JAKARTA, KOMPAS — Gelombang laut yang melanda pesisir Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam dipastikan sebagai gelombang tsunami, tetapi penyebabnya masih didalami. Dugaan kuat, tsunami kali ini akibat runtuhnya sisi tubuh anak Krakatau, bukan karena gempa bumi tektonik.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Minggu (23/12) pukul 8.45 WIB, jumlah korban meninggal mencapai 43 orang, 584 orang terluka, serta 2 orang hilang. Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, jumlah korban bisa terus bertambah seiring dengan pendataan yang masih terus dilakukan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam rilisnya menyatakan bahwa kejadian ini sebagai tsunami, tetapi belum dijelaskan sumber atau penyebabnya secara pasti. Disebutkan, berdasarkan data tidegauge atau alat pemantau muka air laut di Serang, gelombang tsunami tiba di Serang pada pukul 21.27 WIB dengan ketinggian 0,9 meter, di Banten tiba pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0,35 m, di Pelabuhan Panjang, Lampung, pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0,28 m.
[caption id="attachment_9966252" align="alignnone" width="720"] Waktu tiba tsunami di Banten dan Lampung. Sumber: BMKG[/caption]
”Berdasarkan analisis sinyal seismik tidak didapatkan adanya rekaman gempa pada waktu yang berdekatan dengan terjadinya tsunami. Peristiwa ini tidak terkait aktivitas gempa tektonik,” kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono
Sementara itu, Deputi Meteorologi BMKG Mulyono Rahadi Prabowo mengatakan, dari kondisi meteorologis, juga tidak mengindikasikan ada tekanan udara atau angin signifikan di sekitar Selat Sunda yang bisa menimbulkan surge atau gelombang tinggi tinggi tiba-tiba hingga ke daratan. ”Tekanan udara di sekitar Selat Sunda relatif kecil untuk memicu terjadi meteotsunami (tsunami dipicu oleh meteorologi). Pola aliran udara cenderung bergerak atau bergeser ke barat,” kata Mulyono.
Peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, melihat kategori panjang gelombangnya, peristiwa ini bisa dipastikan sebagai tsunami. ”Kategori gelombang dengan panjang periode 1-40 menit adalah tsunami. Kali ini panjang gelombangnya 5-6 menit,” kata Widjo. ”Tsunami ini kemungkinan terkait dengan aktivitas anak Krakatau.”
Namun, berdasarkan penjelasan resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dalam siaran persnya, tsunami kali ini belum bisa dipastikan berkaitan dengan aktivitas anak Krakatau. Disebutkan, pada Sabtu malam memang terekam gempa tremor menerus dengan magnitudo 55 milimeter dan kemudian terjadi letusan pada pukul 21.03 WIB.
Pernyataan apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan masih didalami karena ada beberapa alasan, yaitu material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah menurun. Untuk menimbulkan tsunami diperlukan ada runtuhan yang cukup besar yang masuk ke kolom air alur dan untuk itu diperlukan energi cukup besar. Ini yang tidak terdeteksi oleh seismograf di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau. Disimpulkan, masih perlu data untuk dikorelasikan antara letusan dan tsunami.
Tsunami Krakatau
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya juga mengatakan, tsunami kali ini kemungkinan besar dipicu runtuhknya sebagian tubuh anak Krakatau. ”Bukan karena letusan, melainkan longsoran. Saya pernah membuat pemodelan dengan skenario ini,” katanya.
Pemodelan yang dibuat Gegar pada tahun 2008 dengan diameter anak Krakatau telah mencapai 4 kilometer dengan ketinggian 273 meter pada saat itu. Tsunami disimulasi bisa dipicu letusan dengan skenario runtuhnya seluruh tubuh gunung.
Lewat simulasi itu, dalam 45 menit sebagian besar gelombang telah mencapai pesisir di sekitar Selat Sunda dan masuk Laut Jawa. Gelombang paling tinggi sekitar 9 meter menimpa Ujung Kulon. Sementara di sepanjang Anyer, Carita, dan Labuan, ketinggian gelombang mencapai 4 meter hingga 7 meter. Gelombang pertama yang mencapai lokasi-lokasi tersebut dalam 28-60 menit. Di pesisir Sumatera, ketinggian gelombang mencapai 1,5 meter hingga 4 meter dan gelombang pertama yang mencapai pantai dalam 18-66 menit.
”Pemodelan saya saat itu dengan skenario runtuh semua anak Krakatau-nya, kali ini baru sebagian,” kata Gegar.
Berdasarkan simulasi itu, Gegar sudah mengingatkan, ketinggian gelombang dan waktu tempuhnya, terutama di barat Jawa, berpotensi menghancurkan dan menelan korban jiwa. Mitigasi terhadap tsunami bagi penduduk di pesisir pantai sekitar Selat Sunda menjadi keharusan. Apalagi daerah-daerah tersebut kini padat permukiman dan kegiatan perekonomian warga.
Menurut Gegar, dalam sejarahnya, Gunung Krakatau kemungkinan sudah beberapa kali menimbulkan tsunami saat meletus. Catatan pujangga Jawa, Rongowarsito, juga menyebutkan, sekitar tahun 416, Krakatau purba meletus hebat dan mengirim tsunami hingga jauh ke pedalaman Lampung dan Pulau Jawa. Adapun letusan Krakatau pada tahun 1883 yang memicu runtuhnya tubuh gunung telah menyebabkan tsunami hingga ketinggian lebih dari 20 meter dan menelan korban jiwa hingga 36.000 jiwa di pesisir Banten dan Lampung.