Jerusalem dan Pesan Sepihak Tetangga
Australia mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Tanpa mengakui Jerusalem Timur dan Palestina, Australia mengirim pesan tentang sikapnya yang condong ke Israel.
Kota Jerusalem menjadi isu besar dalam konflik Palestina-Israel pada 2018. Setelah heboh oleh tindakan Amerika Serikat memindahkan kantor kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem pada 14 Mei lalu, menjelang tutup tahun 2018 ini—pada Sabtu (15/12/2018)—tiba-tiba Australia menyampaikan pengakuan terhadap Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Adapun AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember 2017.
Meski telah mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, Australia memutuskan belum memindah kantor kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem, seperti dilakukan AS.
Pengakuan Australia tersebut segera menuai kritik keras dari Palestina, dunia Arab, ataupun Israel sendiri serta dua negara tetangganya, yakni Indonesia dan Malaysia. Merespons sikap Australia, negara tetangga Indonesia, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir menyatakan, ”Indonesia mengajak Australia dan semua anggota PBB untuk mengakui negara Palestina dan bekerja sama guna tercapainya perdamaian berkelanjutan serta kesepakatan Palestina-Israel berdasarkan prinsip two-state solution.”
Media Israel mengkritik Australia karena Canberra hanya mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, bukan keseluruhan kota Jerusalem. Media Israel menyebut pengakuan Australia atas kota Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel menunjukkan secara implisit bahwa Australia mengakui juga Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Sementara Palestina dan Liga Arab mengkritik Australia karena negara itu tidak menunggu tercapainya perdamaian Palestina- Israel secara komprehensif untuk mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, tetapi belum mengakui secara eksplisit Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Israel merebut Jerusalem Timur dalam Perang Enam Hari pada 1967 dan kemudian mendudukinya serta mendeklarasikan keseluruhan Jerusalem sebagai ”ibu kota abadi dan tak bisa dipecah”. Langkah Israel ini tidak diakui oleh sebagian besar komunitas internasional. Palestina telah menjadikan Jerusalem Timur, yang saat ini diduduki Israel, sebagai ibu kota negara mereka ke depan.
Lebih dekat ke Israel
Posisi Australia terjepit terkait isu kota Jerusalem karena dikritik oleh pihak Palestina dan Israel. Namun, meski hanya mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, bukan Jerusalem yang bersatu, sikap Australia secara politik sudah lebih maju selangkah menuju posisi lebih dekat ke Israel daripada ke Palestina dan dunia Arab.
Memang sikap politik Australia belum sejajar atau di bawah sikap politik AS yang sudah memindahkan kantor kedubesnya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Akan tetapi, apa yang dilakukan Australia terhadap isu Palestina
dan kota Jerusalem itu tidak terlepas dari sikap AS yang sudah mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan telah memindahkan kantor kedubesnya ke Jerusalem.
Dalam konflik Palestina-Israel sejak 1948, sikap serta posisi politik AS selalu menjadi barometer dan kiblat bagi dunia Barat. Hal itu menyusul posisi AS pasca-Perang Dunia II dengan tampil sebagai negara adidaya menggantikan Inggris.
Itulah yang membuat Uni Eropa segera mengumumkan sikap politik karena khawatir dicurigai oleh Palestina dan dunia Arab akan mengikuti jejak AS atau minimal Australia.
Posisi Uni Eropa
Maka, pada Senin (17/12), delapan negara Eropa, yaitu Perancis, Inggris, Italia, Swedia, Jerman, Belanda, Belgia, dan Polandia, mengeluarkan pernyataan bahwa Uni Eropa tetap dan masih berkomitmen terhadap prinsip dan kesepakatan masyarakat internasional terkait proses perdamaian Palestina-Israel.
Uni Eropa menyatakan bahwa kesepakatan perdamaian harus mencakup penegasan kota Jerusalem adalah ibu kota dua negara, Palestina dan Israel. Ditegaskan pula, kesepakatan damai Palestina-Israel harus memenuhi kebutuhan keamanan kedua belah pihak dan berakhirnya pendudukan Israel serta tercapainya impian Palestina mendapatkan kedaulatan.
Uni Eropa menyatakan pula, kesepakatan damai yang mengabaikan pembagian kota Jerusalem dan tapal batas tahun 1967 tidak bisa dilaksanakan.
Sebelumnya pada 11 Desember lalu, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini dalam temu pers bersama PM Israel Benjamin Netanyahu di Brussel, Belgia, menyatakan bahwa Uni Eropa menolak perubahan status apa pun terkait kota Jerusalem sebelum tercapai perdamaian komprehensif.
Ia menyatakan pula, solusi realistis konflik Palestina-Israel harus berbasis pada solusi dua negara dan Jerusalem sebagai ibu kota dua negara.
Penegasan Federica Mogherini tersebut menunjukkan tentang gagalnya PM Netanyahu membujuk Uni Eropa agar mengikuti jejak AS untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Seperti diketahui, pada 14 Mei lalu, para duta besar negara-negara Eropa juga menolak undangan PM Israel Benjamin Netanyahu untuk menghadiri acara resepsi khusus diplomatik untuk menyambut pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Dengan demikian, sampai saat ini ada tiga sikap politik dunia Barat terhadap kota Jerusalem. Pertama, sikap AS yang mengakui Jerusalem—tanpa menyebut barat dan timur—sebagai ibu kota Israel dan telah memindahkan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Kedua, sikap Australia yang hanya mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan belum bersedia memindahkan kantor kedubesnya dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Ketiga, Uni Eropa yang belum mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Piagam Venesia
Sikap Uni Eropa terhadap isu Palestina dan kota Jerusalem yang tetap tidak berubah meski sudah ada perubahan signifikan sikap AS dan Australia itu berbasis pada piagam Uni Eropa terkait isu Palestina yang dikeluarkan KTT Uni Eropa di Venesia, Italia, 13 Juni 1980.
Dalam piagam tersebut yang kemudian dikenal dengan Piagam Venesia, Uni Eropa untuk pertama kalinya mengakui peran semua pihak—Israel dan Palestina—di kota Jerusalem dan menolak keras langkah sepihak yang bisa mengubah status kota Jerusalem. Kesepakatan apa pun terkait kota Jerusalem, demikian menurut Piagam Venesia, harus menjamin semua orang bebas masuk-keluar tempat-tempat suci di kota tersebut.
Apa yang ditegaskan Kepala Komisi Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini pada 11 Desember lalu dan delapan negara Eropa pada 17 Desember lalu terkait kota Jerusalem mencerminkan betapa solid dan komitmen Eropa terhadap piagam Venesia yang sudah berusia 38 tahun itu.
Barangkali etika Uni Eropa terhadap kota Jerusalem bisa jadi tidak lepas dari pengaruh sikap Vatikan yang juga menolak mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan menolak keras perubahan apa pun terkait status kota Jerusalem.
Sikap Uni Eropa dalam Piagam Venesia sangat persis dengan sikap Vatikan dalam isu kota Jerusalem. Hal itu sangat berbeda dengan AS dan Australia, yang mungkin tidak banyak terpengaruh sikap Vatikan, dan sebaliknya Vatikan tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap AS dan Australia.
Dengan kata lain, sikap Uni Eropa dan Vatikan masih konservatif terhadap kota Jerusalem, sementara sikap AS dan Australia lebih liberal terkait kota suci tiga agama samawi itu, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.
Di luar dunia Barat, terdapat Rusia yang juga sudah mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel pada 6 April 2017. Namun, pengakuan Rusia kurang mendapat sorotan media internasional karena pengaruh Rusia selama ini dianggap kecil dalam konflik Palestina-Israel.