JAKARTA, KOMPAS—Upaya menekan kejadian diabetes tidak cukup dilihat dari perspektif pasien, tetapi juga perlu memperhitungkan penyedia layanan kesehatan. Mulai akhir tahun ini, sebuah studi formatif dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak untuk menguatkan manajemen diabetes.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, dalam diskusi media di Jakarta, Kamis (20/12/2018), menyampaikan, angka kejadian diabetes di Indonesia terus naik. Menurut Riset Kesehatan Dasar, prevalensi diabetes di Indonesia naik hingga 1,6 persen sejak 2013 menjadi 8,5 persen pada 2018.
"Persoalan dasar yang menjadi faktor risiko diabetes, antara lain kurang gerak, pola makanan, dan deteksi dini diabetes," ujarnya. Upaya memperbaiki persoalan tersebut bukan hanya tugas masyarakat, tetapi juga penyedia layanan kesehatan yang didukung pemerintah.
Persoalan dasar yang menjadi faktor risiko diabetes, antara lain kurang gerak, pola makanan, dan deteksi dini diabetes.
Pengendalian diabetes dan komplikasinya juga menjadi pekerjaan bersama. Diabetes tipe 2 yang 90 persen disebabkan gaya hidup, misalnya, harus menghadapi tantangan diagnosis penyakit. Keterlambatan diagnosis dan kurangnya kontrol penyakit memicu komplikasi yang membebani penyedia layanan kesehatan, juga pemerintah yang menyediakan biaya pengobatan.
"Untuk mengatasi tantangan itu, kita perlu membuat perbaikan sistem kesehatan untuk penanganan diabetes," kata Risman Abudaeri, Direktur PT AstraZeneca Indonesia. Perusahaan farmasi AstraZeneca mengumumkan pencanangan program Early Action in Diabetes (EAiD) bekerja sama dengan International Diabetes Federation (IDF), Primata Care Diabetes Europe (PDCE), dan World Heart Federation (WHF).
Studi formatif
Di Indonesia, program EAiD yang bertujuan membentuk gerakan melawan diabetes tipe 2 dengan pendekatan holistik, serta membangun kemitraan triple helix dengan akademisi, industri, dan pemerintah. Program ini diawali dengan membuat studi formatif yang dipimpin Center of Health Economics and Powey Science (CHEPS) Universitas Indonesia (UI).
"Penyakit diabetes di Indonesia itu unik. Oleh karena itu, kami ingin menggali realitas dari penderita diabetes, lalu membangun kerja sama dengan berbagai pihak agar pembuat kebijakan mengupayakan promosi dan pencegahan, hingga pendanaan untuk upaya kuratif yang efektif," kata Ketua CHEPS UI Budi Hidayat.
Studi akan dilaksanakan mulai Desember 2018 hingga Juni 2019 di tiga provinsi, yaitu Jakarta, Jakarta Timur, dan Sumatera Barat. Selain pasien, studi ini juga akan meneliti fasilitas kesehatan (faskes) mulai dari Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) hingga Rumah Sakit, baik negeri maupun swasta. Dokter di faskes dan petugas kesehatan di Dinas Kesehatan juga akan menjadi subjek penelitian.
Studi itu diharapkan menemukan masalah dasar dari lima tantangan utama terapi diabetes. Itu mencakup kurangnya jumlah dan kualitas pelatihan tenaga kesehatan, kurangnya sumber daya manusia yang tersedia untuk mendukung penanggulangan diabetes.
Kemudian, ketimpangan ketersediaan infrastruktur umum pada tingkat primer, kurangnya peralatan diagnostik di tingkat primer berdampak pada biaya lebih tinggi perawatan diabetes tingkat sekunder dan tersier, serta keterbatasan jumlah obat-obatan dan variasi obat diabetes bagi pasien. (ERIKA KURNIA)