Tradisi Badike Masyarakat Sakai
Hanya lilin dan lampu obor kecil yang menerangi malam. Semburat cahaya penerangan seadanya itu memancarkan warna kemerahan. Untungnya, hujan tidak turun seperti malam-malam biasa pada musim hujan. Angin pun hanya bertiup sepoi-sepoi.
Malam itu, di lapangan, di depan gedung Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau, dua laki-laki terlihat mempersiapkan sesajen dan ramuan berbagai bahan yang diambil dari dalam hutan. Sayup dari arah belakang terdengar suara tabuhan perkusi dari seorang laki-laki muda. Nada tabuhan sangat sederhana, tetapi menciptakan aura mistis ketika berpadu dengan aroma sesajen di tengah suasana remang malam.
Darus (56), seorang bomo atau dukun suku Sakai dari Desa Mandiangin, Kecamatan Minas, Siak, Riau, tengah merapal mantra dalam kondisi bersila di lantai beralas tikar. Setengah tubuhnya ditutup kain panjang. Kepalanya juga tertutup kain. Bomo tengah menanti kehadiran arwah nenek moyang dan hantu-hantu alam gaib yang disebut soli. Kehadiran soli akan membantu bomo dalam acara pengobatan suku Sakai yang disebut badike.
Tidak lama kemudian sang bomo bangkit. Menurut salah seorang anggota kelompok, bomo sudah menyatu dengan soli. Seluruh lakon gerak dan suara yang keluar dari mulut bomo dituntun oleh soli.
Bomo kemudian berdiri dan melenggak serta menyanyikan syair dalam bahasa Sakai, mengikuti suara tabuhan perkusi. Gerakan tubuhnya ringan, seperti orang yang terhipnosis. Kain di kepalanya masih menutup.
Bomo kemudian berhenti menyanyi. Masih dalam kondisi kepala tertutup kain, ia bertanya mengapa banyak sekali baliho di sekitar itu. Salah seorang anggota kelompoknya menjawab, baliho itu milik para caleg (calon anggota legislatif). Bomo pun berkelakar tentang politik dan menyebut nama Presiden Joko Widodo.
Beberapa orang yang mengerti bahasa Sakai, tertawa mendengar kelakar bomo. Namun, penonton yang tidak mengerti hanya bisa diam atau tersenyum kecil.
Suasana humor itu tiba-tiba berubah. Bomo berhenti menari dan bernyanyi. Ia berucap meminta penabuh gendang untuk mengubah irama. Ia pun memberi petunjuk bunyi irama tabuhan yang diinginkannya. Ketika penabuh gendang tidak mampu menciptakan nada sesuai petunjuk, bomo mendekat dan siap-siap mengambil alih alat tabuh itu. Untungnya anak muda itu dapat membuat bunyi yang sesuai permintaan. Tarian dan nyanyian bomo berjalan kembali.
Pembawa acara kemudian meminta penonton untuk berinteraksi mengikuti acara pengobatan badike. Dua laki-laki maju dan bomo segera mengumpulkan bahan-bahan dan memberikan sejumput ramuan untuk dimakan sebagai obat.
Menurut Darus, tradisi badike yang dipersembahkannya pada malam itu adalah sebuah ritual yang berjudul kalongkap mahligai sambilan tingkek. Acara itu salah satu ritual dalam pengobatan.
Sampai saat ini, masih banyak orang Sakai yang memercayai badike. Saat anggota suku Sakai sakit, kehadiran bomo dengan tradisi badike masih dilaksanakan untuk mengobati pasien. Keberadaan bomo masih diakui komunitas Sakai. Meski demikian, bomo pun tidak mempersalahkan apabila warga hendak berobat secara medis.
”Sampai sekarang, masih banyak warga Sakai berobat dengan badike terlebih dahulu baru kemudian berobat secara medis,” kata Darus.
Dalam melaksanakan ritual pengobatan, bomo dilengkapi dengan keris yang berfungsi untuk menjaga diri dari sesuatu gangguan yang tidak tampak. Terdapat sebuah gelilit, yang merupakan pagar untuk menjaga gangguan dari makhluk jahat. Adapula aksesori berupa 99 jenis bunga yang dikumpulkan dari hutan. Dan yang paling utama, terdapat sebuah pucuk batang kopau, yang berfungsi sebagai alat penghubung antara bomo dengan pasiennya.
Kopau adalah tanaman jenis palma yang terdapat di hutan Riau. Tanaman itu mirip seperti kelapa, tetapi tumbuh lebih tinggi. Aroma dari pucuk kopau sangat khas sehingga melengkapi wewangian sesajen.
”Obat-obatan yang diberikan kepada pasien diambil dari 99 jenis bunga hutan itu,” kata Darus yang memiliki dua putra dan satu putri itu.
Tidak sembarang orang dapat menjadi bomo. Hanya orang-orang tertentu yang diberi petunjuk atau didatangi oleh soli. Biasanya, soli hanya akan datang kepada keturunan seorang bomo juga. Misalnya soli kakek bomo akan datang kepada anaknya dan seterusnya kepada cucunya. Menjadi bomo seperti panggilan arwah para soli kepada keturunannya.
Orang luar yang ingin menjadi bomo juga boleh, tetapi waktu belajarnya sangat panjang. Gurunya haruslah seorang bomo senior.
Menurut Darus, saat ini masih ada 15 bomo yang masih tersisa di komunitas Sakai di daerahnya. Semua bomo masih melakukan acara badike. Setiap bomo memiliki tingkat keahlian berbeda. Kalau mau diibaratkan, ada bomo yang masih pemula seperti mantri kesehatan sampai yang senior seperti seorang dokter spesialis. Darus adalah bomo spesialis.
Budayawan Riau, Al Azhar, mengatakan, tradisi pengobatan badike suku Sakai di Minas sebenarnya juga dilakukan oleh suku Sakai di Bonai (Kabupaten Rokan Hulu) dengan nama badewo dan suku Talak Mamak (di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Indragiri Hulu) dengan nama bulian. Tradisi itu sangat mirip, tetapi memiliki variasi sesuai daerahnya.
”Tradisi pengobatan itu masih hidup di tengah komunitas itu. Namun, sekarang terdapat perubahan yang mengikuti zaman. Tradisi itu kini sudah membelah diri, dengan mempertahankan diri sebagai aktivitas harian komunitas tetapi juga sebagai bagian dari budaya pertunjukan,” kata Al Azhar.
Namun, tradisi badike atau pengobatan tradisional suku-suku terasing di Riau itu jelas sudah tergerus dengan kondisi ekologi keanekaragaman hayati alam hutan raya yang semakin menciut dan berubah menjadi tanaman monokultur. Bunga-bungaan hutan yang menjadi pelengkap resep obat dan sesembahan sudah semakin sulit ditemukan di hutan.
Akankah badike dapat bertahan?