JAKARTA, KOMPAS - Status otonomi khusus bagi Papua belum memberikan manfaat bagi masyarakat adatnya untuk mengelola dan memanfaatkan hutan secara legal. Mereka tak bisa memanfaatkan hutan terutama kayu karena terganjal dualisme perundangan.
Di satu sisi, mereka memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang memberikan keberpihakan pada orang asli Papua. Undang-undang ini pun telah diterjemahkan dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Provinsi Papua.
Dalam pelaksanaannya pun telah diterbitkan Peraturan Gubernur Papua Nomor 13/2010 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua. Dengan dasar ini sejumlah 18 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-masyarakat hukum adat seluas 78.040 hektar.
“Tetapi hal ini tidak jalan meski masyarakat adat sudah ada yang dilatih menjadi tenaga teknis (kehutanan) dan menyiapkan rencana kerja tahunan (RKT),” kata Timer Manurung, perwakilan Koalisi Anti Mafia Hutan, Kamis (20/12/2018), di Jakarta. Ia memaparkan laporan Koalisi Anti Mafia Hutan "Pengaturan Setengah Hati: Sebuah Studi tentang izin Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat di Tanah Papua".
Terganjal undang-undang
Masyarakat hukum adat (MHA) tak bisa menebang kayu di wilayah adatnya sendiri karena terganjal UU 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam perundangan itu tidak dikenal IUPHHK-MHA serta setiap IUPHHK diterbitkan oleh menteri, dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Di sisi lain, Kementerian Kehutanan – kini KLHK – membebani belantara Papua dengan IUPHHK-Hutan Alam atau Hak Pengelolaan Hutan atau izin logging (penebangan) seluas 5.596.838 ha, pelepasan untuk sawit 1.256.153 ha, dan izin kebun tanaman kayu/IUPHHK-Hutan Tanaman Industri 524.675 ha. Pemberian izin bagi korporasi ini pun diduga kuat beririsan dengan hutan-hutan adat masyarakat.
Timer mengatakan para pemilik izin – terutama HPH – bebas memanfaatkan hutan alam Papua yang sebenarnya dimiliki (MHA). “Mereka (MHA) hanya melihat truk-truk logging berkeliaran dan hutan mereka ditebang tanpa mendapatkan manfaat dan mengelolanya sendiri,” kata dia.
Ini telah difasilitasi Pemprov Papua dengan mewajibkan pemilik HPH untuk memberikan kompensasi pada masyarakat adat/kampung di sekitar hutan sebesar Rp 100.000 per meter kubik kayu. Secara nominal sebagian kecil dari harga kayu merbau – yang menjadi sasaran tebangan – senilai Rp 3 juta - Rp 5 juta per meter kubik.
Jumlah ini pun semakin kecil karena permintaan kompensasi juga datang dari komunitas MHA maupun kampung yang dilewati jalur logging. Angka kubikasi ini pun ditentukan perusahaan yang tidak bisa dikontrol masyarakat.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memberikan penjelasan. Hingga semalam Sekjen KLHK Bambang Hendroyono belum memberikan tanggapan. Beberapa waktu lalu, KLHK menjelaskan sedang menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pemberian IUPHHK-HA pada kawasan hutan produksi di Provinsi Papua.
Syahrul Fitra Tanjung dari Yayasan Auriga Nusantara – bagian dari Koalisi Anti Mafia Hutan – mengatakan langkah KLHK ini mendapat kritik karena menyamakan IUPHHK-MHA dengan IUPHHK-HA atau HPH. IUPHHK-MHA memberi syarat pemotongan kayu maksimal 100 ha per tahun tanpa memperbolehkan penggunaan alat berat. Selain itu pada draf NSPK mencantumkan masyarakat lokal, bukan MHA.
Meski demikian, Pemprov Papua dan parapihak berupaya mengakomodir usul KLHK tersebut. Akan tetapi hingga kini KLHK belum menetapkan draft NSPK tersebut.