Setengah Abad Kiblat Seni Jakarta
Tahun ini genap 50 tahun keberadaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Sejak awal peresmiannya, pada10 November 1968, dua sisi serupa keping mata uang senantiasa mengiringi perjalanan salah satu pusat kesenian di ibu kota ini.
Tahun ini genap 50 tahun keberadaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Sejak awal peresmiannya, pada10 November 1968, dua sisi serupa keping mata uang senantiasa mengiringi perjalanan salah satu pusat kesenian di ibu kota ini.
Salim Said menyebut sejarah Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) merupakan sejarah dua pihak. Pertama, kreativitas para seniman dan tanggapan publik terhadapnya. Kedua, sejarah perhatian Gubernur DKI terhadap kesenian dan kebebasan kreativitas.
Salim yang kini akademisi, menyatakan hal itu pada sambutan dalam kedudukannya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, seperti dikutip dari buku “25 Tahun PKJ–Taman Ismail Marzuki (TIM)” yang diterbitkan Yayasan Kesenian Jakarta pada tahun 1994.
Menyebut PKJ-TIM, kita memang mesti menyebut pula Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (ketika itu ditulis sebagai DCI atau Daerah Chusus Ibukota Djakarta) yang menggagas rencana pembangunannya. Seperti dikutip dari tulisan Abrar Yusra dalam buku yang sama, sebelum diangkat Presiden Soekarno sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin adalah menteri yang banyak berkunjung ke sejumlah ibu kota negara lain.
Pada kunjungan itu, Ali menyadari bahwa selain gedung pemerintahan, parlemen, dan mahkamah agung, setiap kota besar memiliki pula pusat kesenian. Ia menyadari bahwa Balai Budaya, sebuah gedung kecil yang berada di Jalan Gereja Theresia, terlalu kecil untuk tujuan tersebut.
Balai Budaya, bersama dengan Pasar Senen, pada masa-masa itu menjadi lokasi kumpul-kumpul sejumlah seniman. Selain ruang kumpul yang terbilang kecil, sempat masuknya unsur politik dalam lembaga kebudayaan seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang bernaung pada PKI di tahun 1960-an, membuat keberadaan wadah berkumpulnya seniman independen serta tidak terlibat kegiatan politik, menjadi semakin dibutuhkan.
Maka dicarilah lokasi lain untuk pusat kesenian dimaksud. Bekas Kebun Binatang Cikini, yang sudah dipindahkan ke kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, menjadi pilihan. Di lokasi tersebut, berdiri pula Gedung Planetarium yang dibangun Presiden Soekarno dan juga tengah terbengkalai setelah peristiwa G30S/PKI.
Lokasi tersebut sebelumnya merupakan kediaman pelukis Raden Saleh. Pada suatu masa, lokasi itu juga menjadi ruang publik bernama Taman Raden Saleh.
Pemerhati bangunan bersejarah yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Museum Sejarah Jakarta, Soedarmadji Jean Henry Damais, Jumat (7/12/2018), menyebutkan bahwa pada masa itu, terdapat sejumlah seniman yang intens berdiskusi dengan Ali perihal rencana pendirian PKJ-TIM. Beberapa di antaranya adalah Trisno Sumardjo (pelukis) dan Djadoeg Djajakusuma (sutradara).
Salah satu diskusi dilangsungkan 9 Mei 1968. Peserta diskusi bersepakat membentuk tim formatur guna menyiapkan pengelolaan PKJ-TIM. Pada 24 Mei 1968, tim formatur mengusulkan adanya Badan Pembina Kebudayaan dengan 19 anggota. Belakangan, jumlah anggota ditambah sehingga total 25 orang dan namanya diubah menjadi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Anggota-anggota pertama DKJ kemudian memilih sepuluh orang anggota Akademi Jakarta yang didirikan pada 24 Agustus 1970. Akademi Jakarta selanjutnya bertugas memilih keanggotan DKJ untuk masa kepengurusan tiga tahun sekali.
Pesta Jakarta
Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Minggu, 10 November 1968, PKJ-TIM akhirnya diresmikan. Pesta kesenian besar-besaran diselenggarakan untuk merayakannya.
Pembukaan dilakukan selama delapan hari, 10-17 November. Sementara acara penutupan diadakan dua hari, 18-19 November.
Harian Kompas menurunkan dua berita pada terbitan tanggal 11 November 1968, yang berkenaan dengan kegiatan tersebut. Berita pertama di halaman 3 berjudul “Taman “Ismail Marzuki” Diresmikan” dan berita kedua berjudul “Orkes Simfoni di Taman Ismail Marzuki,” pada halaman sama.
Sebagian ruas Jalan Cikini Raya ditutup, beberapa saat selepas tengah hari Minggu itu. Suasana lengang segera berganti menjadi keramaian seiring dengan kedatangan tamu-tamu undangan ke pusat kesenian yang segera menjadi daya tarik baru di Jakarta.
Nama Ismail Marzuki diberikan sebagai penghargaan bagi komponis dan pejuang kemerdekaan, Ismail Marzuki. Seniman yang juga dipanggil dengan sebutan “Bang Maing,” atau “Pak Mail” itu lahir di Kwitang, Senen, Jakarta, 11 Mei 1914.
Tahun 1931, untuk pertama kalinya Bang Maing menulis lagu berbahasa Belanda dengan judul “O Sarinah.” Sejumlah lagu lain hasil gubahannya di antaranya Rayuan Pulau Kelapa, Gugur Bunga, dan Sepasang Mata Bola. Ia juga menggubah sekitar 250 lagu dan dianugerahi gelar pahlawan. (Mirnawati, 2012).
Pada booklet “Peresmian PKJ-TIM,” disebutkan bahwa pertunjukan pertama yang dipentaskan pada Minggu malam adalah drama tradisional Bali yang diproduksi Yayasan Seni Saraswati. Drama itu berjudul “Calon Arang.”
Sementara pada penutupan acara, terdapat dua pertunjukan sendratari produksi Yayasan Taman Candrawilwatikta yang berasal dari Jawa Timur. Masing-masing adalah Minakjinggo Leno dan Dewa Ruci.
Pembangunan PKJ-TIM yang dilakukan di atas areal seluas 61.400 meter persegi (versi booklet) dan atau seluas 20.000 meter persegi seperti dicatat Harian Kompas itu dilakukan lima bulan sejak mulai digagasnya ide tersebut oleh Bang Ali. Adapun biaya pembangunan Rp 90 juta.
Pengelolaan TIM
Irawan Karseno, Ketua DKJ, Rabu (12/12/2018), menjelaskan bahwa selanjutnya yang terpenting adalah manajemen PKJ-TIM. Ia menyebut, terdapat periode “naik-turun” terkait pengelolaan pusat kesenian itu.
Pada awalnya, seperti dikutip dari buku “25 Tahun PKJ – TIM,” manajemen TIM dilakukan Surihandono yang saat itu merupakan staf direksi PT Pembangunan Jaya. Surihandono yang ditunjuk Bang Ali menerapkan sistem pengelolaan proyek pembangunan yang pragmatis, dinamis, dan ekonomis disertai mekanisme kontrol ketat.
Pendekatan ini terbilang berhasil dan diteruskan Hazil Tanzil. Pada era kepemimpinan Soeparmo yang menggantikan Hazil pada akhir Desember 1982 hingga 1990, model pengelolaan diubah. Istilah “general manager” diganti menjadi Kepala Badan Pengelola, dan 60 persen dari total karyawan TIM diangkat sebagai PNS.
Tahun 1990, Yayasan Kesenian Jakarta menjadi pengelola PKJ-TIM. Kepemimpinan Bur Rasuanto dengan gaya swastanisasi, di antaranya mengembalikan 50 orang PNS TIM ke Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, menandai era ini. Pada 1991, Bur ditarik dari posisinya sebagai Direktur PKJ-TIM dan kemudian digantikan Pramana Padmodarmaya.
Kini, pengelolaan PKJ-TIM berada di bawah Unit Pelaksana (UP). Verony Sembiring, Kassubag Tata Usaha UP PKJ TIM, menyebutkan, pihaknya kini mengkoordinasikan pengelolaan sejumlah aset di atas lahan seluas 7,2 hektar tersebut.
Di antaranya yakni Gedung Teater Jakarta, Graha Bakti Budaya, Galeri Cipta 1 dan 2, Planetarium, dan Institut Kesenian Jakarta. Di atas lahan tersebut, berdiri pula sejumlah gedung seperti Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan Masjid Amir Hamzah.
Verony menyebutkan, aset fisik yang terkait dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pengelolaannya berada pada UP PKJ-TIM. “Pemprov (DKI Jakarta mengelola) sarana dan prasarana, (serta) penganggaran. Konsep ke depan libatkan budayawan semua, sebagian di DKJ. Lembaga kan sudah ada. Masukan-masukan akan dikembangkan seperti apa (PKJ-TIM),” sebut Verony.
UP PKJ-TIM dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 109/2014 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola PKJ-TIM. Andike Widyaningrum, yang pada 2013-2016 sempat terlibat di Komite Seni Rupa DKJ, mengingat sejumlah perbedaan pendapat terkait pengelolaan PKJ-TIM pada periode 2015-2016 menyusul aturan tersebut.
Bagi Irawan, PKJ-TIM saat ini memiliki tantangan untuk dikembalikan lagi pada cita-cita awal saat didirikan pada 1968. Ini termasuk peran konsultatif dalam memperkuat daerah (DKI Jakarta) dan kerja sama dengan birokrasi pemerintah dalam memfasilitasi dan melakukan administrasi. “Konten tetap ada di komunitas (seniman),” ujar Irawan.
Ia menambahkan, dengan keberadaan IKJ sebagai penghasil sumber daya manusia di bidang kesenian, maka PKJ-TIM telah memiliki ekosistem berkesenian yang baik.
Ia menambahkan, saat ini penting untuk menyusun peta jalan agar Jakarta menjadi salah satu kota kesenian terkuat di Asia. Menurut Irawan hal itu bisa dilakukan mengingat saat ini relatif tidak ada lagi hegemoni kekuatan seni dunia.
Untuk itu, sejumlah hal mesti dilakukan, misalnya dengan mengubah paradigma dalam melihat hasil-hasil kesenian oleh para seniman bukan melulu sebagai karya dan kepuasan bagi kreatornya. Akan tetapi juga sebagai bentuk layanan publik bagi masyarakat yang meningkatkan kualitas peradaban.