PANDEGLANG, KOMPAS – Bencana tsunami yang menerjang Banten dan Lampung, Sabtu (22/12/2018) malam, menewaskan setidaknya 223 jiwa. Dampak bencana terparah dirasakan di Kabupaten Pandeglang, Banten. Tidak adanya peringatan dini membuat masyarakat tidak memiliki waktu untuk menyelamatkan diri dan harta benda ke lokasi yang lebih aman.
Warga Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Pandeglang, Suhendi (23), mengakui, tidak ada sirene peringatan dini terkait bencana tsunami tersebut yang datang pada Sabtu sekitar pukul 21.30. Warga segera menyelamatkan diri secara spontan karena melihat adanya gelombang tinggi yang datang dari arah laut begitu deras. “Ada yang teriak ombak besar. Saya langsung lari ke arah bukit,” ujar Suhendi, yang ditemui di posko kesehatan Kecamatan Labuan, Pandeglang, Minggu (23/12/2018).
Suhendi lari menyelamatkan diri bersama keluarganya. “Saya tidak menoleh ke belakang lagi,” kata Suhendi yang jarak rumahnya sekitar 700 meter dari bibir pantai.
Warga di Pantai Anyer, Kecamatan Cinangka, Rudi Herdiansyah (35) juga mengungkapkan hal serupa. Menurut Rudi, gelombang tinggi datang dua kali. Ombak yang datang pertama kali hanya sekitar 10 centimeter. Dia menyangka ombak tersebut hanyalah sebuah fenomena air pasang biasa yang sering terjadi pada malam bulan purnama.
Namun, beberapa menit setelah ombak pertama, datang gelombang tinggi kedua sekitar satu meter. Ombak itu merobohkan warung makan milik Rudi yang berjarak 20 meter dari bibir pantai. “Tidak ada peringatan sebelumnya (soal gelombang tinggi),” kata Rudi, yang ditemui di sekitar warung makannya yang runtuh di Anyer.
Sukmanan (61), pedagang di kawasan Pantai Carita, mengatakan, awalnya mendengar letusan Gunung Anak Krakatau sebanyak tiga kali. Lalu, terdengar suara gemuruh dari laut dibarengi ombak besar yang menghantam tempat wisata dan pemukiman di sekitar kawasan Pantai Carita, Pandeglang, Banten.
Sukmanan juga tidak mendapati adanya peringatan dini tsunami. Namun, karena suara gemuruh tersebut, Sukmanan dan warga Carita lain berlari, berdesak-desakan untuk menghindari sapuan tsunami. Kepanikan makin menjadi karena lampu padam.
Orang-orang berteriak saling mengingatkan untuk menjauhi pantai. "Gelombang besar itu ternyata tsunami. Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri," ucap Sukmanan di Desa Tembong. Desa itu menjadi salah lokasi lokasi pengungsian warga.
Evakuasi terkendala
Berdasarkan data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pandeglang hingga Minggu pukul 21.00, korban tewas akibat tsunami di Pandeglang menyebabkan setidaknya 206 jiwa dan diperkirakan lebih dari 10.000 orang menderita dan mengungsi. Selain itu, sekitar 636 orang terluka kebanyakan mengalami patah tulang karena tertimpa reruntuhan.
Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dody Ruswandi mengungkapkan, korban jiwa akibat tsunami diperkirakan masih terus bertambah. Petugas masih kesulitan untuk mengevakuasi karena kondisi cuaca yang hujan terus menerus. Namun, petugas tetap dikerahkan untuk menyebar ke sejumlah wilayah yang terdampak paling parah, seperti di Tanjung Lesung, Pantai Carita, dan Kecamatan Sumur, Pandeglang.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Yosep Mardini menambahkan, proses evakuasi juga terkendala akses jalan yang terputus karena tertutup reruntuhan bangunan sedangkan jumlah alat berat masih terbatas. “Sebagian daerah memang masih sulit untuk ditembus, terutama di Kecamatan Sumur,” kata Yosep.
Gubernur Banten Wahidin Halim mengatakan, tsunami yang tidak hanya di satu lokasi juga menjadi kendala dalam pencarian korban. Hal ini membuat tim pencari harus menyisir satu titik ke titik lainnya dengan jarak yang tidak saling berdekatan.
Di Tanjung Lesung, banyak korban yang terseret gelombang ke laut sehingga sulit untuk dievakuasi. “Ada korban yang terbawa arus hingga jauh,” ujar Wakil Direktur Samapta Kepolisian Daerah (Polda) Banten Ajun Komisaris Besar Achmadi, yang ditemui di Tanjung Lesung. Korban meninggal yang dapat teridentifikasi di Tanjung Lesung sebanyak 34 orang.
Logistik
Terkait dengan kondisi logistik, Wahidin menjamin persedian di posko pengungsian saat ini masih mencukupi untuk beberapa hari ke depan. Logistik yang sudah tersedia antara lain obat-obatan, makanan, dan selimut.
“Logistik sudah tersedia dari pemprov dan dari dinas sosial. Persediaan saat ini masih cukup karena yang mengungsi untuk jangka waktu lama tidak banyak. Mereka yang mengungsi merupakan warga dari kampung bawah, bukan yang mengalami luka karena kebanyakan berasal dari luar daerah,” ungkap Wahidin.
Sementara itu, agar tidak menimbulkan keresahan, Bupati Pandeglang Irna Narulita mengimbau agar masyarakat tidak mudah percaya dengan kabar bohong (hoaks) yang tersebar di media sosial. Irna berharap, media dapat membantu untuk terus memberitakan fakta dan kondisi terkini di lokasi terjadinya tsunami. (ILO/BAY/MTK/SPW/IGA/E10/E17)