PALANGKARAYA, KOMPAS - Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, para ibu dan perempuan adalah kunci ketahanan pangan. Bukan dengan mengelola keuangan, tetapi memanfaatkan alam untuk memenuhi pangan keluarga melalui sistem pertanian tradisional. Alih fungsi hutan menjadi ancaman nyata pada saat ini.
“Bagi masyarakat Dayak, hutan itu kebun mereka, kelebihannya baru dijual,” kata antropolog sosial dan budaya Universitas Indonesia asal Kalteng, Marko Mahin, di sela peringatan Hari Ibu Ke-90 oleh Lembaga Studi Dayak-21 di Palangkaraya, Sabtu (22/12/2018).
Marko dan lembaga itu meneliti tiga desa di Kabupaten Katingan, sejak tahun 2017. Ketiganya adalah Desa Tewang Karangan, Dahian Tunggal, dan Tumbang Lawang. Adapun Afentina, peneliti Monash Sustainability Institute, Australia, meneliti jaringan pasar pangan lokal masyarakat Dayak.
Menurut Marko, ibu-ibu Dayak memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap 108 jenis padi dan 30 jenis ketan, yang semuanya ditanam di rawa maupun di ladang pinggir sungai. Mereka juga menikmati 119 jenis buah hasil budidaya dan nonbudidaya. Mereka juga mengonsumsi 172 jenis sayuran dan meramu ratusan jenis biji-bijian dan bumbu.
“Semuanya didapat di sekitar rumah, sekitar kebun, dan hutan di dekat kampung. Itu semua diolah dengan menanam sendiri atau tumbuh liar alami,” kata Marko.
Para perempuan bekerja di ladang, kebun, pekarangan rumah, atau menanam di pinggir sungai yang disebut tapui. Mereka bahu membahu bersama suami menanam sayur, singkong, ubi jalar, jagung, dan memasarkan hasil usaha.
Contohnya Santi (33), perempuan Dayak asal Tumbang Mantuhe, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. Ia mengumpulkan sayuran setiap pulang mandi di sungai sekitar 700 meter dari rumahnya. Tak hanya sayuran, ia juga mengumpulkan beberapa dedaunan obat.
“Untuk anak-anak, kalau misalnya bersin-bersin, daun-daun ini bisa diseduh pakai air hangat. Tidak pahit,” kata Santi, istri petani.
Kalau hasil padi mereka berlebih biasanya mereka menjualnya lagi. Namun, dari hutan mereka bisa menjual madu hutan dan buah-buahan, seperti durian, rambutan, dan yang lainnya.
Ringkih
Penelitian Afentina menemukan, ibu-ibu Dayak lebih fokus pada kebutuhan keluarga dibanding menjual hasil panen. Ketahanan pangan masyarakat Dayak sangat bergantung pada kendali ibu atau perempuan.
Umumnya, kebutuhan pangan pedesaan di Kalteng juga masih subsisten atau bertumpu penuh pada alam. “Mereka sangat bergantung pada alam. Mereka sangat ringkih pada dampak perubahan alam atau degradasi sumber daya alam karena alih fungsi lahan, deforestasi, dan lainnya,” ungkap Afentina.
Berdasar penelitian itu pula, kata dia, hanya sebagian kecil dari masyarakat pedesaan yang menjadikan hasil budidayanya untuk mata pencaharian.
Menurut Afentina, para pedagang sayur tradisional yang sebagian ibu-ibu itu juga mengetahui keunggulan produknya yang lebih sehat, organik, dan segar. Mereka juga mengonsumsinya. Meskipun demikian, mereka tidak memiliki daya tawar harga yang tinggi, semua dijual murah.
“Bahkan, kami menemukan kalau sayuran di Katingan itu dari desa dikirim ke Kota Palangkaraya lalu dijual lagi ke Kabupaten Katingan dengan harga yang menjadi lebih tinggi karena banyak juga tengkulak sayur-mayur,” kata Afentina.
Sementara itu, pada puncak peringatan Hari Ibu di Bukittinggi, Sumatera Barat, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengingatkan, selain sebagai momentum kebangkitan bangsa, Hari Ibu diharapkan mendorong terciptanya kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan.
Secara nasional, puncak peringatan Hari Ibu dipusatkan di Lapangan Kantin, BukittinggBukittinggi, Sumatera Barat.