Banjir Informasi Munculkan Sifat Afirmatif Manusia
Oleh
Nasrullah Nara
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—– Sifat dasar manusia yang cenderung mencari penegasan atas keyakinannya atau afirmasi muncul ketika manusia menghadapi banjir informasi. Hal ini menjadi jalan masyarakat mudah percaya pada kabar bohong.
Fenomena masyarakat di era digital yang dipandang dari sudut pandang neurosains ini dibahas oleh para pakar neurosains dalam diskusi media di Jakarta, Jumat (21/12/2018).
“Sekarang kita kerap mendapatkan informasi berlebih. Akibatnya, sifat dasar kita yang butuh afirmasi keluar,” kata Roslan Yusni Hasan, atau yang akrab disapa Ryu, dari Satyanegara Brain and Spine Center.
Menurutnya, manusia cenderung berpegang pada keyakinan daripada pengetahuan. Hal ini karena lebih dari 90 persen keputusan manusia didominasi emosi daripada rasio. Oleh karena itu, tidak heran jika informasi yang memancing emosi lebih dipercaya pembaca berita.
Bagian otak manusia yang mengolah informasi secara emosional ada di amigdala yang berada di lobus otak. Dominasi amigdala membuat manusia lebih peka pada rasa takut. Kecenderungan tersebut, menurut Ryu, dominan pada orang dengan pemikiran konservatif.
Ini berlawanan dengan bagian otak yang disebut anteriorcingulate cortex yang lebih toleransi terhadap ketidakpastian dan mendukung kecenderungan perilaku liberal.
Pada kesempatan sama, dokter spesialis bedah saraf Subrady Leo Soetjipto Soepodo menambahkan, permainan emosi dapat membuat kabar bohong dipercaya otak.“Informasi yang dipelintir mampu memanipulasisistem saraf,” kata dia.
Cara memanipulasi dengan menyebarkan kebohongan tersebut banyak dimanfaatkan para pelaku politik. Fenomena tersebut antara lain terbukti dari kasus Pemilu Amerika Serikat 2016 yang dimenangi Donald Trump.
Donald Trump dikatakan berkampanye dengan narasi manipulatif untuk menarik simpati masyarakat sehingga mau memenangkannya di pemilu tersebut.
Dari sudut pandang neurosains, sifat altruism resiprokal manusia juga mempengaruhi kecenderungan politik manusia. Altruisme merupakan sikap yang mengutamakan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi.
Peran jurnalisme
Era digital, menurut Ryu, menjadi lompatan ilmu pengetahuan baru yang membuat manusia memandang dunia dengan cara berbeda. Lompatan tersebut juga membuat sebagian besar manusia, termasuk media berbasis jurnalisme, gagap menghadapi perubahan.
“Untuk itu, media jurnalisme harus paham bagaimana menentukan posisinya,” ujar Ryu. Sebagai lembaga profesional yang memiliki nilai, media jurnalisme baiknya berpegang pada prinsip jurnalistik yang telah dibuat, seperti mengutamakan kebenaran dan disiplin verifikasi.
Namun, lompatan pengetahuan di era digital wajar jika memicu pertentangan, baik dalam pemikian liberal atau konservatif. “Bagaimana media memposisikan dirinya, tergantung nilai apa yang diperjuangkan pemiliknya, karena media itu dikelola manusia,” pungkasnya. (ERIKA KURNIA)