Pengusutan Kontainer Kayu Dijanjikan Hingga Tuntas
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan proses penyelidikan dan penyidikan kasus 40 kontainer berisi kayu dari Papua ke Surabaya, Jawa Timur, diusut tuntas. Saat ini penyidik baru menetapkan dua tersangka perusahaan penerima 6 kontainer kayu. Dalam beberapa waktu mendatang, jumlah tersangka bisa bertambah mengingat masih terdapat 34 kontainer lainnya.
Penyidik pun akan mencermati modus kejahatan kehutanan ini untuk menjadi masukan dalam perbaikan tata kelola hutan dan mencegah pembalakan liar di Papua. “Kasus ini merupakan pintu masuk untuk atasi masalah illegal logging di Papua dan tempat lain karena modus pencucian (kayu) seperti ini sedang berkembnag,” ucap Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Sabtu (22/12/2018) di Jakarta.
Seperti diberitakan, pada 6 Desember 2018, tim gabungan KLHK membongkar 40 kontainer berisi kayu merbau ilegal senilai Rp 12 miliar. Kontainer tersebut diangkut dari Pelabuhan Sorong di Papua Barat menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Enam container telah dikirimkan jasa pengiriman PT Salam Pasific Indonesia Lines (SPIL) ke perusahaan PT SUAI yang berlokasi di Gresik dan UD MAR di Pasuruan (Kompas, 7 Desember 2018).
Selain menetapkan PT SUAI dan UD MAR sebagai tersangka korporasi, penyidik pun sedang mendalami dugaan kasus pelanggaran lain. Pada gudang penyimpanan kedua perusahaan itu penyidik juga menemukan kayu-kayu lain yang diduga ilegal.
Sedangkan 34 kontainer lain yang masih diparkir di PT SPIL, kata Rasio, hingga kini belum ada yang mengambilnya. Namun pihaknya telah mengantongi dokumen tujuan pengiriman container-kontainer tersebut.
Ihwal penyidik terkesan lamban mengungkap kasus ini, Rasio menampiknya. Ia mengatakan Ditjen Gakkum mengerahkan 15 penyidik –termasuk penyidik pada Balai Gakkum wilayah Jawa – untuk berjibaku membongkar kasus ini.
Lalu apakah terdapat perusahaan besar di balik ini? “Kami tidak pernah melihat subyek hukum itu perusahaan bsar dan kecil, itu sama saja bagi kami. Banyak korporasi besar juga kami tindak,”kata dia.
Di sisi lain, desakan muncul dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) agar kasus ini segera dituntaskan. Bila tak diusut tuntas dan diberi sanksi tegas, JPIK khawatir ke depan modus serupa akan digunakan dan kasus terus berulang.
“Penindakan ini harus ditindaklanjuti dengan menelusuri pihak-pihak yg terlibat didalamnya. Gakkum juga harus menindak perusahaan penyuplai dan memeriksa perusahaan yang selama ini mendapatkan pasokan kayu dari kedua perusahaan tersebut,” kata Muhammad Ichwan Musthofa, Dinamisator Nasional JPIK.
Ia pun mendesak agar KLHK aktif mengecek status kedua perusahaan tersebut dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Bila perusahaan telah mengantongi Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) maka Lembaga Sertifikasi didorong untuk membekukan dan mencabut sertifikat tersebut karena tak lagi memenuhi aturan SVLK. Ini untuk membuktikan keseriusan Indonesia dalam memastikan SVLK tak menolerir penggunaan kayu ilegal.
“JPIK pada tanggal 19 Desember 2018 telah mengajukan permohonan audit khusus kepada industri yang bersertifikat SLK kepada Sucofindo dan BRIK selaku penerbit SLK untuk dua industri yang diduga menerima kayu olahan ilegal dari Papua Sorong tersebut,” kata dia.
JPIK juga meminta daftar penerima kayu olahan yang disuplai UD MAR dan PT SUAI. Hal ini penting untuk membuktikan SVLK yang juga diakui di Uni Eropa sebagai Lisensi FLEGT ini merupakan sistem kuat yang bisa menelusuri kayu olahan dari hulu hingga hilir dan sebaliknya.
Ia pun meminta Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK aktif menindaklanjuti pelanggaran ini. Diantaranya dengan melakukan pengecekan asal usul bahan baku pada pemegang izin industri primer dan konsesi di Papua Barat.
Ichwan mengatakan JPIK Jatim sedang menyiapkan dokumen permohonan pencabutan izin operasi industri PT SUAI dan UD MAR kepada Gubernur Jatim. Ini karena aktivitas perusahaan melanggar aturan SVLK dengan dugaan kuat sebagai industri penadah kayu olahan ilegal dari Papua.