Pembuatan Kebijakan Sasar Hulu Hilir Kebutuhan Pelaku Usaha Rintisan
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan ekosistem usaha rintisan bidang teknologi perlu memperhatikan permasalahan yang dihadapi pelaku di setiap fase tumbuh kembang bisnis. Kebijakan yang diambil melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari Santosa Sungkari, Rabu (19/12/2018), di Jakarta, mengatakan, pembangunan ekosistem usaha rintisan bidang teknologi mulai dilakukan sejak 2016. Bekraf memakai pendekatan hulu hilir.
Untuk hulu, Bekraf memiliki program Bekraf for Pre Start Up (Bekup) yang ditujukan untuk memfasilitasi pematangan dan memvalidasi ide bisnis ataupun solusi teknologi digital. Ada pula Bekraf Developer Day yang mempertemukan tenaga kerja yang bergerak di bidang pemrograman komputer dengan mentor-mentor dari perusahaan teknologi berskala besar. Ribuan anak muda telah berpartisipasi di dua program ini.
Di hilir, dia menyebut program Bekraf Go Start Up Indonesia yang baru dirilis tahun 2018. Tujuan program ini adalah memfasilitasi akses permodalan perusahaan rintisan kepada investor dan pemodal ventura.
”Di beberapa kompetisi usaha rintisan kancah dunia pun kami kirim perusahaan rintisan lokal berpotensi. Setiap tahun, kami memfasilitasi pengiriman,” ujar Hari.
Di luar Bekraf, instansi kementerian dan lembaga lain juga memiliki kepedulian terhadap nasib tumbuh kembang usaha rintisan bidang teknologi. Sebagai contoh, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan program Gerakan 1.000 Start Up Digital dan Next Indonesia Unicorn (Nexticorn) yang tujuannya mencetak perusahaan rintisan baru bervaluasi 1 miliar dollar AS.
”Tantangannya adalah kesiapan menjalankan semua program itu secara sinergi dan rutin setiap tahun. Rata-rata kondisi di dunia menunjukkan hanya ada 10 persen dari total perusahaan rintisan digital tetap hidup dan bertumbuh. Maka, pemerintah terlibat dari hulu sampai hilir,” kata Hari.
Sehari sebelumnya, Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) meluncurkan buku Mapping and Database Start Up Indonesia 2018. Buku ini adalah hasil riset yang dilakukan MIKTI bersama Teknopreneur Indonesia dengan dukungan Bekraf.
Berdasarkan buku itu, terdapat 992 perusahaan rintisan bidang teknologi yang masih beroperasi hingga Desember 2018. Dilihat dari sisi domisili, 552 perusahaan berkantor pusat di Jabodetabek, 115 perusahaan di Sumatera, 113 perusahaan di Jawa Timur, 54 perusahaan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan 44 perusahaan di Jawa Barat. Sebanyak 34 perusahaan berlokasi di Sulawesi, 32 perusahaan di Bali dan Nusa Tenggara Barat, 24 perusahaan di Kalimantan, dan sisanya sejumlah 24 perusahaan tidak diketahui alamat pastinya.
Dari bidang usaha, 352 perusahaan atau 35,48 persen dari total berkecimpung di perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Lalu, 53 perusahaan bergerak di bidang teknologi finansial dan 55 perusahaan di bidang gim.
Sekitar 60,89 persen dari total perusahaan atau 604 berdiri antara tahun 2013 dan 2018, lalu diikuti 17,34 persen atau 172 perusahaan lahir kurun waktu 2007- 2012. Ada 35 perusahaan rintisan sisanya mulai beroperasi sebelum 2007. Mayoritas pendiri berasal dari generasi milenial.
Sekretaris Jenderal MIKTI Andy Zaky mengatakan, pengumpulan data perusahaan rintisan dilakukan melalui pendekatan kepada komunitas-komunitas usaha digital. Setelah data terkumpul, tim akan melakukan verifikasi kebenaran, penilaian, dan wawancara perjalanan bisnis setiap perusahaan rintisan.
”Delapan puluh persen dari total perusahaan rintisan yang berhasil terdata masuk dalam kelompok skala bisnis mikro dan kecil. Masalah utama mereka adalah akses permodalan. Jika pemberitaan media massa selalu menyorot kesulitan pendanaan, itu karena masalah sebagian besar perusahaan rintisan,” ujarnya.
Dari 992 perusahaan rintisan yang terdata, 113 perusahaan di antaranya belum berbadan usaha. Ada pula 270 perusahaan rintisan yang status badan usahanya tidak jelas.
Andy mengungkapkan, perusahaan rintisan digital berskala menengah-besar umumnya sukar menemukan tenaga kerja berkompeten. Suplai pekerja yang tersedia di pasar cenderung kurang mencukupi kebutuhan.
Berangkat dari realitas-realitas itu, dia menyarankan pemerintah agar mau melihat multidimensi masalah perusahaan rintisan. ”Jangan sampai kebijakan yang dibuat salah sasaran,” katanya.
Ketua Umum MIKTI Joddy Hernady berpendapat, hal terpenting adalah sejauh mana inovasi teknologi yang dilahirkan para perusahaan rintisan digital bermanfaat bagi perekonomian Indonesia.
Menurut dia, 10 tahun lalu, ekosistem usaha rintisan bidang teknologi belum terbentuk. Dalam perjalanannya, pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap tren digital. Investasi pun berdatangan masuk ke Indonesia.
”Menyikapi cepatnya perubahan teknologi digital, Indonesia harus memiliki fondasi kuat. Tak cukup menerbitkan regulasi. Pemerintah semestinya menyiapkan juga suplai tenaga kerja kompeten dan tempat inkubasi atau pemberdayaan usaha rintisan,” tuturnya.