KPU, Kardus, dan Disinformasi
Munculnya polemik tentang kotak suara berbahan karton kedap air untuk Pemilu 2019 menjadi peringatan bagi penyelenggara pemilu agar lebih siap menghadapi disinformasi. Legitimasi pemilu dipertaruhkan.
Kotak suara berbahan karton kedap air yang sudah digunakan sejak Pemilu 2014 mendadak terkenal menjelang Pemilu 2019. Komisi Pemilihan Umum pun ”dipanggang” pengguna internet di media sosial. Peristiwa ini menjadi momentum untuk mengingatkan penyelenggara pemilu agar menyiapkan strategi menghadapi disinformasi yang bisa merusak legitimasi pemilu.
Keriuhan soal kotak suara itu muncul di berbagai platform media sosial. Di Twitter muncul tanda pagar atau tagar #TolakKotakKardusKPU. Di Facebook juga muncul komentar pedas ke KPU terkait penggunaan kotak suara karton itu. Data Google Trends tujuh hari terakhir di Indonesia pada Senin (17/12/2018), pencarian kata kunci ”kotak suara KPU” di Google menunjukkan peningkatan sejak 14 Desember siang, kemudian mencapai puncaknya 15 Desember pagi. Tingginya pencarian kata kunci ini terutama terjadi di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Pencarian lain masih terkait kata kunci itu yang terpopuler ialah ”kotak suara kardus KPU”, ”kotak suara kardus”, ”kardus KPU”, ”KPU kardus”, dan ”kotak kardus KPU”.
Grup Whatsapp juga tak lepas dari keriuhan kotak suara karton. Sebagian menyoal daya tahan kotak suara ini, tetapi ada juga yang mengaitkannya dengan anggaran Pemilu 2019 yang disebut lebih besar dari Pemilu 2014, tetapi justru kotak suaranya dari kardus. Salah satu foto yang disebarluaskan di media sosial, misalnya, menunjukkan perbandingan kotak suara karton dan kotak suara aluminium yang diberi informasi tambahan ”Gila Vs Waras”, lalu ”Ini yang namanya meroket”, ”2019 biaya 24 T kotak kardus, 2014 biaya 16 T kotak aluminium”, kemudian diberi keterangan foto kardus (24T) Vs aluminium (16T).
Informasi ini tak akurat dan bisa menimbulkan salah persepsi. Pasalnya, menurut data KPU, biaya pengadaan sekitar 4 juta kotak suara karton adalah Rp 284,1 miliar, atau sekitar Rp 70.000 per unit, sudah termasuk biaya distribusi.
Penjelasan
Setelah banjir komentar di media sosial, anggota KPU maupun anggota KPU di daerah mulai menjelaskan daya tahan kotak suara berbahan karton kedap air itu. Sebagian juga melengkapi dengan video dan foto saat kotak suara itu diduduki, diinjak, bahkan digunakan untuk mengangkat seseorang.
Ketua KPU Arief Budiman di Gedung KPU, Jakarta, juga sempat menunjukkan ketahanan kotak suara itu. Selain menduduki kotak suara itu, ia juga menyemprotnya dengan air selama beberapa kali untuk menunjukkan bahwa sisi luar karton tersebut sudah dilapisi material tahan air.
”Sebetulnya era penggunaan kotak aluminium bertahap ditinggalkan sejak 2014, karena usia aluminium itu sudah lama, sejak 2004, sehingga banyak yang rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Waktu itu, kami sudah berketetapan harus buat pemilu murah. Kotak suara bukan hanya murah di biaya produksi, melainkan juga distribusi dan penyimpanan,” tutur Arief.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga muncul perintah bahwa kotak suara harus bersifat transparan yang bermakna isi kotak suara harus terlihat dari luar. Oleh karena itu, KPU sempat mengkaji opsi penggunaan karton kedap air, seperti yang sudah digunakan sebagian pada Pemilu 2014, Pilkada Serentak 2015, Pilkada Serentak 2017, dan Pilkada Serentak 2018. Hanya saja, kendati spesifikasi bahan sama, ada perbedaan desain untuk Pemilu 2019 karena ada satu sisi yang dibuat transparan dengan memakai plastik mika tebal.
KPU juga sempat mempertimbangkan memakai kotak suara plastik, tetapi pilihan ini tak diambil.
Kepala Biro Logistik KPU Purwoto Ruslan Hidayat mengatakan, untuk mencetak kotak suara plastik, produsen harus mengimpor mesin cetakan dan prosesnya butuh waktu. Mendesain mesin cetakan impor bisa menghabiskan waktu beberapa bulan. Guna memproduksi 4 juta kotak suara juga butuh waktu sekitar setahun. Selain itu, dari sisi distribusi juga butuh waktu dan biaya lebih tinggi karena kotak itu tidak knockdown.
Strategi informasi
Direktur Eksekutif Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas Sigit Pamungkas mengingatkan, ada satu konteks yang pada pemilu ini ada, tetapi tidak hadir pada Pemilu 2014, yakni masifnya penggunaan media sosial sebagai media propaganda. Menurut dia, konteks ini belum direspons dengan baik oleh penyelenggara pemilu. Akibatnya, ketika ada satu proses mendelegitimasi pekerjaan penyelenggara pemilu, mereka terlihat gagap.
Pada masa mendatang, lanjut Sigit, KPU perlu memperhatikan isu yang diperbincangkan di media sosial dengan membentuk unit siber penyelenggara pemilu. Dengan demikian, semua upaya mendelegitimasi apa yang dilakukan KPU bisa ditangani dengan baik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini juga mengingatkan KPU untuk aktif membebaskan pemilih dari kebohongan dan informasi menyesatkan. Informasi bohong ini tak hanya menyasar peserta, tetapi juga penyelenggara.
Arief menyampaikan, KPU tidak menolak kritik sepanjang sesuai dengan fakta dan bertujuan mengontrol kinerja KPU. Namun, untuk informasi yang tidak berdasar, dia berharap publik ikut menilai apakah hal itu patut disampaikan atau tidak patut.
Arief meyakini jajaran KPU memahami tugas dan fungsinya untuk juga memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada pemilih. ”Memberikan penjelasan apa yang mereka sudah lakukan terkait tahapan pemilu, juga untuk memastikan pemilu dilakukan dengan cara profesional, berintegritas,” katanya.
Terlepas dari tugas penyelenggara itu, tentu, pengguna internet juga perlu bisa menimbang informasi sebelum membagikannya kembali. Jika penyelenggara pemilu terdelegitimasi oleh disinformasi, kerugian ada di semua pemangku kepentingan pemilu karena hasil pemilu yang menghabiskan dana besar bisa terdelegitimasi.