JAKARTA, KOMPAS — Pembiaran tambang batubara ilegal yang marak beroperasi di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, merupakan indikasi adanya tindak pidana korupsi. Sebab, pelanggaran hukum yang terjadi secara gamblang semestinya ditindak oleh aparat yang berwenang, bukan dibiarkan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Firdaus Ilyas, mengungkapkan, jika tambang ilegal marak beroperasi dalam waktu lama, artinya terjadi pembiaran baik itu oleh aparat pengawasan ataupun aparat penegak hukum. ”Bisa jadi praktik (tambang ilegal) itu menjadi sumber penghasilan ilegal,” kata Firdaus saat dihubungi di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Menurut Firdaus, aparat penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, perlu menelusuri lebih jauh apakah dalam pembiaran tersebut terdapat upaya sejumlah pihak untuk memperkaya diri. ”Harus dicari tahu apakah ada setoran atau suap di balik itu atau hanya keteledoran dari instansi terkait,” ujarnya.
Seperti diberitakan Kompas, Senin (17/12/2018), aktivitas tambang ilegal banyak ditemukan di Kalimantan Timur, terutama di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto. Padahal, tahura adalah hutan konservasi yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas apa pun, apalagi pertambangan batubara yang merusak lingkungan.
Kepala Satuan Tugas III Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK Dian Patria menduga, ada orang kuat di balik maraknya tambang ilegal yang beroperasi di Tahura Bukit Soeharto sehingga tidak ada yang berani mengganggu aktivitas yang melanggar hukum tersebut.
Kendati demikian, Dian mengakui, belum dapat memastikan adanya tindak pidana korupsi di dalamnya sebab hal itu perlu pembuktian. Namun, aktivitas tambang ilegal yang merusak lingkungan di kawasan konservasi tetap dapat dikenakan pelanggaran pidana kehutanan.
Cerminan buruk
Menurut Dian, pembiaran pelanggaran hukum, seperti tambang batubara ilegal di hutan konservasi, merupakan cerminan pelaksanaan tata pemerintahan yang buruk. Sebab, fungsi pengawasan dan penegakan hukum tidak berjalan.
”Yang jadi pertanyaan, mana mungkin mereka bisa lewat? Pasti batubara tersebut dicuci ke tambang tertentu. Buruknya lagi, di setiap tikungan ada orang yang ingin menikmati keuntungan,” ujar Dian.
Dian berpendapat, korban dari tambang ilegal ini adalah masyarakat di sekitar lokasi tambang tersebut. Mereka diadu domba karena ada yang setuju dengan tambang dan ada yang tidak setuju. Mereka yang setuju ke pengusaha karena kemungkinan mendapatkan imbalan. Adapun yang tidak setuju karena terkena dampak negatif dari aktivitas pertambangan. Namun, kedua belah pihak merupakan korban atas pelanggaran hukum tersebut.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Wafid Agung mengakui, banyak tambang ilegal yang masih beroperasi hingga kini.
”Kalau tanpa izin atau masa berlaku izinnya sudah habis tetapi masih melakukan aktivitas pertambangan, itu jelas masuk dalam kategori pertambangan tanpa izin atau ilegal,” kata Wafid.
Selama tahun 2018, hanya Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan yang menindak aktivitas tambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto. ”Kami sudah menangani tiga kasus. Satu sudah disidang, sedangkan dua lagi masih dalam penyelidikan,” ujar Kepala Seksi II Samarinda Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan Annur Rahim.
Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi menyebutkan, selama tiga tahun dibentuk, Unit Penegakan Hukum KLHK telah mengusut 551 kasus pelanggaran lingkungan yang menyeret korporasi ataupun perorangan. Nilai ganti rugi dan biaya pemulihan yang sudah berkekuatan hukum tetap akibat pelanggaran tersebut mencapai Rp 18 triliun.
Merugikan
Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai, aktivitas tambang ilegal merugikan semua pihak mulai dari negara, pengusaha batubara yang legal, hingga warga setempat. Kerugian itu disebabkan aktivitas pertambangan ilegal tidak menerapkan prinsip ketaatan aturan dan praktik pertambangan yang baik (good mining practices).
”Semua pihak dirugikan mulai dari negara yang kehilangan potensi pendapatan negara bukan pajak, kekeliruan perhitungan jumlah cadangan batubara, hingga kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor yang dihadapi warga sekitar,” ujar Rizal, saat ditemui di Jakarta, Kamis.
Wakil Ketua Perhapi Sudirman Widhy mengakui, aktivitas tambang batubara ilegal sebenarnya sudah diketahui sejak awal tahun 2000 di Kalimantan. Tergoda oleh harga batubara yang mulai merangkak naik, banyak petambang yang tidak jelas izin dan asal usul ikut menambang.
”Apalagi, pada era itu mulai digulirkan otonomi daerah. Pengeluaran izin dan pengawasan dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Ini membuat jumlah petambang, baik yang legal maupun ilegal, melonjak,” ujar Sudirman.
Karena merugikan semua pihak, Rizal meminta pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta aparat penegak hukum untuk menindak dan menertibkan petambang ilegal. Selain itu, Perhapi juga meminta pemerintah untuk mengawasi dan memberi sanksi kepada petambang legal yang belum menerapkan praktik tambang yang baik.