Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dinantikan
Selain menghentikan perkawinan anak, upaya perlindungan perempuan dari berbagai kekerasan melalui regulasi masih menjadi tantangan besar. Ditemukan sekitar 400 perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Ibu 2018 saatnya menjadi ajang refleksi atas tumpukan persoalan perempuan di berbagai bidang, mulai dari upaya perlindungan dari berbagai kekerasan hingga kebijakan pembangunan yang belum responsif jender.
Hingga kini proses legislasi dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga tak kunjung selesai di Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal kehadiran undang-undang tersebut mendesak dan sangat dinantikan, menyusul berbagai kekerasan seksual yang dialami perempuan di Tanah Air.
Sementara itu, di sejumlah daerah perempuan rentan dikriminalisasi, karena adanya peraturan daerah (perda) yang diskriminatif terhadap perempuan. Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan masih ada sekitar 400 perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
Di sisi lain, peran perempuan sebagai ibu yang merupakan guru yang pertama dan utama anak-anak menghadapi berbagai tantangan, menyusul perubahan jaman dan perkembangan teknologi informasi. Kenyataannya, keterbukaan informasi tidak diikuti dengan literasi media terhadap perempuan, yang ditandai dengan rendahnya tingkat membaca informasi dan pengetahuan yang membuka wawasan. Akibatnya, perempuan mudah dipengaruhi dengan berita-berita hoax yang pastinya menjadi kontra produktif terhadap pencapaian keadilan jender
“Tantangan terbesar yang dihadapi ibu-ibu dan perempuan masa kini adalah menjadi cerdas dan kritis ditengah-tengah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi semestinya bermanfaat untuk mengurangi atau mengatasi kesenjangan jender, bukan sebaliknya. Perempuan pengguna telepon pintar, ya harus pintar dan bijaksana menggunakan teknologi informasi untuk hal yang bermanfaat secara sosial, politik dan ekonomi,” ujar Pengajar Antropologi Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari, Jumat (21/12/2018).
Direktur Institut Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan) Misiyah menyatakan salah satu tantangan yang dihadapi perempuan saat ini adalah masih adanya ibu dan perempuan tidak kritis dan silau terhadap kemajuan perempuan yang tampak di permukaan. Bahkan, ada yang menganggap masalah perempuan telah selesai, karena perempuan sudah dapat mengenyam pendidikan, berpolitik, berkarir dan lain-lain.
“Sementara itu, program-program pemerintah untuk perempuan cenderung berorientasi pada pelibatan perempuan, tanpa mengubah relasi kekuasaan menjadi setara, menghapus beban ganda bahkan mengembalikan perempuan kedalam peran-peran domestikasi perempuan,” ujar Misiyah.
Terkait upaya penghentian perkawinan anak, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengakui hingga kini tantangan terbesar adalah faktor pemahaman baik oleh anak, orangtua, dan lingkungan.
“Banyak yang menikahkan anak karena sebab ekonomi. Mereka tidak paham bahaya perkawinan anak, tidak hanya aspek pendidikan tapi juga aspek kesehatan yang paling berisiko adalah kematian bayi dan ibu dan juga sumber daya manusia anak tidak akan kompetitif dalam pasar kerja karena pendidikan rendah upah rendah dan menciptakan pekerja anak,” tegas Lenny.
Karena itu, pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 7 Ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 bertentangan dengan konstitusi, Kementerian PPPA langsung menggelar dialog publik pencegahan perkawinan anak serta meluncurkan peta jalan pencegahan perkawinan anak 2018-2010.
“Pada tahun 2019, selain fokus pada pembahasan revisi UU Perkawinan, kami akan tingkatkan kampanye dan sosialisasi terutama ke daerah dengan angka perkawinan anak yang masih tinggi,” ujar Lenny.
Dari Laporan Kajian Perkawinan Anak Proses Pemiskinan Perempuan dalam Perkawinan Anak yang dilakukan Institut KAPAL Perempuan(Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) dan Kementerian PPPA, dengan Studi Kasus di Desa Cibitung Tengah dan Desa Tapos 1 Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat baru-baru ini menemukan sejumlah persoalan.
Misalnya, ada perempuan korban perkawinan anak yang cerai dengan suami pertama, tidak punya surat nikah dengan suami kedua, serta suami istri tidak punya kartu tandan penduduk, kartu keluarga, dan akta kelahiran anak sehingga juga tidak bisa mengakses program perlindungan sosial.
Survei Sosial-Ekonomi Nasional 2013 menyebutkan, 23 persen dari perempuan berusia 20-24 tahun yang berstatus menikah atau pernah menikah ternyata kawin di usia kurang dari 18 tahun. Prevalensi ini turun pada 2015 menjadi 22 persen yang bisa diartikan bahwa satu dari empat anak perempuan mengalami perkawinan dini. Artinya, kasus seperti ini masih terus terjadi.
Direktur Pembinaan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sukiman mengatakan, intervensi harus dilakukan kepada orangtua dan anak. Jika salah satu pihak tidak memandang penting hak pendidikan dan kesehatan reproduksi anak, perkawinan anak akan terus terjadi.