JAKARTA, KOMPAS - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengonfirmasi bahwa gelombang yang terjadi di pesisir Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) malam, adalah gelombang tsunami dan tidak dipengaruhi gelombang pasang. Penyebab tsunami masih diduga karena longsor bawah laut.
Kepala Pusat Meteorologi Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Nelly Florida Riama mengatakan, pada Sabtu malam tidak ada penjalaran gelombang tinggi atau rambatan gelombang (swell) dari Samudera Hindia di perairan barat Sumatera hingga Selat Sunda bagian selatan.
"Gelombang tsunami kemarin murni fenomena lokal," ujar Nelly saat ditemui di Kantor BMKG, Jakarta Pusat, Minggu (23/12).
Analisa Citra Satelit Altimetri menunjukkan, gelombang tinggi yang ditemukan sebagai tsunami pada sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi pada saat peralihan dari fase pasang maksimum menuju surut terendah. Ketinggian permukaan air laut di pantai barat Lampung juga tercatat dalam kondisi normal.
Sementara itu, alat pencatat gelombang atau tide gauge BMKG mencatat adanya anomali pada ketinggian gelombang air laut di perairan Selat Sunda pada Sabtu malam. Di wilayah Serang tercatat gelombang dengan ketinggian 0,9 meter pada 21.27 WIB, tide gauge Banten dengan ketinggian 0,35 meter tercatat pukul 21.33 WIB.
Sedangkan tidegauge di Kota Agung, Lampung, pada pukul 21.35 WIB mencatat ketinggian 0,36 meter, dan tide gauge Pelabuhan Panjang mencatat ketinggian 0,28 meter pada pukul 21.53 WIB.
Pada konferensi pers, Minggu siang, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya mengatakan, gelombang tinggi yang menghantam beberapa wilayah di pesisir Selat Sunda adalah tsunami karena gelombang energi yang begitu besar. Tsunami ini diduga akibat longsor bawah laut yang dipicu aktivitas Gunung Anak Krakatau.
"Kita bisa kenali dari energi gelombangnya yang begitu besar dari dasar laut. Sejauh ini, kami mengasumsikan tsunami ini terjadi karena longsor bawah laut. Tetapi, kami masih harus melakukan survei lapangan dan modelling (permodelan) melalui teori-teori," ujar Tiar.
Selain karena faktor seismik atau aktivitas gempa bumi, longsor di bawah laut dan jatuhnya meteor bisa memicu tsunami. Tsunami akibat seismik adalah yang paling sering terjadi.
Fenomena jarang
"Fenomena ini unik karena jarang terjadi. Tidak adanya aktivitas seismik atau gempa bumi membuat kami tidak bisa memprediksi tsunami susulan," kata Tiar. Fenomena tsunami ini pun tidak dapat dideteksi dengan teknologi yang tersedia.
Peringatan dini tsunami dapat diketahui masyarakat di kawasan pesisir melalui sirene yang terpasang dalam Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS). Namun, sistem tersebut bekerja pada kejadian tsunami yang dipicu gempa bumi. Peringatan bisa diberikan dalam waktu hingga kurang dari lima menit.
Ketika analisis sistem mengendus gempa memenuhi kriteria tsunami, seperti lokasi di laut dengan kedalaman kurang dari 70 km dan berkekuatan lebih dari M 7, peringatan tsunami segera dikirim operator sirene di sejumlah pesisir. Peringatan itu lalu divalidasi sensor di lautan (buoy) dan pantai (tide gauge), apakah tsunami benar terjadi atau tidak (Kompas, 28/4/2014).
Terkait tsunami di Selat Sunda, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menyampaikan, BMKG tidak memberikan peringatan apapun. "Kami juga tidak mencatat ada hal yang serius sehingga ada tsunami susulan," ujarnya saat konferensi pers di Kantor BMKG, Minggu siang.
BMKG telah memasang sirene peringatan dini tsunami di beberapa titik di Banten dan Lampung. Di Banten, sirene terpasang di daerah Panimbang, Labuan, dan Pasauran. Sementara di Lampung, sirene terpasang di Tanggamus dan Kalianda.
Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, perintah evakuasi akibat ancaman tsunami menjadi tugas kepala daerah, di antaranya melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sedangkan sesuai UU Nomor 31 Tahun 2009, BMKG bertugas untuk memberikan peringatan dini tsunami.
Gelombang pasang
Di luar gelombang tsunami, warga diminta untuk tidak khawatir dengan gelombang tinggi yang terjadi di perairan Selat Sunda. Tingginya gelombang akhir-akhir ini dipengaruhi gaya gravitasi bulan purnama, yang biasa terjadi di awal dan akhir bulan Hijriah.
Eko Prasetyo dari Pusat Meteorologi Maritim BMKG mengatakan, pada 24 dan 25 Desember 2018, daerah pesisir dan pantai di sekitar Selat Sunda akan mengalami pasang maksimum.
"Fenomena ini akan menyebabkan air laut pasang sampai menggenangi daratan. Di daerah Banten dan Jakarta, ini akan terjadi pada dini hari sekitar pukul 01.00-02.00 pagi," tuturnya.
Naiknya permukaan air laut pada periode ini membuat warga harus lebih berhati-hati agar tidak mendekati pantai. (ERIKA KURNIA)