Kehilangan orang terkasih secara tiba-tiba meninggalkan luka mendalam. Itulah yang dialami sepasang suami istri penjaga vila di Kampung Sambolo, Desa Sukarame, Pandeglang, Banten. Pada Sabtu (22/12/2018) malam, terjangan tsunami Selat Sunda membuat mereka kehilangan anak bungsunya, Syifa Unazwa (6).
Sepasang suami istri, Maysaroh (35) dan Yudi (45), mengerang kesakitan di sebuah rumah di perbukitan Kampung Cibenda, Senin (24/12/2018). Muka Maysaroh lebam. Sementara Yudi menderita patah tulang. Waktu itu, Yudi dipangku dua warga lain untuk ke kamar mandi.
”Aduh! Ya Tuhan, ya Tuhan,” katanya ketika dua warga meletakkan tubuhnya di atas kasur.
Kaki kanan Yudi diletakkan di atas bantal. Kaki itu dibebat dengan kain kasa, tetapi tak cukup untuk menutupi luka secara keseluruhan.
Pada Sabtu malam itu, vila hanya dihuni oleh Yudi, Maysaroh, dan Syifa Unazwa. Seorang tamu yang datang tidak jadi menginap lantaran tidak sesuai dengan tarif sewa vila yang ditetapkan.
Malam berangsur naik. Maysaroh dan Syifa sudah lelap. Sementara Yudi masih berjaga di aula vila. Sekitar pukul 21.30, ia mendengar suara gemuruh. Lalu, ia melihat ke jendela yang mengarah ke laut. ”Ma, bangun, Ma. Ada ombak besar,” kata Yudi membangun istrinya.
Belum sempat mereka keluar, ombak setinggi 3 meter melumat bangunan vila itu. Yudi dan Maysaroh tertimpa reruntuhan bangunan. Kaki Yudi terjepit tembok. Itulah yang membuat kakinya patah.
Berselang satu jam menjelang peristiwa itu, Erdin (40), adik ipar Yudi, yang berada di Kampung Cibenda langsung berlari menuju vila. Ia menemukan Yudi dan Maysaroh sudah tidak sadarkan diri. ”Syifa saya temukan dalam posisi tengkurap. Kepalanya tertimpa tembok,” kata Erdin.
Lalu, ketiganya dilarikan ke puskesmas terdekat. Sayangnya, nyawa Syifa tidak tertolong. ”Setiap mau tidur, Syifa suka minum susu pakai dot sambil memegang boneka beruang,” ucap Yudi. Tangisnya pecah.
Minggu pagi, Syifa dikuburkan. Sakit di badan belum lagi sembuh, ditambah lagi sakit karena kehilangan anak tersayang. Demikianlah perasaan suami istri itu.
Kini, Yudi dan Maysaroh dirawat di rumah Medi yang berada di bukit Kampung Cibenda. Akses menuju rumah ini hanya dapat dilalui dengan kendaraan roda dua. Jalanan licin. Jika tidak sigap berkendara bisa terperosok ke tengah sawah.
Rumah mertua Yudi sebetulnya berada lebih dekat di Kampung Cibenda bagian bawah yang bisa diakses kendaraan roda empat. Namun, mereka khawatir akan tsunami susulan.
Kekhawatiran ini juga melingkupi warga lain. Warga yang rumahnya berada di bagian bawah memilih tidur di terpal yang dipasang di bukit itu.
Kunut (42), Ketua RW 004/RT 015 Kampung Cibenda, mengatakan, ada sekitar 300 warga yang menginap di sekitar bukit saat malam datang. ”Siang sama sore mereka ke rumah, malamnya kembali lagi ke sini,” kata Kunut.
Kunut menyebutkan, di Kampung Cibenda terdapat empat orang meninggal akibat tsunami. Rinciannya, tiga anak-anak dan satu orang dewasa.
Rumah Medi menjadi semacam posko bagi warga yang ketakutan akan tsunami susulan ini. Di sekitar rumah dipasang terpal. Berjarak sekitar 30 meter dari rumah Medi, terpal hijau juga dipasang di hutan.
Satu bedeng berukuran 8 meter x 4 meter dihuni oleh lima sampai delapan kepala keluarga. Anak balita pun turut menginap di bedeng itu. Mereka semua beralasan takut adanya tsunami susulan.
Kunut mengatakan, warga membutuhkan tenda tambahan. Tenda yang ada sementara ini belum cukup menampung warga yang mulai ramai pada malam hari. Berdasarkan pantauan, kondisi tenda yang mirip bedeng itu pun darurat. Angin malam akan leluasa masuk ke dalam bedeng karena bersifat terbuka. ”Kami juga memerlukan kebutuhan untuk bayi, seperti popok dan obat-obatan,” katanya.
Tati Suwagiharti, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Pandeglang, yang mengunjungi lokasi, mengatakan akan mempertimbangkan untuk menyediakan tenda dan dapur umum di tempat ini. Dia akan berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Kepala Daerah Pandeglang terkait hal ini.
”Akan dipikirkan bagaimana solusi terbaik. Warga ini, kan, kebanyakan bukan korban tsunami langsung, tetapi mereka yang mengungsi karena ketakutan. Pada siang dan sore mereka kembali ke rumah, sementara pada malam hari baru datang lagi ke sini,” ujarnya.
Ida Rostika, Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Kecamatan Carita, menambahkan, kondisi serupa juga terjadi di enam desa lain di Kecamatan Carita. Enam desa itu adalah Pejamben, Banjarmasin, Sukarame, Carita, Sukajadi, dan Sukanagara.
”Ini sedang kami data semuanya. Apa saja kebutuhan-kebutuhan mereka,” kata Ida.
Pada kunjungan ini, Ida menyarankan agar Yudi dan Maysaroh dirawat di rumah sakit agar bisa mendapat perawatan yang lebih baik.
Yudi bergeming. Ia ingin tetap di rumah perbukitan itu saja. Terlebih dalam waktu dekat pihak keluarga akan melakukan tahlilan untuk Syifa, melangitkan doa-doa untuk si bungsu yang sudah di surga. Semoga. (INSAN ALFAJRI)