Saat Pesantren Mengadopsi Gerakan Sekolah Menyenangkan
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·4 menit baca
Sebanyak 70 guru, ustaz dan ustazah di lingkungan pendidikan Yayasan Pondok Pesantren Tebuireng, Kamis hingga Sabtu (20-22/12/2018), mendapat kesempatan mengikuti pelatihan pendekatan baru dalam pembelajaran dan pendidikan yang disebut Gerakan Sekolah Menyenangkan. Gerakan Sekolah Menyenangkan ini digagas pasangan suami istri Mohammad Nur Rizal (43)-T Novi Puspita Candra (43).
Rizal dan Novi menggagas pendekatan baru pendidikan ini demi mendorong pembentukan ekosistem pendidikan yang menyenangkan bagi peserta didik dan akhirnya mendorong prestasi akademik. Pengasuh Ponpes Tebuireng KH Solahudin Wahid sendiri yang mengundang pasangan ini setelah media membuat laporan tentang kiprah mereka sejak Gerakan Sekolah Menyenangkan didirikan tahun 2012 dan kedua pasangan ini menyebarkan pendekatan-pendekatan pendidikan hasil kajian mereka pada lebih dari 50 sekolah di Yogyakarta dan Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Pendekatan ini secara berantai disebarkan ke sekolah yang telah mengikuti pelatihan Gerakan Sekolah Menyenangkan dan hingga kini sudah ratusan sekolah mengubah sebagian atau seluruh ekosistem pendidikan mengikuti pola ini.
”Saya tidak kenal dengan Saudara Rizal. Namun, pemaparannya dalam liputan media massa meyakinkan saya bahwa pendekatan yang ditempuh Gerakan Sekolah Menyenangkan ini bisa memecahkan kebuntuan selama ini, sulitnya membentuk karakter anak didik, sambil tetap mendorong capaian akademik anak didik,” kata Solahudin Wahid.
Rizal menjelaskan, ia menyusun pendekatan ini bersama-sama istrinya saat menempuh pendidikan doktoral di Melbourne, Ausralia. Novi kuliah di jurusan psikologi, sementara Rizal di jurusan teknologi informasi. Keduanya merupakan pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Selama tujuh tahun menempuh studi di Australia tersebut, Rizal mengaku mengamati perilaku anaknya di sekolah dasar di Melbourne. ”Anak saya bahkan hari libur pun ingin ke sekolah. Saya terheran-heran ada apa di sekolah kok bisa begitu betah,” kisahnya.
Melalui pengalamannya tersebut, Rizal dan istri mempelajari pendekatan sekolah dasar dan menengah di Melbourne serta terilhami untuk membawa pola pendekatan yang sama ke Indonesia. Tahun 2012, ia misalnya menemukan bahwa setiap minggu di kelas anaknya ada penghargaan student of the week.
Pendekatan yang ditempuh Gerakan Sekolah Menyenangkan ini bisa memecahkan kebuntuan selama ini, sulitnya membentuk karakter anak didik, sambil tetap mendorong capaian akademik anak didik.
Satu siswa mendapat bintang karena prestasi. Prestasinya bukan akademik, melainkan, misalnya, gara-gara ada pesan Whatsapp dari orangtua siswa bahwa anaknya membantu ibunya di rumah.
Penghargaan atas capaian perilaku positif itu, yang berada di wilayah karakter dan perilaku, bukan akademik, memberi dampak berlipat. ”Seperti kita mendapat like ketika bermedsos, maka kita kecanduan like atas perilaku positif kita. Begitulah alasannya hingga gerakan ini disebut sekolah menyenangkan,” ujar Rizal.
Siswa menjadi merasa penting dengan dirinya karena dihargai. Perasaan manusiawi berupa ekpresi cinta dan penghargaan membuat siswa terpacu untuk mendapat lagi dan akhirnya dengan seketika (flip) mendorong gairah belajar akademik. ”Rasa gembira itu mendorong anak berusaha menunjukkan prestasi akademik. Lompatan perubahan perilaku dan karakter ini merupakan pokok pendekatan Gerakan Sekolah Menyenangkan,” ujarnya.
Menurut Novi, dia bersama suaminya membuat Gerakan Sekolah Menyenangkan juga dengan mempertimbangkan pendekatan mutakhir psikologi. Upaya pasangan suami istri ini membentuk pendekatan baru dalam mendidik siswa di sekolah sempat membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tertarik. Keduanya sempat diundang Muhadjir untuk mempresentasikan pendekatan ini agar bisa dipelajari para guru.
”Tidak ada materi kurikulum yang perlu diubah. Hanya pendekatan dan ekosistem pendidikan yang harus diubah untuk mendorong pembentukan passion (kasih sayang) dan empati. Misalnya tugas siswa kelas 5 dan 6 pergi ke Panti Jompo melakukan community service atau mendatangi siswa kelas awal (1 atau 2) untuk membantu belajar adik-adik kelas yang disebut tutor sebaya. Semua itu berujung pada hadiah-hadiah berupa pujian atas tindakan positif mereka,” kata Novi.
Rizal dan Novi merasa, penghargaan terhadap siswa yang berperilaku baik dalam kehidupannya tidak ada dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah belum mampu mewujudkan ekosistem yang mendorong anak menunjukkan karakter positif dan empati, serta membuatnya bergairah datang ke sekolah untuk juga mencapai capaian akademik.
Menurut Direktur Pendidikan pada Yayasan Tebuireng Kusnadi, pihaknya berminat menggunakan metode Gerakan Sekolah Menyenangkan karena memang saat ini salah satu yang ingin dicapai adalah pendidikan karakter siswa. ”Pola pendidikan kita yang mengedepankan kompetisi prestasi sangat membebani siswa. Itu yang menjelaskan kenapa siswa Indonesia kekurangan minat belajar,” katanya.