Perkawinan Anak Sudah Ditentang Sejak 90 Tahun Lalu
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 yang kini diperingati sebagai Hari Ibu sangat revolusioner tidak hanya di Nusantara, tetapi juga pada tataran dunia karena kaum perempuan berkumpul dan menyatukan visi menuju Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan sejahtera.
Pada tanggal itu pula para perempuan pelopor sepakat bahwa perkawinan anak merupakan hal yang merugikan bangsa dan harus dihentikan. Visi tersebut memiliki kesempatan terwujud sekarang dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pidato mengenai dampak buruk perkawinan anak disampaikan oleh Moegaroemah, perwakilan dari organisasi Poetri Indonesia yang merupakan bagian dari organisasi nasionalis Pemoeda Indonesia. Ia menyampaikan beberapa poin, pertama mengenai ketidakcukupan umur pengantin anak untuk memahami makna perkawinan dan memiliki sikap serta jalan pikiran yang sesuai dengan falsafah perkawinan.
“Kedua, apabila laki-lakinya juga masih kurang umur, jadi masih kurang pengetahuannya. Akan tetapi, ia wajib memimpin istrinya. Dapatkah ia melakukannya sementara ia masih harus mengumpulkan pengetahuan?” Demikian argumen Moegaroemah seperti ditranskripkan di buku karangan Susan Blackburn yang berjudul Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (Yayasan Obor Indonesia: 2007).
Ia melanjutkan, ketika anak tersebut menjadi ibu, ia tak akan bisa menjalankan kewajibannya mendidik anak karena pengetahuannya masih sangat kurang. Seringkali, masyarakat menganggap mudah mendidik anak berkeluarga dan hal tersebut bisa diajari sambil jalan. Apalagi jika anak tersebut ditempatkan pada situasi terpaksa, yaitu dengan dinikahkan dan memiliki bayi.
Moegaroemah mengimbau untuk memberi anak pendidikan sebaik-baiknya, mulai dari usia dini hingga dewasa. Perkawinan sejatinya tidak hanya berdasarkan suka sama suka, tetapi juga untuk membangun keluarga yang rukun dan berfaedah.
“Orangtua berbesar hati kalau anaknya yang masih kecil sudah ada yang meminang atau sudah bersuami, apalagi menantunya itu orang yang kaya dan berpangkat, biarpun menantunya itu sudah tua. Maka mereka itu tidak memikirkan keselamatan anak cucunya di kemudian hari,” ujarnya.
Ia juga memaparkan mengenai kekerasan fisik, psikis, dan verbal yang dialami oleh anak-anak yang dipaksa menikah. Kondisi mental tertekan seperti itu tidak akan bisa membentuk pribadi mapan, terutama jika harus hamil, melahirkan, dan mengasuh bayi. “Marilah, Saudara-saudara. Bersama-sama melawan adat istiadat bangsa kita yang jelek itu,” kata Moegaroemah.
Tidak maju
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Budi Wahyuni mengatakan, pemikiran para perempuan pelopor di kongres itu berhadapan dengan masyarakat yang sangat ketakutan anak-anaknya berhubungan seks di luar nikah. “Bukannya mendidik anak mengenai kesehatan reproduksi dan dampak kehamilan di usia dini, orangtua mengambil jalan pintas menikahkan anak,” tuturnya di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Ia menjelaskan, keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan perubahan pada UU 1/1974 tentang Perkawinan merupakan kesempatan emas menghilangkan praktik ini dari Bumi Pertiwi. Pada pasal 7 disebutkan bahwa batas usia minimal bagi laki-lakin adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Apabila di bawah usia itu, orangtua wajib meminta dispensasi kepada pengadilan agama.
Pasal tersebut, jelas Budi, mengaburkan pasal 6 di UU yang sama yang menegaskan bahwa usia perkawinan adalah 21 tahun. Hal ini menunjukkan persepsi pemerintah 40 tahun lalu bahwa perkawinan yang semestinya merupakan institusi serius masih bisa ditawar-tawar. Kini, akibatnya terlihat jelas melalui angka kemiskinan, putus sekolah, kekerasan domestik, dan balita stunting akibat kehamilan di usia anak.
Diskusi mengenai batas usia minimal yang baru masih terus dilangsungkan. Ada pihak yang mengatakan usia minimal perkawinan hendaknya di atas 18 tahun. Namun, Komnas Perempuan berpegang pada perkawinan harus menyaratkan kedua mempelai untuk sehat secara fisik, psikis, dan sosial. Artinya, jika berusia 18 tahun akan sukar bagi seseorang untuk mencari pekerjaan yang layak karena sektor industri dan usaha menginginkan pekerja yang cukup umur.
“Oleh sebab itu, kami mengusulkan batas minimum usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun. Usia ini sudah matang berdasarkan ilmu kesehatan reproduksi dan cakap hukum karena sebuah perkawinan juga bagian dari lembaga hukum,” ucap Budi.
Ia menerangkan, Kongres Perempuan Indonesia tidak hanya memajukan perempuan dalam aspek pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik, tetapi juga pada relasi seksual. Artinya, memungkinkan perempuan memiliki jaminan kesehatan reproduksi yang baik. Dimulai dari pendidikan sejak usia dini mengenai perkembangan fisik dan psikis, menjaga relasi sosial dengan orang lain dan menciptakan hubungan percintaan yang sehat, pernikahan pada usia cukup, kehamilan yang terawat, proses melahirkan yang aman, dan dukungan orang sekitar dalam pengasuhan anak.
Perppu
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengatakan, tidak cukup menunggu DPR RI melakukan perubahan UU 1/1974 seperti amanat MK. “Lebih baik dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang agar bisa segera dilaksanakan,” ujarnya.
Ia memaparkan, advokasi kepada masyarakat harus terus dilakukan. Anak bukan orang dewasa mini. Mereka adalah manusia kecil yang masih dalam proses tumbuh kembang dan wajib dilindungi serta dididik dengan baik. Perkawinan anak merugikan anak yang dipaksa menikah serta bayi yang dilahirkan mulai dari tekanan mental, sosial, fisik, serta risiko tinggi pendarahan ketika melahirkan dan kekurangan gizi pada bayi yang dikandung.
“Kalau bayi semenjak di kandungan harus bersaing demi asupan nutrisi dengan ibunya yang masih di bawah umur, ketika lahir dan tumbuh besar tidak akan optimal seperti layaknya anak yang cukup gizi. Walhasil, mutu sumber daya manusia menurun,” kata Retno.