Suku bunga acuan Bank Indonesia bertahan pada 6 persen. Angka itu dinilai sudah cukup kompetitif dan menarik bagi investor asing.
JAKARTA, KOMPAS - Menutup akhir tahun, Bank Indonesia memutuskan tidak meningkatkan kembali suku bunga acuan yang sudah naik 1,75 persen sejak Mei 2018. Otoritas moneter optimistis, tanpa meningkatkan suku bunga aset keuangan dalam negeri sudah menarik bagi investor asing.
Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Desember 2018 memutuskan suku bunga acuan BI dipertahankan di posisi 6 persen. Adapun suku bunga lending facility atau pinjaman rupiah bank dari BI juga bertahan 6,75 persen. Sementara suku bunga deposit facility atau simpanan rupiah bank di BI tetap 5,25 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/9/2018), mengatakan kenaikan suku bunga acuan November lalu telah mengantisipasi pergerakan suku bunga global, termasuk kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed, di akhir tahun.
“Tingkat suku bunga masih konsisten dengan langkah menurunkan defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya saing aset investasi domestik dan memperthatikan tren suku bunga global beberapa bulan ke depan,” kata Perry.
Dalam rapat komite kebijakan moneter The Fed (FOMC) Rabu waktu setempat, suku bunga acuan The Fed diputuskan naik 25 basis poin menjadi 2,25-2,5 persen.
Dengan tingkat suku bunga saat ini, Perry menilai, imbal hasil (yield) surat berharga negara serta aset keuangan domestik lain masih menarik. Sepanjang November, arus modal asing ke berbagai aset keuangan, termasuk saham, dan obligasi korporasi sudah mencapai 7,9 miliar dollar AS.
Meski begitu, pihaknya mengubah proyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) sepanjang 2018 yang sebelumnya berada di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi sedikit di atas 3 persen PDB..
Perubahan proyeksi, lanjut Perry, terjadi akibat kinerja neraca perdagangan yang kembali defisit sebesar 2,05 miliar dollar AS pada November 2018. Adapun pada Oktober, neraca perdagangan juga defisit sebesar 1,82 miliar dollar AS.
“Jangan kaget kalau akumulasi (CAD) di triwulan IV-2018 bisa sedikit di atas 3 persen dari PDB. Tapi karena triwulan I-2018 CAD ada di 2,2 persen dari PDB, keseluruhan 2018 bisa sekitar 3 persen,” ujarnya.
Meskipun di tahun 2019 kondisi perekonomian dan keuangan global masih diliput risiko, kondisi tahun depan diyakininya akan lebih baik. Kenaikan suku bunga The Fed, tidak akan seagresif tahun ini setelah menaikkan FFR sebanyak 4 kali.
“The Fed diproyeksikan akan mengurangi kecepatan dalam menaikkan bunga acuan menjadi dua kali tahun depan, di bawah proyeksi sebelumnya tiga kali. Ini pun menjadi aspek penurunan risiko,” kata Perry.
Sementara itu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah pada awal Desember, dinilai Perry disebabkan ketidakpastian global yang meningkat dan membesarnya kebutuhan valuta asing korporasi menjelang akhir tahun.
Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Eko Nugroho menilai pemerintah dan bank sentral meyakini fundamental ekonomi RI masih kuat, maka kebijakan yang lebih tepat adalah menarik arus modal asing masuk.
Untuk mendorong arus modal masuk ke dalam negeri, menurut Agus, perlu insentif dan kebijakan yang menjawab kebutuhan investor. “Pemerintah tentunya harus konsisten dalam merealisasikan insentif dan kebijakan tersebut,” ujarnya.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai stabilitas nilai tukar rupiah serta upaya untuk menekan defisit transaksi berjalan menguatkan sikap BI untuk tidak menaikkan suku bunga acuan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi negara maju seperti AS, Jepang, dan negara di kawasan Uni Eropa melambat 2019 nanti..
"Hal itu turut memengaruhi pergerakan volume perdagangan global yang selanjutnya membuat beberapa harga komoditas global terkoreksi dalam beberapa waktu terakhir ini," terang Josua.
Arah kebijakan moneter yang ketat, diperkirakan Josua, masih bertahan hingga tahun depan. Ini jadi langkah antisipasi dari potensi risiko global secara umum, khusunya kebijakan tarif impor AS terhadap produk China.