Kuncup Telah Mekar
Dea Panendra (24) jatuh cinta setengah mati pada dunia seni peran. Ibarat bunga, berkat dunia seni peran, Dea berani membuka lapis demi lapis kelopak dirinya yang sebelumnya kuncup dan tertutup hingga mekar berseri. Kini dia siap menyambut apa pun di hadapannya dengan terbuka.
”Aku, tuh, anaknya introver. Enggak percaya, ya? Ha-ha-ha,” ujar Dea. Tawa renyah itu pecah, begitu kontradiktif dengan kalimat pertamanya. Dea duduk santai di kursi sembari menanti latihan teater musikal Bunga untuk Mira di gedung pertemuan Nyi Ageng Serang, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Cerita mengalir tak putus ketika ia ditanya tentang dunia yang digelutinya kini. Penuturannya penuh semangat diseling tawa riang. Pembawaannya tidak mengesankan sosok seorang introver seperti dikatakannya tadi.
”Teman dan keluarga bilang, aku anaknya flat, datar. Mau senang, sedih, marah, flat saja. Setelah ketemu akting, aku mulai bisa mengekspresikan diri,” ujarnya.
Teater musikal menjadi perkenalan pertama Dea dengan dunia seni peran. Setelah tereliminasi dari finalis Indonesian Idol2010, Dea mendapat tawaran dari Erwin Gutawa untuk ambil bagian dalam Musikal Laskar Pelangi.
Meskipun sudah jadi finalis Indonesian Idol, Dea merasa belum benar-benar suka dengan dunia tarik suara. Ia mengikuti kontes itu lebih karena dorongan teman-teman dan orang-orang di sekitar yang melihat dia berbakat menyanyi. Justru setelah berkenalan dengan teater musikal, barulah Dea sungguh suka bernyanyi. ”Ternyata menyanyi itu tidak sekadar sendirian di atas panggung,” kenang Dea.
Apalagi, pada teater musikal, dia tidak hanya menyanyi, tetapi juga menari dan berakting. Padahal, kegiatan itu sama sekali hal baru baginya.
”Aku bilang ke Mas Erwin, aku enggak bisa nari, enggak bisa akting. ’Ah, itu bisa dipelajari,’ katanya. Jadi, ya, sudah. Akhirnya bisa jatuh cinta sama yang namanya akting,” ujarnya.
Mengenal diri
Dalam perjalanannya mempelajari akting itulah Dea memahami bahwa seni peran bukan hanya persoalan memerankan orang lain, melainkan justru tentang mengenal diri sendiri. Hingga tanpa sadar, sudah delapan tahun dia menggeluti teater musikal sampai saat ini.
Dea lalu memutuskan menantang dirinya dengan berperan dalam film. Namun, manajernya, Cindy, yang sudah dianggap kakak sendiri, meminta dia menjajal jadi kru film dulu sebelum bermain film. Tujuannya agar bisa menghargai kerja produksi film.
Jadilah Dea bergabung sebagai sekretaris produksi. Dia mengerjakan produksi film, merasakan susahnya., tidak bisa tidur, dan lelah. Dia memutuskan menjadi aktris saja.
Pelajaran yang dia petik, dengan mengetahui kerja kru produksi film, dia tak mentang-mentang sebagai aktris, merasa ditunggui semua orang. Sebab, setiap orang yang terlibat punya bagian masing-masing yang harus dikerjakan dengan baik.
Pelajaran paling besar yang dipetik Dea saat berperan sebagai Novi dalam film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak karya sutradara Mouly Surya. Lewat peran itu, kecintaan Dea pada dunia seni peran mendapat ujian berat. Belum lagi tantangan bagi pribadinya yang cenderung tertutup. Novi adalah sahabat Marlina. Karakternya bisa dibilang berlawanan dengan karakter Dea.
”Awalnya aku stres. Hampir tiap hari menangis. Enggak ada yang tahu, Mbak Mouly juga enggak tahu. Aku bilang ke kakakku, ’Aku enggak bisa jadi orang cerewet, aku nyesel. Aku mau bilang ke Mbak Mouly kalau aku enggak bisa. Hu-hu-hu.’,” tutur Dea yang bercerita sembari menirukan suara orang menangis sesenggukan.
Dia geli sendiri mengenang masa-masa itu. Saking tidak percaya diri dan takut, dia hampir putus asa memerankan Novi.
Kerja keras
Untuk peran Novi, Dea menggambarkan dirinya bekerja sangat keras. Dia berdiskusi dengan banyak orang untuk menghidupkan sosok Novi, seorang gadis kampung di Sumba yang sedang hamil. Saat menjalani proses itu, Dea berpikir bagaimana caranya dia membuat Novi itu riil.
”Karakter cerewetnya itu yang membuat aku latihan setiap hari ngomong sama kakakku, sama pemain lain, sama orang lain. Belajar menyapa duluan. Dulu mana berani. Sekarang bisa bilang duluan ke orang, halooo, apa kabar. Ha-ha-ha.”
Untuk memerankan perempuan yang sedang hamil, sesuatu yang belum pernah dialaminya, Dea banyak bertanya kepada teman yang pernah mengalami. Dia juga belajar lewat Youtube. Banyak ibu melahirkan yang membuat vlog dan mengunggahnya ke Youtube. Dengan begitu, dia setidaknya memiliki gambaran lebih nyata tentang kontraksi, pecah ketuban, hingga proses bayi keluar dari rahim.
Dea juga terbantu dengan skrip yang mengalir dan enak dibawakan, bahkan untuk monolog sekalipun. Bagi dia, adegan Novi bermonolog sambil berkemih di padang savana adalah yang terbaik.
Dia pun meraih penghargaan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 2018 yang dianugerahkan awal Desember lalu. Sesuatu yang tak ia sangka-sangka.
Dea belajar secara otodidak untuk akting, menyanyi, dan menari. Menurut dia, terjun secara langsung bersama para pelaku di sekelilingnya, berbincang dengan mereka, tanpa embel-embel teori, menjadi pendekatan yang paling riil yang bisa dilakukannya. Namun, ia berkeinginan suatu saat nanti juga belajar melalui institusi formal atau komunitas agar semakin profesional.
Kerja keras, menurut dia, sangat dibutuhkan terlebih karena dunia seni tidak diakrabi keluarganya. Hanya almarhum kakeknya yang sering menyanyi cianjuran untuk orang-orang Belanda di masa kolonial. Mirip sinden Jawa atau Sunda, katanya, tetapi cengkoknya khas dan lebih rumit. Dea juga bertekad mempelajari cianjuran suatu saat nanti.
Dukungan penuh datang dari sang ibu yang setia mencarikan festival agar Dea bisa tampil bernyanyi, menemani saat pentas, bahkan membuatkan kostum. Dari pentas 17 Agustus di kompleks perumahan, pesta perkawinan keluarga, hingga audisi Indonesian Idol, ibundalah yang berada di sisinya.
Meskipun awalnya terpaksa, kini Dea sangat mencintai dunianya. Dunia seni peran mempertemukan dia dengan orang-orang yang menarik. Mereka membuat dia sadar bahwa dunia tidak cuma bulat, kotak, atau segitiga, tetapi beragam bentuknya.
”Buatku, tugas aktris adalah mencari, mencari, dan mencari. Menjadi aktris itu belajar menjadi lebih bijaksana, begitu kata teman dan guruku. Benar memang, aku jadi bisa mengenal orang lain, masuk ke dalamnya, mencari tahu, berkaca terhadap diri sendiri,” tutur Dea, yang kini hobi yoga.
Capaiannya saat ini justru menjadi lecutan agar tidak berhenti dan cepat berpuas diri. Bukan pula sebagai beban yang menghalangi dia melakukan hal yang diinginkannya.
”Yang membuat aku kuat justru cibiran orang, yang bilang, ’kamu enggak bisa’ atau ’kamu enggak cantik’. Aku tetap akan di jalur ini karena inilah yang membuat aku jadi seperti sekarang,” ujar Dea mantap.
Dea Panendra
Lahir: Bandung, 18 Januari 1991
Pendidikan: SMA YKM Tanjungsari
Drama Musikal, antara lain
- Musikal Laskar Pelangi (2011)
- Musikal Badai Kasih (2013)
- Musikal Gita Cinta (2013)
- Musikal Timun Mas (2013)
- Slank ”Jakarta Pagi Ini” (2014)
- Tresna (2014)
- Khatulistiwa ”Jejak Langkah Negeriku” (2016)
- Musikal Bunga untuk Mira (2018)
Program Televisi:
- Finalis Indonesian Idol season 6 (2010)
- FTV Pesan dari Samudera (2013)
Teater:- The Laundry karya David Guerdon, Festival Teater Jakarta (2014)
Film:
- The Players (2015) sebagai sekretaris produksi
- Ini Kisah Tiga Dara (2016) sebagai sous-chef
- Marlina, The Murderer in Four Acts (2016) sebagai Novi
- Chrisye (2017) sebagai Ratih
- Jakarta vs Everybody (2018) sebagai Khansa
- Danur 2-Maddah (2018) sebagai Canting
- OKB (2018) sebagai Monika
- Gundala (2018) sebagai Bonita
Penghargaan:
- Nomine Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Tempo (2017)
- Nomine Aktris Pendatang Baru Terbaik Piala Maya (2017)
- Aktris Peran Pendukung Terbaik iCinema Awards (2017)
- Nomine Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Wanita Terfavorit, Pemeran Pendatang Baru Terbaik Indonesian Movie Actors Awards (2018)
- Pasangan Peran Terbaik (bersama Marsha Timothy) Indonesian Movie Actors Awards (2018)
- Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia (2018)