Longsoran di Lereng Gunung Anak Krakatau Jadi Penyebab Tsunami
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tsunami yang menerjang pesisir barat Banten dan bagian selatan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) terjadi akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau. Tsunami yang terjadi bukan disebabkan gempa bumi tektonik, melainkan akibat longsor di lereng Gunung Anak Krakatau.
Hal itu disampaikan pada siaran pers bersama enam lembaga yang berkaitan dengan bencana tsunami di Selat Sunda yang diterima Kompas pada Senin (24/12/2018) malam. Lembaga yang berkoordinasi antara lain Kementerian Koordinator Kemaritiman, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Badan Informasi Geospasial, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Badan Geologi.
Setelah melakukan analisis data dari setiap lembaga, didapati bahwa lepasnya material di lereng Gunung Anak Krakatau dalam jumlah banyak disebebkan tremor aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi. Bukti yang mendukung bahwa telah terjadi longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau adalah perubahan bentuk gunung seluas 64 hektar sebelum dan sesudah terjadi tsunami berdasarkan citra satelit.
Penyelidik Bumi Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian ESDM, Supartoyo, mengatakan bahwa perubahan itu yang ditafsirkan oleh ahli sebagai dugaan kuat yang mengakibatkan tsunami.
”Hasil letusan Krakatau pada 1883 mengakibatkan morfologi curam pada bagian selatan. Akibat letusan Gunung Anak Krakatau yang terus terjadi hingga 22 Desember kemarin, lereng curam tersebut menjadi tidak stabil dan runtuh,” ujar Supartoyo ketika dihubungi pada Selasa (25/12/2018) malam.
Runtuhan itu yang memicu tsunami hingga ke pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung. Hal itu didukung data model inversi 4 tide gauge atau pendeteksi tsunami yang dipasang di perairan Banten dan Lampung. Rekaman itu memperlihatkan bahwa sumber energi berasal dari selatan Gunung Anak Krakatau.
Tindak lanjut
Setelah adanya kesepakatan bersama mengenai penyebab tsunami, enam lembaga itu sepakat untuk melakukan tindak lanjut pascabencana. Badan Informasi Geospasial direkomendasikan untuk memasang tide gauge di kompleks Gunung Anak Krakatau agar tsunami serupa bisa dideteksi terlebih dahulu sebelum sampai ke darat.
Sementara itu, Badan Geologi, BPPT, dan LIPI mengadakan survei geologi kelautan dan batimetri di kompleks Gunung Anak Krakatau. Untuk mendapatkan gambaran Gunung Anak Krakatau lebih jelas, butuh konfirmasi citra satelit resolusi tinggi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Pemetaan wilayah dan survei udara dilakukan oleh BPPT. Data GPS dan data pasang surut juga dikumpulkan oleh BMKG, BIG, Pushidrosal, dan industri di sekitar kawasan terdampak tsunami.
Saat dihubungi Kompas, Supartoyo sedang melakukan pemetaan di sekitar Pantai Tanjung Lesung, Pandeglang, Banten. Di sana, ia mendapati jarak tsunami ke darat hingga 232 meter dari pantai. ”Tinggi rendaman di hotel mencapai 155 sentimeter. Ke depannya, pengelola resor harus melakukan upaya mitigasi, khususnya mitigasi tsunami untuk mengurangi risiko,” ujarnya.
Abdul Muhari, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group sekaligus pakar tsunami di Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat dihubungi pada Senin (24/12/2018) mengatakan bahwa bangunan yang berada di sekitar wilayah yang berpotensi bencana perlu memenuhi standar. Selain itu, untuk mengurangi dampak tsunami, Abdul berpendapat bahwa perlu dilakukan pengaturan ruang di kawasan pesisir.
”Selain tembok laut, kita bisa bangun struktur seperti penanaman mangrove atau barisan cemara di sepanjang pantai. Itu harus ada, jangan ditiadakan sama sekali. Untuk saat ini, pekerjaan rumah tentang tsunami di Indonesia masih sangat banyak sekali. Namun, jika kita tidak mulai, hal ini tidak akan selesai,” kata Abdul. (SUCIPTO)