Memasuki Momen Krusial Eropa 2019
Sepanjang 2018, wajah Eropa makin mengeras dengan masuknya Italia ke dalam klub negara-negara berpemerintahan kanan. Kredibilitas dua lokomotif Eropa, yaitu Emmanuel Macron dan Angela Merkel, terguncang oleh aksi protes para pemilih, sementara masa depan Inggris belum pasti menjelang tenggat Brexit, 29 Maret 2019.
Kemenangan partai ultra kanan, Gerakan Lima Bintang, yang antimigran dan skeptis terhadap Eropa dalam pemilu Italia pada Maret 2018, telah mengubah lanskap politik bukan saja di Italia, melainkan juga di Uni Eropa.
Di dalam blok Uni Eropa (UE), selain kubu Visegrad (Polandia, Ceko, Hongaria, dan Slowakia), yang memiliki pemerintahan yang ke kanan, Austria dan Italia menjadi pendatang berikutnya dalam kelompok ini dan telah menunjukkan penentangan terhadap kebijakan Brussels.
Sejak Oktober, Roma terus bersitegang dengan Brussels karena usulan anggaran belanja mereka ditolak oleh Komisi Eropa berhubung tidak sesuai dengan aturan fiskal. Italia memilih melawan dengan tidak merevisi anggarannya. ”Perlawanan” Italia itu belum pernah terjadi sebelumnya. Baru pekan lalu, Italia akhirnya memutuskan merevisi rancangan anggarannya. Brussels pun kemarin menyatakan, anggaran Italia telah sesuai dengan aturan UE.
Bukan itu saja, kebijakan Pemimpin 5 Bintang, Matteo Salvini, yang saat ini menjadi Menteri Dalam Negeri dan Wakil Perdana Menteri yang menganut ”keutamaan Italia” (Italian first) dan ”nol migran”, telah membuahkan sentimen rasisme yang kencang di negeri itu. Menurut Der Spiegel, Rabu (12/12/2018), antara Juni dan Oktober saja terdapat sedikitnya 70 insiden kekerasan berbau rasial yang dilaporkan kepada polisi, dan lebih banyak lagi yang tak dilaporkan.
Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), beberapa waktu lalu, mengungkapkan kekhawatiran mendalam karena semakin banyak kekerasan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir terhadap para migran, pencari suaka, pengungsi, bahkan warga Italia keturunan.
Rentetan insiden itu menunjukkan betapa pernyataan pemerintah yang membakar semangat rasisme telah diterjemahkan dalam semangat xenofobia, terlebih oleh kelompok-kelompok neofasis di berbagai pelosok negeri.
Merkel berakhir
Banjir migran ke Eropa yang dimulai pada 2015 menjadi pemicu berubahnya geopolitik Eropa. Selama tiga tahun terakhir, isu migran telah membawa perpecahan politik, perpecahan di masyarakat, dan yang pasti telah menumbangkan dominasi sejumlah partai politik arus utama di sejumlah negara, sejalan dengan bangkitnya partai-partai populis.
Kebijakan tangan terbuka Kanselir Jerman Angela Merkel untuk menerima sekitar 1 juta migran pada 2015 secara signifikan berdampak negatif terhadap popularitas partai Uni Demokratik Kristen/Uni Sosialis Kristen (CDU/CSU) dalam pemilu federal dan regional.
Itu sebabnya, Merkel, yang telah terpilih empat kali menjadi kanselir, pada pertengahan Desember lalu akhirnya digeser dari Ketua Partai CDU dan digantikan Annegret Kramp-Karrenbauer. Karrenbauer, yang merupakan anak ideologis Merkel, menang tipis atas Friedrich Merz dengan 51,75 persen suara berbanding 48,52 persen dalam Kongres CDU, 12 Desember lalu.
Meskipun Merkel masih akan menjabat sebagai kanselir—jika tak ada percepatan pemilu—sampai 2022, pergantian dirinya sebagai ketua partai menunjukkan bahwa era Merkel telah selesai. Perempuan paling berpengaruh di dunia ini telah membawa Jerman sebagai negara dengan ekonomi paling kuat di Eropa. Ia juga telah menjadi lokomotif di UE sehingga blok itu mampu berkembang dan stabil dalam berbagai guncangan ekonomi dan politik.
Merkel akan meninggalkan ruang kosong yang besar dalam kepemimpinan Eropa yang saat ini perlahan diisi oleh sosok Emmanuel Macron, Presiden Perancis yang visioner, ambisius, dan memiliki cita-cita besar tentang integrasi Eropa yang kuat.
Macron boleh berbangga karena dalam 20 tahun terakhir baru dirinya yang bisa menurunkan defisit anggaran Perancis di bawah 3 persen. Ia juga bisa memodernisasi dunia pendidikan dan perburuhan Perancis.
Namun, Macron gagal mengomunikasikan kepada rakyat bahwa pertumbuhan ekonomi Perancis yang sedang dibangunnya itu pada saatnya akan mampu mengoreksi ketimpangan sosial di Perancis. Rakyat Perancis tidak sesabar itu. Mereka menginginkan hasil segera dalam bentuk peningkatan kesejahteraan.
Terjadilah apa yang disebut gerakan ”rompi kuning” yang menentang kenaikan harga BBM, November lalu. Gerakan yang muncul tiba-tiba itu mampu menyatukan seluruh perasaan kemarahan terhadap pemerintah, dan berujung pada kerusuhan di Paris yang menyebabkan lebih dari seribu orang ditahan. Macron bukan saja menunda kebijakannya, melainkan ia juga menaikkan upah minimum sebesar 100 euro. Sebuah beban besar bagi anggaran ketika pemerintah bersusah payah melakukan efisiensi.
Fenomena rompi kuning akan membayangi kelanjutan pemerintahan Macron, dan secara signifikan mengurangi kredibilitasnya sebagai presiden yang bercita-cita memodernisasi Perancis. Secara tidak langsung, ketidakmampuan Macron di dalam negeri akan memengaruhi otoritasnya di blok UE. Macron akan sulit mengatur UE mendukung usulan reformasi zona ekonomi jika ia sendiri tidak mampu mengatur stabilitas di dalam negeri.
Brexit
Tergerusnya kredibilitas sejumlah tokoh sentral di UE akan berpengaruh pada kewibawaan blok ketika berhadapan dengan sejumlah isu besar pada 2019, di antaranya keluarnya Inggris dari UE dan pemilu Eropa.
Jika Brexit berakhir tanpa kesepakatan, baik Inggris maupun UE akan mengalami guncangan ekonomi dan politik. Menurut rencana, parlemen Inggris akan melakukan voting pada 14 Januari 2019. Jika kesepakatan Brexit yang telah ditandatangai Inggris-UE itu ditolak parlemen Inggris, sisa waktu 10 pekan dari tenggat 29 Maret 2019 akan menjadi periode paling krusial bagi kedua belah pihak.
Pada saat bersamaan, warga Eropa juga akan menghadapi pemilu legislatif untuk memilih para wakil di parlemen Eropa pada Mei 2019.
Umumnya, antusiasme pemilih tidak terlalu tinggi dalam pemilu Eropa. Akan tetapi, kali ini, situasinya akan berbeda. Inggris—jika jadi—baru saja bercerai dari UE sehingga relevansi UE akan menjadi pembicaraan nasional di mana-mana.
Serangkaian peristiwa yang telah mengubah Eropa dalam beberapa tahun terakhir: mulai dari serangan teroris, pencaplokan Crimea oleh Rusia, banjir imigran, hingga bangkitnya populisme, akan memaksa para pemilih menentukan kebijakan apa yang mereka inginkan dari Brussels. Dan, yang terpenting lagi, masa depan Eropa seperti apa yang mereka inginkan.