Penegakan Hukum Belum Mengimbangi Maraknya Kasus Kekerasan
Oleh
CORNELIUS HELMY
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Barat belum dibarengi dengan penegakan hukum yang tepat dan solusi lain yang ideal. Tanpa sikap tegas dan perhatian lebih, perempuan korban kekerasan berisiko bertambah.
Berdasarkan data dari delapan lembaga layanan kekerasan terhadap perempuan di Jabar, tercatat ada 324 kasus pada periode Januari-pertengahan Desember 2018. Sebanyak 152 kasus adalah kekerasan seksual dan 77 kasus perkosaan. Kasus lain berupa kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran.
Kedelapan lembaga itu tersebar di Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kabupaten Karawang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, dan Kota Bandung.
Data tersebut diungkap dalam ”Dialog Publik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Komitmen Negara untuk Perlindungan Perempuan (Refleksi 90 Tahun Hari Pergerakan Perempuan Indonesia)” di Bandung, Jumat (21/12/2018).
Sri Mulyati, Direktur Sapa Institut, lembaga pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Bandung, mengatakan, banyaknya kekerasan seksual belum dibarengi dengan perlindungan hukum memadai. Banyak kasus tidak diproses secara hukum.
Alasannya beragam, mulai dari dianggap tidak memenuhi ketentuan alat bukti karena butuh pengakuan tersangka hingga tidak memenuhi definisi perkosaan sesuai KUHP. ”Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual, khususnya perkosaan, sangat berat karena menghancurkan seluruh integritas kehidupan korban,” ujarnya.
Berikan rasa aman bagi semua perempuan dalam menjalankan semua aktivitasnya. Kasus kekerasan tidak boleh terus terulang.
Anggota Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Ira Imelda, mengatakan, hal serupa jadi keprihatinan banyak lembaga pendampingan korban kekerasan perempuan. Butuh sejumlah percepatan untuk mengatasinya.
Salah satunya, lanjut Ira, mendesak DPR agar tidak menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Penundaan adalah pembiaran terhadap maraknya kasus kekerasan.
”Kekerasan mengancam kualitas kehidupan generasi penerus dan ketahanan bangsa Indonesia, dan akan menyebabkan tujuan pembangunan berkelanjutan tidak tercapai,” ucapnya.
Memihak korban
Ira mendorong agar institusi pendidikan, pemerintah daerah, penegak hukum, dan semua lapisan masyarakat berpihak kepada korban. Jika dilakukan, ia yakin hal itu menjadi langkah efektif mencegah kasus kekerasan seksual di lingkungan terdekatnya.
”Berikan rasa aman semua perempuan dalam menjalankan semua aktivitasnya. Kasus kekerasan tidak boleh terus terulang,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Jabar Atalia Kamil optimistis program Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita-Cita (Sekoper Cinta) yang diluncurkan pekan lalu bisa turut mewujudkan masa depan perempuan Jabar yang lebih baik. Sejumlah materi terkait pengembangan usaha, manajemen ekonomi, kesehatan, dan kekerasan akan terus diberikan guna menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari.
”Kami berharap, dengan bekal ilmu yang tepat, potensi kasus penjualan manusia, kekerasan, pernikahan anak, perceraian akibat masalah ekonomi, stunting, hingga angka kematian ibu perlahan bisa dikurangi,” kata Atalia.
Ke depan, lanjutnya, pihaknya akan bekerja sama dengan sejumlah sekolah perempuan yang ada di Jabar untuk terus mempromosikan beragam program itu. Ia mengatakan, saat ini sudah ada beberapa daerah yang menerapkan sekolah perempuan, seperti Kota Bogor, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bandung.