Pekan ini, rencana PT KAI Commuter Indonesia (KCI) untuk mengoperasikan kereta rel listrik atau KRL premium menjadi perbincangan banyak orang, khususnya para komuter yang saban hari memakai KRL. KRL premium disebut akan bersaing dengan KRL Commuterline yang selama ini melayani penumpang di semua rute.
KRL premium, atau yang disebut Direktur Operasi dan Pemasaran PT KCI Subakir sebagai kereta luar biasa (KLB) premium, akan dijalankan sebagai tambahan layanan. Uji coba akan dilangsungkan pertengahan tahun 2019.
Berdasarkan berita kompas.id, Jumat (21/12/2018), disebutkan bahwa perbedaan pelayanan antara KRL reguler dan KLB premium adalah kereta premium tidak berhenti di semua stasiun. Kapasitas angkut KRL premium ini pun bakal dibatasi.
KRL premium ini mengingatkan kita akan KRL ekspres yang pernah menghiasi jalur rel di Jabodetabek. Sebelum pertengahan tahun 2011, ada tiga kelas KRL yang beroperasi yakni KRL ekspres, KRL ekonomi AC, dan KRL ekonomi. Masing-masing memiliki tarif dan kelas pelayanan yang berbeda.
KRL ekspres, dengan tarif termahal, tidak berhenti di semua stasiun. Adapun KRL yang berlabel ekonomi berhenti di semua stasiun. Bedanya, ada yang pakai AC dan ada yang tidak.
Perbedaan ini tentu saja menciptakan kelas pelayanan yang berbeda. Akibatnya, penumpang juga tidak bisa langsung naik KRL yang tiba di stasiun, melainkan harus mencocokkan tiket di tangan dengan jenis pelayanan KRL yang datang saat itu.
Di perjalanan, kerap terjadi KRL ekonomi harus mengalah karena si ekspres akan melaju duluan. Walau tidak sama persis, model pelayanan ini masih terasa di jalur Bekasi-Manggarai. Saat ada KA jarak jauh yang lewat, KRL harus minggir dulu.
Setelah tiga kelas pelayanan dihapus dan disatukan seperti saat ini, penumpang tinggal naik KRL yang datang pertama kali, sesuai rute yang dikehendaki. Kalau di tengah jalan penumpang berubah pikiran dan hendak mengganti rute perjalanan, ia cukup turun di stasiun terdekat dan berpindah peron untuk naik KRL lain.
Dengan jumlah penumpang sekitar 1 juta per hari saat ini, menunggu KRL 5 menit saja di jam sibuk sudah membuat peron sesak. Bisa dibayangkan ketika KRL premium beroperasi, peron stasiun akan semakin padat karena KRL reguler harus mengalah saat disusul kereta premium. Belajar dari masa lalu, pola operasi KRL dengan banyak kelas ini tidak efektif.
Sebenarnya, ketimbang berpusing-pusing menghidupkan lagi kelas baru untuk KRL, PT KCI bisa fokus pada peningkatan pelayanan. Sejumlah gangguan kereta yang terjadi belakangan ini harus segera dicarikan solusinya agar keterlambatan perjalanan bisa dihilangkan. Kejadian seperti terbakarnya pintu KRL, 21 Desember lalu, seharusnya tidak terjadi lagi.
Begitu juga jarak waktu kedatangan antar KRL sebaiknya mendapat perhatian lebih pihak terkait. Dengan begitu, kepadatan KRL bisa dikurangi tanpa memusingkan penumpang untuk memilih kelas KRL reguler atau premium.
Bila kelas premium jadi diselenggarakan, bukan tidak mungkin waktu kedatangan KRL akan makin panjang, terutama kalau ada gangguan perjalanan. Hal ini seperti saat lokomotif kereta barang anjlok di Stasiun Jatinegara, 14 Desember silam.
Tentu saja, fokus ini perlu didukung oleh PT KAI selaku induk usaha dan pengelola prasarana, serta Ditjen KA dan pemerintah sebagai regulator. Ini termasuk pemikiran ulang pemberian subsidi lewat public service obligation (PSO) dari pemerintah agar manfaatnya lebih terasa bagi penumpang maupun operator.