Menjadikan Pemilu Lebih Merakyat
Pemilu 2019 yang untuk pertama kalinya memilih secara serentak anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden disambut antusias. Namun, baru 37,2 persen yang tahu hari pencoblosan adalah 17 April 2019.
Pemilihan Umum 2019 yang digelar serentak menjadi pengalaman pertama bagi rakyat. Tak heran jika kemudian antusiasme publik terhadap pemilu tahun depan tampak besar meskipun informasi terkait pemilu belum optimal didapatkan.
Antusiasme publik itu setidaknya terekam dari hasil jajak pendapat Kompas, dua pekan lalu. Sebanyak 93 persen responden mengaku berniat menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2019. Keserentakan pemilu menjadi salah satu hal yang menarik perhatian publik karena untuk pertama kalinya pemilih akan menggunakan hak suaranya untuk memilih anggota legislatif sekaligus presiden dan wakil presiden yang mereka percaya memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Di tataran hajatan suksesi politik, pengalaman keserentakan ini pernah dialami publik pada pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018. Namun, perhelatan pilkada itu belum secara nasional dilakukan bersamaan, tetapi secara bertahap. Sementara pemilu tahun depan menjadi penanda baru hajatan suksesi nasional yang dilakukan secara bersama dan serentak.
Di tataran rekam jejak partisipasi pemilu, antusiasme itu bukan hal baru. Setidaknya, pada awal reformasi, angka partisipasi pemilih di Pemilu 1999 mencapai 92,7 persen. Angka ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan partisipasi pemilu pada era Orde Baru. Namun, tentu perbedaannya pada kualitas partisipasi itu. Pada era Orde Baru cenderung masih melekat upaya mobilisasi dibandingkan dengan partisipasi. Tentu kita berharap antusiasme publik ini menjadi gambaran nyata partisipasi pemilih pada pemilu tahun depan.
Selain di tataran rekam jejak pemilu, ada sisi lain yang melekat dengan gejala antusiasme responden tersebut. Salah satunya soal masih belum masifnya sosialisasi tentang pemilu ke publik. Hasil jajak pendapat menangkap, tak banyak dari responden yang mengaku mengetahui jadwal hari-H pemilu.
Dari kelompok responden yang mengaku mengetahui soal hari-H pemungutan suara di pemilu, hanya 37,2 persen yang menjawab benar hari-H pemungutan suara akan digelar 17 April 2019. Sisanya, sebagian salah menjawab dan tak tahu sama sekali kapan hari pencoblosan tersebut.
Jika dibedah lebih lanjut dari karakter responden yang menjawab tahu soal waktu pencoblosan pemilu, baik yang menjawab dengan benar maupun salah soal hari-H pemungutan suara, separuh lebih di antara mereka termasuk aktif mengikuti tahapan pemilu.
Lihat saja dari sisi pendataan pemilih. Sebanyak 60 persen lebih dari mereka aktif mengecek daftar pemilih yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesadaran melakukan pengecekan, apakah dirinya terdaftar sebagai pemilih, menjadi gambaran mereka menempatkan hak pilih sebagai sesuatu yang bernilai sehingga harus memastikan namanya masuk dalam daftar pemilih.
Namun, masih banyaknya responden yang mengaku tidak tahu, termasuk yang mengaku tahu, tetapi jawabannya salah terkait hari-H pemungutan suara, menguatkan sinyalemen terkait sosialisasi KPU sebagai penyelenggara pemilu belum maksimal menembus dan menyimpan dalam memori publik.
Meskipun demikian, secara umum publik mengakui kinerja KPU dalam melaksanakan tahapan pemilu relatif sudah cukup baik. Salah satu yang kini masih menjadi sorotan publik adalah terkait pendataan pemilih. Sebanyak 63,8 persen responden menyatakan pendataan pemilih sudah berjalan baik meskipun 24 persen sisanya menyatakan sebaliknya. Hal ini tentu tak lepas dari maraknya kasus penemuan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang masif, yang sedikit banyak memengaruhi sikap dan penilaian publik terhadap proses pendataan pemilih.
Selain soal KTP-el, KPU juga disorot dengan sejumlah kontroversi yang turut menguras energi setahun belakangan ini, seperti larangan mantan narapidana korupsi maju menjadi calon anggota legislatif, larangan pengurus partai menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan kotak suara berbahan kardus yang mengundang polemik.
Pengawasan
Jajak pendapat juga menyoroti bagaimana pengawasan proses tahapan pemilu dilakukan sepanjang 2018. Tak jauh berbeda dari penilaian publik terhadap KPU, penilaian publik kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga diapresiasi meskipun angkanya masih di bawah 70 persen dari responden.
Secara umum separuh lebih responden menyatakan pengawasan terhadap tahapan pemilu berjalan dengan baik. Sayang, terkait penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran di tahapan tersebut, khususnya terkait kampanye, tak sedikit responden yang menyatakan penanganannya masih belum baik. Namun, setidaknya 46,8 persen responden menganggap sebaliknya, penanganan dan penindakan pelanggaran dilakukan baik.
Setidaknya hal ini bisa kita lihat dari upaya Bawaslu mengawasi proses kampanye sejak tahapan kampanye pemilu digulirkan 23 September 2018. Tampak dari laporan itu tak sedikit pelanggaran kampanye terjadi. Dari alat peraga kampanye, misalnya, mayoritas pemasangannya melanggar aturan. Dari 192.129 alat peraga yang diawasi dan dari laporan yang masuk, sebanyak 91,9 persen dipasang di tempat terlarang, seperti jalan protokol.
Selain pemasangan alat peraga, pelanggaran kampanye juga terjadi dari sisi pemilihan lokasi. Sebanyak 71 persen pelanggaran kampanye terjadi karena memakai lokasi fasilitas milik pemerintah sebagai ajang kampanye, termasuk rumah ibadah.
Lebih parah lagi dugaan terjadinya politik uang dalam kampanye kali ini. Bawaslu merekam ada 67 kasus pelanggaran kampanye disertai pembagian uang. Jumlah ini relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah kasus pelanggaran kampanye yang dilakukan tanpa izin. Pelanggaran yang disebut terakhir ini tercatat mencapai 1.363 kasus. Hasil pengawasan ini juga tak lepas dari partisipasi publik yang turut mengawasi jalannya tahapan pemilu.
Pemahaman
Bagaimanapun, publik memiliki saham besar dalam proses penyelenggaraan pemilu ini. Namun, ada gejala terjadinya jarak antara publik dan dinamika proses pemilu ini. Setidaknya hal ini terekam dalam jajak pendapat yang mendeteksi sikap publik pada proses kampanye yang masih belum maksimal. Hanya 53,4 persen responden yang menyatakan proses penyampaian materi kampanye ke publik berjalan baik. Sisanya menyatakan proses penyampaiannya masih buruk.
Penilaian buruk ini tentu tak lepas dari konten kampanye yang akhir-akhir ini dipenuhi diksi yang saling menyerang antarkandidat, terutama di antara dua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pilihan diksi dan isu yang dilontarkan sedikit banyak justru melibatkan publik secara emosional, belum secara rasional. Apalagi pilihan diksi dan isu yang diangkat tak mudah dipahami dan diikuti publik, terutama bagi mereka yang berpendidikan rendah dan menengah. Hasil jajak pendapat Kompas mencatat, lebih dari 80 persen dari kelompok responden yang menjawab tak tahu soal bagaimana penyampaian dan apa materi kampanye umumnya berpendidikan rendah dan menengah.
Tentu saja ini pekerjaan rumah bersama. KPU dan Bawaslu yang diamanahi undang-undang sebagai penyelenggara pemilu harus tetap mengutamakan kepentingan publik. Masih ada sisa waktu lebih kurang tiga bulan ke depan pada awal 2019 untuk menyebarkan program-program kerja, khususnya dari pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Boleh jadi penyebarannya disajikan secara membumi agar kemudian proses pemilu tak hanya sekadar dinamika elite dengan diksi dan isunya, tetapi juga bisa menjadikan pemilu lebih merakyat.