Ekspresi Kebebasan
Sejumlah penggiat musik menyelenggarakan acara ”Berdendang” di Kios Ojo Keos, Jakarta, Selasa (18/12/2018). Mereka membahas dan memutar musik Indonesia pada 1950-an. Bincang-bincang santai itu dipandu pengelola Kios Ojo Keos yang juga manajer grup musik Efek Rumah Kaca, Dimas Ario.
Budi Warsito, pengarsip perpustakaan dan toko buku Kineruku yang menyediakan referensi mengenai musik dan film, menjadi pembicara dalam diskusi ini. Musik pada 1950-an dinilai sangat penting. Setelah lepasnya Indonesia dari kungkungan kolonialisme membuat para musisi ketika itu lebih bebas berekspresi.
”Era 1950-an memang unik dalam perkembangan musik Indonesia. Konon, label rekaman pribumi pertama, yaitu Irama, berdiri pada 1951,” ucap Budi. Soejoso Karsono, perwira TNI Angkatan Udara yang akrab disapa Mas Jos, mendirikan label tersebut di Jakarta.
Usaha yang bermula dari garasi itu kemudian diikuti label lain, seperti Dendang, Remaco, dan Lokananta, sehingga dunia musik Indonesia kian semarak. ”Saya membaca-baca, Saiful Bahri mendirikan Dendang sekaligus sebagai direktur, pencipta lagu, musisi, dan penjualnya,” katanya.
Selain Indonesia, Saiful terkenal paling tidak hingga Singapura dan Malaysia karena selain berbisnis, lagu-lagunya menghiasi film karya bapak perfilman nasional Usmar Ismail, yakni Tiga Dara (1956) yang sangat laris pada masanya. Kualitas rekaman tahun 1950-an pun semakin baik.
”Rekaman pada era sebelumnya sering berasal dari pertunjukan atau live. Jadi, sayup-sayup. Malah bisa cempreng. Enggak enak didengar,” kata Budi. Teknologi dasawarsa selanjutnya lebih berkembang. Musik pun mewarnai film dan mulai dipertimbangkan sebagai kesatuan.
Acara itu juga dimeriahkan grup pemutar piringan hitam segala suasana Dua Sejoli. Di sela jeda bincang-bincang, grup yang beranggotakan Aria Anggadwipa dan Intan Anggita itu menampilkan lagu-lagu lawas, seperti ”Tiga Dara”, ”Dunia”, ”Krisis”, ”Sabda Alam”, ”Nurlela”, dan ”Ayam Den Lapeh”.
Dalam istilah musik, suara yang dikeluarkan terdengar sangat raw atau mentah lengkap dengan sedikit keresek-kereseknya. Piringan hitam shellac 78 rotasi per menit (rpm) berikut gramofonnya untuk memutar lagu-lagu tersebut juga masih terawat baik dan orisinal.
Menurut Budi, tidak hanya tahun 1950-an, Indonesia ditilik berdasarkan perspektif musiknya sejak zaman dahulu sangat menarik. ”Hindia Belanda itu pasar yang besar karena percampuran musiknya macam-macam. Ada musik melayu, Tionghoa, keroncong, dan India,” ucapnya.
Musik Indonesia, terutama lagu-lagu etnik, bahkan menarik industri rekaman dari Eropa dan Amerika pada 1920-an hingga awal tahun 1940-an. Namun, datangnya bala tentara Jepang yang berlanjut dengan hiruk pikuk perjuangan kemerdekaan menghambat dinamika bermusik.
”Sebagian perkembangan musik tak terekam. Musik lebih sering dimanfaatkan untuk propaganda. Begitu Indonesia merdeka, situasi berubah,” ujar Budi. Piringan hitam vinil yang bisa merekam lebih banyak lagu berangsur menggantikan shellac.
”Industri musik dunia sepakat menggunakan vinil sejak tahun 1948 meski perkembangannya di Indonesia telat sekitar 10 tahun,” katanya. Bahasa Inggris yang menggantikan Belanda masuk lewat ledakan film dan musik barat. Musisi-musisi Indonesia pun mengalihkan perhatian ke Amerika Serikat.
Pada kesempatan itu, selain diskusi, kelompok musik Nonaria dan penyanyi Louise Deredia memeriahkan suasana. Mereka mendendangkan sejumlah lagu, seperti ”Antri Yuk!”, ”Maling Jemuran”, ”Pepaya Mangga Pisang Jambu”, ”Geef mij maar Nasi Goreng, ”Salam Nonaria”, dan ”Kopral Jono”.
Di kafe yang juga menjual buku, cakram kompak, dan baju itu, sebagian pengunjung terpaksa berdiri. Meski begitu, tepuk tangan selalu membahana setiap Nonaria dan Louise selesai bernyanyi.
Menurut Dimas, berbagai acara, seperti diskusi, peluncuran buku, dan konser musik, rutin diselenggarakan di Kios Ojo Keos ini. Acara open mic, misalnya, diadakan untuk para penyanyi yang ingin tampil.
Nonaria yang beranggotakan Nesia Ardi (vokal dan senar drum), Nanin Wardhani (akordeon), dan Yasintha Pattiasina (biola) memilih aliran jazz retro. ”Tren itu berputar, termasuk musik. Kami berharap Nonaria bisa menambah khazanah musik Indonesia,” ucap Nesia.
Lagu ”jadul”
Kegemaran Nonaria mendengarkan serta merunut musik-musik lawas hingga seabad silam menjadi latar belakang trio perempuan itu menggeluti swing dan ragtime. Mereka meyakini musik tersebut tak pernah membosankan dan senantiasa memiliki penggemar.
Yasintha mengatakan, banyak penikmat musik Indonesia belum mengeksplorasi lagu-lagu jadul. Kondisi itu justru dianggap sebagai peluang bagi Nonaria untuk memperkenalkan musiknya. Nonaria menawarkan beragam lagu tentang kehidupan sehari-hari.
”Sederhana, tetapi liriknya nempel banget. Selain itu, selalu ada pesan sosial yang ingin disampaikan. Jarang ada lagu seperti itu,” ujar Nesia. Lagu ”Antri Yuk!”, misalnya, mengajak para pendengarnya lebih tertib saat menunggu giliran untuk dilayani.
Hobi Nesia, Nanin, dan Yasintha mencicipi makanan pun bisa menginspirasi mereka untuk menggubah lagu. Maka, terciptalah lagu ”Sayur Labu”. ”Itu Indonesia banget,” ucap Yasintha seraya tertawa.