freeport Indonesia adalah 9,36 persen. Melalui proses panjang dan berbelit, divestasi saham Freeport hingga mencapai 51 persen milik Inalum harus ditebus dengan harga 3,85 miliar dollar AS atau hampir Rp 60 triliun.
Divestasi saham pemegang IUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi itu, perusahaan tambang asing harus melepaskan sahamnya sedikitnya 51 persen kepada peserta Indonesia sejak berproduksi di tahun ke-10. Operasi Freeport di Papua sesuai kontrak karya akan berakhir pada 2021.