Tahun 2016, Oxford Dictionary menobatkan post-truth atau pasca-kebenaran sebagai "Word of the Year". Kata ini semakin populer ketika para politisi cenderung mengabaikan antara fakta dengan opini, dan kebenaran tak lagi menjadi ukuran.
Sebelum dipopulerkan Oxford Dictionary dua tahun lalu, istilah pasca-kebenaran sudah dipakai Steve Tesich pada 1992 ketika Amerika Serikat diguncang skandal Watergate, Iran-Contra, dan sejumlah skandal lainnya. Pada waktu itu, para politisi cenderung mengabaikan kebenaran. Kebenaran tidak lagi menjadi ukuran pemaknaan.
Kini, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan politisi saja, tetapi telah menyebar sebagai kenyataan sosial di masyarakat. "Post-truth (pasca-kebenaran) adalah iklim sosial politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meski fakta memperlihatkan hal yang berbeda," demikian pengajar Filsafat Etika dan Politik Universitas Sanata Dharma dan Universitas Indonesia, J Haryatmoko SJ mengutip pernyataan JA Llorente, Kamis (15/11/2018), dalam Konferensi Nasional Komunikasi Humanis dengan tema ”Etika Komunikasi Bisnis di Era Kontemporer” yang digelar Fakultas Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Era pasca-kebenaran ditandai dengan dengan beberapa indikasi, yaitu maraknya penyebaran informasi palsu atau hoaks, merebaknya emosi sosial, dan menguatnya populisme. Situasi ini terjadi ketika semua orang begitu mudah menjadi pencipta maupun penyebar informasi ke jagat media sosial tanpa kewarasan memverifikasi dan mempertanyakan kredibilitas konten.
Era pasca-kebenaran ditandai dengan dengan beberapa indikasi, yaitu maraknya penyebaran informasi palsu atau hoaks, merebaknya emosi sosial, dan menguatnya populisme.
Karena itu, tidak heran jika akhir-akhir ini bermunculan individu maupun kelompok tertentu yang gencar menyebarkan berita-berita untuk menyalahkan pihak X, mengkambinghitamkan kubu X, dan menawarkan solusi dangkal untuk masalah-masalah yang kompleks.
"Berkembang jurnalisme yang membakar nafsu dan keyakinan, radikalisme, prasangka negatif, dan politik ekstrim lewat media sosial, seperti blog, portal palsu, dan media sosial yang anonim," kata Haryatmoko.
Di tengah semakin canggihnya teknologi digital, begitu mudahnya orang memunculkan berita-berita bohong untuk menciptakan kebencian dengan memanipulasi fakta. Kebencian ditanamkan dengan mengubah kata-kata, foto, bahkan video.
Situasi ini membawa sejumlah konsekuensi serius bagi masyarakat. Konsekuensi pertama adalah kemerosotan nilai kebenaran dan kedua meningkatnya intoleransi.
Terkungkung di kelompok
Suburnya peredaran berita bohong terjadi ketika masyarakat hanya berelasi dengan kelompok-kelompok sealiran. Orang akhirnya hanya mau melihat dan mendengar segala macam informasi yang sesuai dengan ideologi dan pemikirannya.
Orang akhirnya hanya mau melihat dan mendengar segala macam informasi yang sesuai dengan ideologi dan pemikirannya.
Kecenderungan seperti ini terjadi di era sekarang, terutama karena orang-orang teralienasi dalam kelompok-kelompok se-aliran. Akibatnya, hanya informasi dari kelompok se-aliran sajalah yang akhirnya dikonsumsi.
”Dalam situasi seperti itu, publik akhirnya tak memperoleh informasi yang benar, terjadi cara berpikir dan beropini yang salah, masyarakat tidak percaya selain dengan kelompoknya, pengelompokan dan radikalisme menguat sehingga rawan terjadi perpecahan,” kata Staf Ahli Menteri Bidang Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henry Subiakto.
Di tengah situasi seperti ini, Henry mengingatkan agar masyarakat menyadari pentingnya literasi jejak digital. Apalagi, masa depan seseorang kini ditentukan oleh jejak digital mereka di media sosial.
"Apa pun kebiasaan seseorang ketika bermedia sosial akan terekam dan terungkap semua pada suatu saat nanti. Jadi, berhati-hatilah," ucapnya dalam seminar ”Menangkal Hoaks, Menggalakkan Literasi Digital?” di Habibie Center beberapa waktu lalu.
Untuk menangkal penyebaran hoaks, masyarakat dan media harus bergerak bersama-sama memverifikasi dan mengklarifikasi segala informasi. Jika kultur ini dibangun bersama-sama, maka era pasca-kebenaran akan sirna dan tak perlu lagi ada peredaran berita palsu, ujaran kebencian, serta gerakan radikalisme.