Tanggal 22-25 Desember 1928 adalah momentum sejarah, karena Kongres Perempuan pertama menyuarakan tuntutan perempuan Indonesia. Kini suara-suara lantang perempuan pada 90 tahun lalu terdengar kembali.
Pada peringatan Hari Ibu Ke-90 tahun 2018, tuntutan perempuan yang disuarakan dalam Kongres Perempuan I, seperti pemberantasan buta huruf, reformasi perkawinan lebih adil bagi perempuan, penghapusan perdagangan perempuan, penghapusan perkawinan anak, dan belenggu poligami, kembali
disuarakan para perempuan.
Dengan mengusung tema ”Derap Perempuan, Membangun Bangsa dan Melawan Penyingkiran”, sejumlah aktivis dan perempuan yang tergabung dalam Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), federasi serikat buruh anggota Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), bersama Perempuan Mahardhika dan Radio Buruh Perempuan Marsinah FM, Minggu (23/12/2018), menggelar Peringatan 90 Tahun Kongres Perempuan sekaligus konferensi perempuan pekerja, di Gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Acara yang dihadiri ratusan perempuan pekerja dan aktivis itu dikemas dalam bentuk dialog dipadukan pertunjukan seni. Selain menggali sejarah pergerakan perempuan dan Kongres Perempuan I, dialog juga membahas poligami dan perjanjian nikah, organisasi dan pergerakan, pendidikan dan kawin anak, serta hak perempuan di tempat kerja.
Sejumlah narasi sejarah termasuk suara lantang para perempuan peserta Kongres Perempuan pertama 1928, seperti yang disuarakan Moegaroemah, dari organisasi Poetri Indonesia yang menggugat praktik perkawinan anak. Sebab, murid perempuan berumur 11-12 tahun kerapkali dikeluarkan dari sekolah karena hendak dikawinkan.
Ketika itu, Moegaroemah menyerukan agar semua berupaya sekeras-kerasnya melawan perkawinan anak dan menolong anak-anak korban perkawinan anak. Kenyataannya, perkawinan anak masih jadi pekerjaan rumah. "Nenek buyut kita dalam pergerakan perempuan telah lantang menggugat tatanan masyarakat atas nama budaya dan keyakinan yang mengorbankan hak perempuan. Merdeka dari penjajahan kolonial saja tidak cukup. Perempuan harus merdeka, dengan sepenuhnya hak seperti kaum laki-laki," ujar Jumisih, Ketua Umum FBLP.
Merdeka dari penjajahan kolonial saja tidak cukup. Perempuan harus merdeka, dengan sepenuhnya hak seperti kaum laki-laki.
Puncak Hari Ibu
Gerak perjuangan perempuan dan makna Hari Ibu juga disuarakan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, pada puncak Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-90 di Lapangan Kantin Bukittinggi, Sumatera Barat, Sabtu (22/12/2018).
Hari Ibu adalah momentum kebangkitan bangsa, penggalangan rasa persatuan dan kesatuan, serta gerak perjuangan kaum perempuan yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. "Karena itu, Peringatan Hari Ibu 2018 untuk mendorong terciptanya kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan," ujar Yohana dalam siaran pers.
Momentum Peringatan hari Ibu juga harus membawa pengaruh positif bagi peningkatan kualitas hidup, pemenuhan hak, kemajuan perempuan, serta memberikan keyakinan yang besar bahwa perempuan apabila diberikan peluang dan kesempatan mampu meningkatkan kualitas hidupnya, mengembangkan segala potensi, dan kemampuan yang dimilikinya.
“Terbukti perempuan mampu menjadi motor penggerak dan motor perubahan dalam berbagai sektor kehidupan,” kata Yohana.