JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat tiga bencana alam yang menimbulkan korban jiwa cukup banyak, yaitu gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, dan tsunami Selat Sunda beberapa waktu lalu. Tidak hanya memakan banyak korban, tiga bencana tersebut juga menjadi fenomena jarang.
”Tahun ini ada tiga bencana yang terbilang cukup besar ditinjau dari korban dan kerugiannya,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers di kantor BNPB, Jakarta, Selasa (25/12/2018).
Rentetan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mulai 29 Juli 2018 mengakibatkan 564 orang meninggal, 1.886 orang luka-luka, 11.510 orang mengungsi, dan 149.715 rumah rusak. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan bencana tersebut sekitar Rp 17 triliun.
Pada akhir September 2018, gempa dan tsunami menerjang Palu dan daerah lain di Sulawesi Tengah. Sebanyak 2.101 orang meninggal, 1.373 orang hilang, 4.438 orang luka-luka, 221.450 orang mengungsi, dan 68.451 rumah rusak. Total kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 18 triliun.
Kemudian, tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018). Dari lima kabupaten terdampak, 429 orang meninggal, 154 orang hilang, 1.485 orang luka-luka, 16.082 orang mengungsi, dan 913 rumah rusak. Data sementara itu dihimpun BNPB sampai Selasa pukul 13.00.
Jumlah korban dan kerugian akibat tsunami Selat Sunda, menurut Sutopo, masih akan bertambah karena masih ada daerah yang belum terjangkau bantuan evakuasi, seperti di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang. Namun, dampak itu dipastikan tidak sebesar bencana di NTB dan Sulawesi Tengah. Musibah di Lampung dan Banten pun disebut bencana kabupaten.
”Ketiga bencana alam itu punya fenomena jarang. Di NTB, gempa terjadi beruntun sehingga menyulitkan evakuasi. Di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah, tsunami memicu likuefaksi terbesar di dunia. Lalu, tsunami Selat Sunda disebabkan longsoran Gunung Anak Krakatau meskipun erupsi saat itu tidak sebesar bulan-bulan sebelumnya,” tuturnya.
Fenomena tsunami Selat Sunda tidak seperti tsunami yang umumnya dipicu gempa bumi. Berdasarkan rapat koordinasi, yang diikuti antara lain Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Badan Informasi Geospasial, Kementerian Koordinator Kemaritiman, Senin (24/12/2018), disimpulkan bahwa longsoran 64 hektar lereng di selatan Gunung Anak Krakatau memicu tsunami.
Rapat koordinasi tersebut juga menginformasikan tindak lanjut yang akan dilakukan untuk meningkatkan kerja sistem peringatan dini. Rekomendasi tersebut antara lain memasang alat pemantau perubahan muka air atau tidegauge di sekitar Gunung Anak Krakatau dan survei geologi kelautan dan batimetri di kompleks Gunung Anak Krakatau.
Tipe tsunami tersebut membuat masyarakat di sekitar pesisir Selat Sunda harus lebih waspada, terlebih karena sistem peringatan dini tsunami yang ada hanya berbasis pada aktivitas gempa bumi. Masyarakat pun diminta untuk tidak mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer dari puncak kawah. Masyarakat juga diimbau untuk tidak mendekati kawasan pesisir pantai dalam waktu dekat.
”Berdasarkan fenomena kemarin, waktu tsunami untuk sampai ke pantai dari titik sumber 24 menit. Dari penuturan masyarakat yang selamat, sebelum kejadian tsunami kemarin mereka mendengar gemuruh gelombang lalu pergi ke tempat yang lebih tinggi. Jadi, ada antisipasi dengan visual dan suara,” kata Sutopo.
Pendidikan kebencanaan
Dengan berbagai potensi bencana alam di Indonesia, mitigasi bencana dengan meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana harus menjadi fokus bersama. Hal ini di antaranya dengan mengadakan pendidikan kebencanaan untuk manfaat jangka panjang.
Setelah menengok Pantai Carita di Pandeglang, Senin, Presiden menyatakan bahwa pendidikan kebencanaan perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. ”Dengan begitu, masyarakat mendapatkan pengetahuan sejak dini terkait kebencanaan sehingga dapat meminimalisasi jumlah korban,” tulisnya dalam keterangan foto di akun Instagram @jokowi.
Sutopo menambahkan, dalam konferensi pers hari Selasa, peraturan terkait pendidikan tersebut telah disiapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan kebencanaan kemungkinan akan digabungkan dengan mata pelajaran yang sudah ada.
Selain melalui kurikulum, sosialisasi dan pendidikan untuk masyarakat umum juga perlu dilakukan berkala agar menjadi budaya. Hal ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan masyarakat itu sendiri. ”Budaya sadar bencana menjadi sangat penting karena sehari-hari kita dihadapkan dengan risiko bencana,” katanya.
Sepanjang 2018, sampai akhir November lalu, BNPB mencatat ada 2.265 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia. Sekitar 30 persennya atau 698 kejadian adalah puting beliung, diikuti 574 kali kejadian banjir, dan 386 kali tanah longsor.
Akibat bencana-bencana tersebut, ribuan warga meninggal, hilang, dan terluka, sementara jutaan jiwa terdampak. Ini diikuti dengan kerusakan infrastruktur yang mendampak ratusan ribu rumah dan ribuan fasilitas umum. (ERIKA KURNIA)