Upaya Menyelamatkan Masa Depan
Adaptasi dipandang sebagai upaya mengatasi bencana iklim atau bencana alam lain. Padahal, adaptasi juga jadi langkah mitigasi. Kuncinya, menciptakan wilayah tangguh.
Suatu langkah adaptasi bukan upaya jangka pendek dari situasi jangka pendek. Adaptasi perubahan iklim, misalnya, dilihat dari situasi masa depan bersifat jangka panjang. Karena itu, adaptasi tak bisa reaktif pada suatu kejadian bencana bersifat sporadis.
Andy Simarmata, pakar adaptasi urban perubahan iklim, memaparkan, adaptasi perubahan iklim harus menurut data jangka panjang. Bencana sebagai pemicu bisa berupa bencana hidrometeorologi terkait perubahan iklim atau bencana non-iklim, seperti bencana geologi, yakni gempa dan letusan gunung api.
”Kalau berbicara iklim, yang kita lihat adalah rata-rata intensitas hujan atau nilai maksimumnya atau nilai minimumnya. Maka, yang dilihat ialah potensi kejadian di masa depan. ”Dilihat potensi banjir dan kekeringannya. Maka, yang perlu disiapkan ialah pathway (jalan menuju) oleh para perencana sebagai jembatan agar sistem ini resilience (memiliki ketahanan, daya lenting),” ujarnya.
Sejak awal dikenalkan, isu adaptasi tak lepas dari isu pengurangan risiko bencana (PRB). Isu itu masuk dalam berbagai program pengurangan risiko bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta lembaga lain.
Ari Mochamad Arif dari program Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan USAID mengatakan, soal adaptasi terkait ruang berisi beragam isu. ”Ketika kita berbicara isu adaptasi, saat bersamaan kita sebenarnya berbicara hal beragam. Hal itu ditujukan guna mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Semua bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Indonesia termasuk negara yang berkomitmen mewujudkan pencapaian SDGs PBB yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Kesejahteraan masyarakat, lanjut Ari, hanya bisa dicapai apabila wilayah itu tangguh. Resilient. ”Tangguh mulai dari sisi lingkungan, sosial, ekonomi, hingga tata kelolanya. Jika itu semua baik, tercipta wilayah masyarakat tangguh,” katanya.
Sementara pengurangan risiko bencana selalu dinilai terlalu mahal, misalnya infrastruktur. ”Orang selalu berkeberatan karena membangun dengan mempertimbangkan risiko lebih mahal. Namun, akan lebih mahal jika terjadi bencana di kemudian hari, biayanya akan lebih besar daripada pertimbangan biaya saat membangun. Memang mahal di investasi awal, tetapi akan bertahan dalam jangka lama,” ujarnya.
Bagi Indonesia, pilihan sektor sebagai pendekatan rencana adaptasi ada empat, yakni sumber daya air, pertanian, pesisir, dan laut, termasuk perikanan dan kesehatan. ”Keempatnya dipandang sebagai sektor signifikan untuk membangun ketahanan wilayah. Hal itu sesuai kondisi Indonesia berupa kepulauan dan berada di daerah tropis,” kata Ari.
Empat sektor itu dijadikan prioritas untuk analisis bahaya di suatu wilayah, misalnya sumber daya air di perkotaan. Bagaimana ketersediaannya, kualitasnya, dan sebagainya. Dengan indikator yang ditetapkan, setiap daerah atau wilayah tertentu akan bisa ditetapkan karakter, tantangan, dan peluangmenciptakan keberlanjutan.
Keberagaman
Di Indonesia, kondisi setiap wilayah amat berbeda, keberagaman tinggi dari sisi geologis, geografis, dan sosial-ekonomi. Tantangan setiap daerah berbeda. Maka, pendekatan yang dilakukan harus berbeda-beda untuk menjadi wilayah tangguh yang memiliki ketahanan.
Karena perbedaan-perbedaan itu, setiap pemerintah daerah semestinya boleh memiliki prioritas pada aspek atau pendekatan berbeda. ”Tantangan dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, tetapi tujuannya sama, yakni menciptakan resiliensi daerah,” kata Ari.
Menurut dia, sah-sah saja jika ada pemerintah yang melakukan dengan pendekatan ekonomi, lingkungan, ataupun kesehatan. ”Dengan pendekatan ekonomi, pemerintah daerah yang memperkuat ekonomi daerahnya akan bertahan saat terjadi bencana karena perekonomiannya bagus. Demikian juga yang melakukan pendekatan lingkungan. Daerah akan memiliki ketahanan karena dukungan ekosistem bagus,” kata Ari.
Sementara untuk kepentingan perencanaan tata ruang suatu wilayah, Indonesia seharusnya menyusun peta entitas atau kewilayahan sebagai dasar untuk membuat suatu adaptasi bersifat transformatif. ”Indonesia berbentuk kepulauan sehingga seharusnya dibagi sesuai karakter wilayah dan bersifat spesifik lokal, termasuk kontennya berupa sumber daya pengetahuan lokal. ”Yang penting, setiap situasi setempat harus dilihat kapasitas adaptasinya,” kata Andy.
Aksi adaptasi pada suatu tahapan harus berupa adaptasi bersifat transformatif. Dari adaptasi bersifat reaktif awalnya kemudian harus bertahap meningkat pada adaptasi menuju pada adaptasi transformatif. Pada tahapan itu, dibuka kemungkinan relokasi aset atau sumber daya tertentu dialokasikan demi perlindungan populasi dan infrastruktur.
”Suatu adaptasi yang sifatnya transformatif ini jauh melebihi adaptasi biasa (beyond adaptation). Bisa berbeda dari bentuk semula. Contohnya, kota yang memanjang di sepanjang pantai, setelah ada kajian dampak perubahan iklim bisa tidak memanjang lagi bentuknya, tetapi dibuat kluster-kluster agar jika ada dampak tidak terjadi secara sistemik,” kata Andy.
Jadi, peran adaptasi adalah membayangkan skenario perubahan iklim atau bencana di masa depan agar sistem bisa lebih siap. Sifatnya adalah antisipasi, berada di depan sebelum bencana terjadi. Bukan reaktif dan menjadi bagian dari mitigasi.
(BRIGITTA ISWORO LAKSMI)