Kebersahajaan di Tengah Bencana
Handoko (52) berjalan cepat di dalam gang selebar 1,5 meter menuju Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) El Shaddai, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Selasa (25/12/2018). Sepanjang jalan ia melangkah sambil berjinjit menghindari kubangan dan tetesan air dari pipa-pipa yang berada di dua tembok pengapit jalan sempit itu. Tak sampai satu menit, perjalanan menempuh jarak 50 meter itu usai, ia pun sampai di gereja.
Lelaki berpakaian batik coklat itu segera bergabung dengan 100 jemaat yang sudah memulai peribadatan untuk merayakan hari Natal. Handoko pun segera larut, mereka melantunkan lagu-lagu pujian secara khidmat.
Perayaan Natal merupakan obat yang ampuh bagi warga Desa Cigondang, Kecamatan Labuan, itu untuk menyembuhkan kegundahan. Hatinya belum bisa benar-benar tenang setelah rumahnya diterjang gelombang tsunami pada Sabtu (22/12/2018) malam lalu.
Perayaan Natal merupakan obat yang ampuh bagi warga Desa Cigondang, Kecamatan Labuan itu untuk menyembuhkan kegundahan.
Handoko mengatakan, istrinya menjerit-jerit saat air bah memasuki rumah mereka yang berjarak 15 meter dari Selat Sunda. Dua anaknya pun mulai panik. Suara dentuman dari Gunung Anak Krakatau terdengar jelas.
Namun, saat itu mereka masih sempat membagi tugas untuk menyelamatkan diri. Pertama, mencari informasi dari lembaga terkait kemudian memasang tangga untuk mengungsikan diri ke lantai dua rumah mereka. “Saat itu saya bilang pada keluarga agar tetap tenang, ada Tuhan yang akan melindungi,” ujar Handoko.
Baca: Longsoran di Lereng Gunung Anak Krakatau Jadi Penyebab Tsunami
Kabar mengenai tsunami juga sampai pada jemaat lain, Markus (55). Ia mengatakan, rumahnya tidak berbatasan langsung dengan laut. Akan tetapi, saat kabar tsunami menyebar, keluarganya pun ikut panik. Mereka mengungsi ke dataran yang lebih tinggi semalaman.
Buyung Revi, pendeta GPDI El Shaddai Labuan mengatakan, seluruh jemaatnya diliputi duka. Begitu juga seluruh warga Kabupaten Pandeglang. Sebagai wujud empati terhadap sesama korban, konsep perayaan Natal yang sudah mereka rancang jauh-jauh hari pun diubah.
Sebelumnya, perayaaan Natal GPDI akan dilakukan di kompleks hotel Coconut Island, Carita. Namun, hal tersebut urung dilakukan usai tsunami menerjang Selat Sunda. Panitia dan jemaah setuju untuk beribadah Natal secara sederhana.
Perayaan kembali pada gereja mereka yang bersahaja. Yang berada di gang sempit dan hanya terdiri dari satu ruang serba putih seluas 100 meter persegi. Tak ada hiasan yang menempel di dinding maupun langit-langitnya. Hanya sebuah salip besar di belakang podium serta dua pohon natal yang tingginya tidak lebih dari 150 sentimeter. Rngkaian ibadah juga hanya diisi dengan doa dan saling mengucap selamat.
Solidaritas
Kesederhanaan perayaan juga dilakukan di Gereja Pantekosta Rahmat, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang. Di gereja yang berjarak 500 meter dari Selat Sunda itu, tidak tampak dekorasi Natal yang berlebihan. Di pintu gereja, dipasang stiker dan kertas krep warna-warni. Di ruang utama, hanya ada satu pohon natal.
Ketua Panitia Perayaan Natal Gereja Pantekosta Rahmat Benny Kusuma (42) mengatakan, pihaknya mengubah skala acara. Dari besar-besaran menjadi sederhana.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Natal selalu dilengkapi dengan tenda megah dan kursi yang memenuhi seluruh halaman gereja yang luas totalnya mencapai 2.000 meter persegi. Kali ini tidak, acara digelar di ruang utama gereja.
Benny mengatakan, ia membatalkan penyewaan tenda setelah tsunami menerjang. Selain itu, pesanan konsumsi jemaat pun dikurangi. Mulanya memesan untuk 250 orang, kini hanya dipesan untuk 100 orang.
Oleh karena itu, anggaran perayaan Natal tidak digunakan seluruhnya. Menurut rencana, sisa uang itu akan digabungkan dengan uang kas gereja untuk disumbangkan kepada para korban. “Daripada kami merayakan Natal secara besar-besaran, lebih baik kami menggunakan uangnya untuk membantu saudara-saudara yang menjadi korban tsunami,” ujar Benny.
Sisa uang akan digabungkan dengan uang kas gereja untuk disumbangkan kepada para korban
Pendeta Gereja Pantekosta Rahmat Markus Taekz mengatakan, jumlah jemaat yang beribadat pun berkurang drastis. Total jemaat yang biasa datang mencapai 250 orang. Mereka berasal dari berbagai kecamatan, antara lain Carita, Labuan, Menes, dan Panimbang.
Markus menambahkan, banyak jemaatnya yang terdampak tsunami baik secara langsung maupun tidak. Sebagian besar telah mengungsi ke berbagai wilayah mulai dari dataran yang lebih tinggi di Kabupaten Pandeglang hingga ke DKI Jakarta. “Mereka berpencar hingga ke luar kota. Ada juga yang belum kami ketahui kabar dan lokasi keberadaannya,” ujar Markus.
Dalam kondisi demikian, sekitar 100 jemaat hadir pada kebaktian Natal pada Selasa sore. Mereka melantunkan nyanyian doa secara khusyuk sejak awal kebaktian digelar. Kekhidmatan semakin terasa saat prosesi menyalakan lilin digelar. Bapak pendeta, ibu gembala, menjadi perwakilan yang menyebarkan api ke lilin seluruh hadirin.
“Doa yang kami panjatkan diprioritaskan untuk para korban yang meninggal maupun yang luka dan agar lingkungan ini aman. Kami berharap keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan dan kekuatan supaya jangan sampai mengalami trauma yang beegitu dalam,” ujar Markus.
Baca juga: Dunia Ikut Berduka
Kesederhanaan itu sama sekali tidak mengurangi keseriusan jemaat. Bahkan, mereka bergeming saat isu gelombang laut kembali tinggi mulai menyebar. Sejumlah warga melarikan diri dari Kecamatan Carita dengan mengendarai sepeda motor sambil membawa barang-barang.
“Kami memverifikasi kabar tersebut ke Kepolisian Sektor Labuan,” kata Gundi Sitorus (31), salah satu jemaat. Ketika mendapatkan kepastian bahwa kabar tersebut tidak terverifikasi, ibadah pun mereka lanjutkan.
Bencana memang kerap menjadi pemicu untuk memperkuat solidaritas sosial antarsesama warga. Kini, bencana yang bertepatan dengan hari raya pun semestinya mampu menjadi momentum untuk menguatkan tali persaudaraan sebagai sesama manusia.