Pekerjaan Rumah Indonesia Soal Tsunami Masih Banyak
Saat tsunami menerjang Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam, pada mulanya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melalui akun Twitter mengatakan bahwa yang terjadi bukan tsunami. Mereka menyebut hal itu sebagai gelombang air laut pasang akibat fenomena bulan purnama.
Cuitan itu kemudian dihapus. Dalam cuitan selanjutnya, BMKG menginformasikan tidak ada catatan gempa yang menyebabkan tsunami. Mereka menyebutkan bahwa yang terjadi di Anyer dan sekitarnya bukan tsunami akibat aktivitas seismik gempa tektonik. Dugaan sementara saat itu, tsunami disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau setelah BMKG mendapat data dari Badan Geologi.
Sejarah mencatat, letusan Krakatau tahun 1883 mengakibatkan tsunami mencapai ketinggian 30 meter-40 meter di sepanjang pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung. Bencana itu menewaskan hingga 36.000 jiwa.
Dalam Ekspedisi Cincin Api, Kompas pada 17 November 2011 menerbitkan liputan berjudul ”Ancaman Tsunami dari Gunung Api”. Liputan itu menyebutkan tsunami merupakan faktor penting yang harus dilihat dalam memitigasi Anak Krakatau yang saat ini tumbuh cepat dan membentuk tubuh gunung menyerupai leluhurnya, Krakatau.
Abdul Muhari, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group sekaligus pakar tsunami di Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 10 April 2018 telah menulis di Kompas mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam kebencanaan, berjudul ”Gaduh Ancaman Tsunami”.
Dalam tulisan itu, ia menyikapi ramainya tanggapan, sanggahan, dan pendapat mengenai potensi ancaman tsunami di selatan Jawa Barat dan Selat Sunda. Menurut dia, pembahasan potensi ancaman bencana menjadi polemik karena tidak disertai dengan solusi mitigasi yang terukur dan bisa diterapkan.
Senin (24/12/2018) Kompas mewawancarai Abdul yang tengah berada di Bali melalui sambungan telepon. Abdul bicara mengenai tantangan dan masalah yang ada di Indonesia dalam mengantisipasi dan menyikapi bencana. Berikut kutipan wawancaranya.
Sistem peringatan dini tidak bekerja saat tsunami menerjang pesisir Banten dan Lampung. Bagaimana itu bisa terjadi?
Sistem peringatan dini di Indonesia yang dimiliki Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika saat ini hanya bisa memantau atau mendeteksi tsunami yang dibangkitkan oleh gempa. Jadi, jika ada tsunami yang disebabkan oleh gunung api atau longsor bawah laut, seperti di Palu kemarin, perlengkapan kita belum ada untuk mendeteksi itu.
Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) sama sekali belum ada yang bisa memantau tsunami di luar yang disebabkan oleh gempa. Sekalipun tsunami yang disebabkan oleh gempa, perlengkapan kita hanya stasiun pasang surut yang berada di pantai. Artinya, stasiun pasang surut ini mendeteksi gelombang tsunami ketika sudah sampai di pantai. Jika begitu, sudah tidak ada sistem peringatan dini karena tsunami terdeteksi ketika sudah sampai pantai.
Perlengkapan seperti apa yang harus dimiliki Indonesia?
Seharusnya dilengkapi dengan buoy (alat pendeteksi tsunami di laut). Namun, membahas buoy tidak akan pernah selesai karena seperti yang sudah-sudah, alat itu rentan dirusak atau dicuri bagian-bagiannya oleh masyarakat, proteksi sosialnya tidak ada yang bisa menjamin.
Kita juga tidak boleh terpaku dengan buoy. Selain alat itu, ada banyak opsi. Ada pemantau gelombang yang diletakkan di dasar laut. Ada pula sistem radar di pinggir pantai yang bisa mendeteksi tsunami sampai 200 kilometer dari pantai. Hanya saja, Indonesia belum punya alat-alat itu.
Dalam konteks yang terjadi di Selat Sunda kemarin, tidak ada sistem peringatan dini kita yang bisa mendeteksi tsunami. Hal itu bisa dideteksi jika ada peralatan di tengah laut atau jika ada stasiun pasang surut di tiga pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Jika alat-alat itu ada, apa tantangan selanjutnya?
Kita harus ingat bahwa tsunami tidak terprediksi. Artinya, bisa terjadi tahun depan, bisa 10 tahun lagi, 20 tahun lagi, atau 100 tahun lagi. Peralatan elektronik kalau diletakkan di laut tentu butuh perawatan. Ada dua pertanyaan yang harus kita jawab. Pertama, apa saja kelemahan sistem peringatan dini tsunami Indonesia? Kedua, setelah kita melengkapi alat penunjang sistem peringatan dini, bisakah kita konsisten untuk merawatnya?
Jangankan untuk perawatan tsunami di laut, perawatan sirine yang berada di darat saja kita tidak bisa. Seperti kita tahu, begitu ada gempa lebih dari M 8 di Aceh tahun 2012, sirine tidak ada yang bekerja. Itu permasalahan klasik kita yang sering tidak muncul ke permukaan.
Bagaimana seharusnya penataan di wilayah yang memiliki potensi wisata tetapi rawan bencana seperti di pantai-pantai sekitar Selat Sunda?
Mengurangi dampak bencana bisa dilakukan dengan kebijakan pemerintah, untuk mengatur daerah mana saja yang boleh dijadikan perumahan, perhotelan, dan perindustrian. Misalnya, seperti di Palu, daerah di sekitar pantai sudah habis. Seharusnya, di sana pengaturan tata ruangnya lebih mudah.
Namun, bicara mengenai tata ruang, penerapannya di daerah lain bisa jadi sulit. Untuk daerah pesisir yang sudah padat penghuni, seperti di Lampung dan Anyer, misalnya, untuk memindahkan bangunan milik pribadi atau perseroan tidak bisa begitu saja, apalagi yang sudah punya sertifikat. Di sekitar Anyer, permasalahannya saya lihat seperti itu.
Padahal, menurut undang-undang, kawasan pesisir itu harus menjadi kawasan publik. Perpres Nomer 51 tahun 2016 sudah mengatur kawasan sempadan pantai. Peraturan itu mengatur bahwa minimal 100 meter dari pantai harus kosong, menjadi kawasan publik. Ini yang sulit karena kita berhadapan pada kawasan yang sudah bersertifikat sehingga untuk mendorong menjauhi pantai sulit.
Selama ini, informasi terkait potensi bencana kerap dianggap melemahkan iklim investasi di daerah tertentu, bagaimana Anda menanggapi hal itu?
Kita bisa belajar dari Jepang. Di daerah yang pernah terjadi bencana, pemerintah Jepang memberi tahu kepada investor mengenai sejarah bencana di wilayah itu. Namun, investor diberikan jaminan oleh pemerintah dengan proteksi yang sudah dilakukan dan struktur mitigasi yang ada sehingga berinvestasi di sana aman. Selain itu, ada juga jaminan asuransi. Itu yang dijual, jadi investor tidak “dibohongi”, pemerintah tidak menutup-nutupi bahwa ada potensi bencana di wilayah itu.
Bagaimana negara lain mengantisipasi tsunami?
Kalau di Jepang, kawasan pesisir di sempadan pantai tidak boleh untuk permukiman. Di sana boleh dibangun pelabuhan, perindustrian, atau untuk perdagangan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. Bangunan yang ada di sana harus bisa dipakai untuk evakuasi tsunami, minimal untuk karyawan yang bekerja. Bangunannya juga harus tahan bencana.
Kalau kita lihat peta Jepang, tidak ada rumah di kawasan pinggir pantai. Pasti ada jarak minimal 200 meter dari pantai. Di daerah netral antara permukiman dan pantai, terdapat tembok tanggul pantai atau tembok laut. Tinggi tembok itu tidak tanggung-tanggung, sekitar 10 meter-15 meter.
Apakah Indonesia harus mengikuti Jepang?
Tidak harus. Ada macam-macam cara, tetapi harus ada pengaturan ruang pesisir dahulu yang ditaati. Kalau sudah telanjur ada permukiman penduduk, selain tembok laut, kita bisa bangun struktur seperti penanaman mangrove atau barisan cemara di sepanjang pantai. Itu harus ada, jangan ditiadakan sama sekali. Untuk saat ini, pekerjaan rumah tentang tsunami di Indonesia memang masih sangat banyak sekali. Namun, jika kita tidak mulai, hal ini tidak akan selesai.
Bagaimana regulasi di Indonesia tentang tata ruang di daerah rawan bencana?
Modal regulasi hukum sudah ada, tinggal penerapannya saja yang tidak maksimal. Sebut saja UU Nomor 1 tahun 2014 mengenai pesisir, Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2010 tentang mitigasi bencana, dan Perpres tentang sempadan pantai juga sudah ada. Bangunan yang dibangun juga harus sesuai standar dan itu sudah ada standar nasionalnya.
Tsunami ini kan bukan kejadian yang berulang setiap tahun. Pola pikir kita seharusnya bukan kejadian bencananya yang menentukan takdir, tetapi responnya. Sebaiknya kita segera bertindak karena bencana tidak tahu kapan datangnya. (SUCIPTO)