Kinerja Minim DPR RI Jelang Pemilu 2019
Ada yang berbeda dalam rapat-rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang 2018. Sejak Bambang Soesatyo menjabat Ketua DPR, Januari lalu, nyaris setiap rapat diwarnai janji-janji DPR untuk memperbaiki kinerja, yang dipajang di layar ruang paripurna. Namun di penghujung tahun ini, kalimat-kalimat itu seperti sekadar janji manis yang tidak terpenuhi karena minimnya kerja wakil rakyat di tahun politik.
Di penghujung tahun ini, kalimat-kalimat itu akhirnya seperti sekadar janji manis yang tidak terpenuhi
Dalam huruf kapital, tulisan “Kami tetap bekerja di tahun politik!” terpampang di dua layar besar ruang rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 26 April 2018 lalu. Bambang Soesatyo selaku pemimpin rapat paripurna penutupan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2017-2018, saat itu memastikan, persiapan pilkada serentak, pemilu legislatif, serta pemilu presiden dan wakil presiden tidak akan mengganggu kerja Dewan.
Tahun 2018 adalah titik dimulainya tahun politik. Dimulai dengan Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018 untuk 171 daerah, termasuk wilayah lumbung suara utama saat Pemilu 2019 seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Persiapan Pemilu Serentak 2019 yang pertama kali dalam sejarah juga dimulai tahun ini, termasuk urusan pendaftaran calon anggota legislatif dan presiden-wakil presiden.
Meskipun situasi politik memanas, Bambang menjanjikan, DPR akan tetap bekerja di tahun politik. “Kami akan tetap bekerja melayani aspirasi masyarakat seperti biasanya,” ujarnya.
Namun, sepanjang 2018, khususnya sejak pendaftaran calon anggota legislatif ke KPU pada Juli lalu, tingkat kehadiran anggota Dewan semakin rendah. Kursi-kursi kosong menjadi pemandangan yang lazim dijumpai di setiap rapat paripurna (rapur) dan rapat alat kelengkapan Dewan. Tidak heran, mengingat 94 persen dari total jumlah anggota DPR akan kembali mencalonkan diri di pileg, tahun depan.
Saking sedikitnya anggota yang hadir dalam rapat di parlemen, syarat kuorum kerap lebih banyak berpatok pada kuorum fraksi, bukan anggota. Syarat kuorum fraksi adalah kehadiran lebih dari setengah jumlah fraksi, sedangkan kuorum anggota adalah lebih dari setengah jumlah anggota DPR. Akhirnya, asalkan enam fraksi sudah hadir, rapat diadakan, meski anggota yang hadir tidak kuorum.
Hasil pemantauan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), dari tujuh kali rapur yang terdeteksi presensinya selama Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus-30 Oktober 2018), hanya rapur pembukaan masa sidang yang memenuhi kuorum anggota atau dihadiri 367 anggota DPR.
Di luar rapur pembukaan masa sidang, anggota DPR yang hadir paling sedikit 161 orang dan paling banyak 232 orang, yang artinya tidak memenuhi syarat kuorum seharusnya. Berdasarkan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, syarat kuorum rapat paripurna adalah dihadiri lebih dari 280 orang atau lebih dari lima fraksi.
Catatan Kompas, jika dihitung manual, tingkat kehadiran di rapat paripurna DPR bahkan pernah di bawah 100 orang, yaitu saat rapat paripurna Pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2018-2019, 21 November 2018 lalu.
Akibat kesibukan anggota DPR menghadapi tahun politik, anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, mulai Januari 2019, waktu efektif anggota bekerja di Senayan hanya dua hari dalam seminggu, yaitu Rabu dan Kamis. Itu pun harus dibagi untuk tugas legislasi, pengawasan, dan anggaran. Jumat hingga Selasa, akan dipakai anggota untuk berkampanye di dapil masing-masing.
Ujung-ujungnya, tingkat kehadiran yang rendah seolah dimaklumi. Pimpinan fraksi membiarkan, Mahkamah Kehormatan Dewan juga tidak menindak. Sebab, mengutip kata-kata Bendahara Fraksi PDI-P Alex Indra Lukman, “Apa standar yang menentukan seorang anggota DPR berhasil? Rajin hadir di rapat-rapat komisi atau terpilih lagi saat pemilu?”
Bagaikan efek domino, kesibukan mempersiapkan diri untuk pemilu itu berdampak pada minimnya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat di Senayan, yang akhirnya berimbas juga ke segala sendi tugas kedewanan, mulai dari fungsi legislasi, pengawasan, hingga anggaran.
sepanjang 2018, DPR dan Pemerintah hanya mengesahkan 10 persen dari target, atau lima dari 50 rancangan undang-undang,
Di bidang legislasi, sepanjang 2018, DPR dan Pemerintah hanya mengesahkan 10 persen dari target, atau lima dari 50 rancangan undang-undang, yaitu revisi Undang-Undang MPR, DPD, DPD, dan DPRD, revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan, RUU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan RUU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Saat ini, ada 27 RUU yang pembahasannya tengah berlangsung di tiap komisi dan panitia khusus DPR. Sebanyak 17 RUU di antaranya sudah berkali-kali diperpanjang pembahasannya hingga lebih dari lima kali masa sidang atau di atas satu tahun.
Sejak mulai menjabat pada Oktober 2014 sampai hari ini, hanya 22 RUU prioritas yang berhasil disahkan dari total 189 RUU di Prolegnas 2014-2019.
Dari target jangka panjangnya, DPR dan Pemerintah baru berhasil memenuhi 11,6 persen. Sejak mulai menjabat pada Oktober 2014 sampai hari ini, hanya 22 RUU prioritas yang berhasil disahkan dari total 189 RUU di Prolegnas 2014-2019. Itu tidak termasuk RUU APBN, pengesahan perjanjian internasional, dan penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Belakangan ini, tuntutan dari publik agar DPR segera mengesahkan sejumlah RUU, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta RUU Aparatur Sipil Negara, semakin sering terdengar.
Namun, waktu yang mepet di tengah kontestasi pemilu, membuat DPR dan Pemerintah sepakat RUU KUHP dibahas kembali setelah kontestasi pemilu selesai, Mei 2019. Sebagai catatan, RUU itu sudah dibahas lebih dari tiga tahun dan diperpanjang sebanyak 14 kali masa sidang.
Memang, pembahasan RUU bukan sekadar tanggung jawab DPR, melainkan tugas bersama DPR dan Pemerintah. Dalam beberapa kasus, Pemerintah memang menjadi penyebab lambatnya pembahasan. Hal ini misalnya terlihat dalam kasus RUU Kewirausahaan Nasional, RUU Wawasan Nusantara, RUU Pertembakauan dan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Namun, tak bisa dinafikan, fokus anggota Dewan yang terbelah karena harus menghadapi pemilu dan tingkat aktivitas yang rendah di Senayan, memainkan peran yang lebih dominan dalam melambatnya laju pembahasan RUU.
Menjelang akhir 2018 misalnya, intensitas rapat sejumlah komisi dengan kementerian/lembaga sudah jauh berkurang jika dibandingkan di awal 2018.
Selain fungsi legislasi, fungsi pengawasan DPR ikut terganggu saat anggota DPR memilih menghabiskan waktu lebih banyak di dapil. Menjelang akhir 2018 misalnya, intensitas rapat sejumlah komisi dengan kementerian/lembaga sudah jauh berkurang jika dibandingkan di awal 2018.
Realisasi jumlah rapat Komisi I hingga XI dalam satu kali masa sidang tidak pernah memenuhi rencana jumlah rapat yang disusun di awal masa sidang. Contohnya, pada kurun waktu Agustus-Oktober, rencana target pelaksanaan fungsi pengawasan oleh sebelas komisi adalah 92 kali rapat, tetapi rapat yang benar-benar dijalankan hanya 78 kali rapat pengawasan.
Komisi III (hukum, hak asasi manusia, dan keamanan) dan IV (pertanian, pangan, maritim, kehutanan), menjadi dua komisi dengan jumlah rapat di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran, paling sedikit. Selama 2,5 bulan bersidang di Agustus-Oktober, dengan 42 hari kerja di luar hari Jumat dan akhir pekan, Komisi III hanya mengadakan sembilan rapat, sedangkan Komisi IV sebanyak delapan rapat.
Fungsi anggaran DPR pun ikut terimbas suasana tahun politik. Ini setidaknya terlihat saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2019. Kala itu, muncul setidaknya dua usulan yang disinyalir politis.
Pertama, dana kelurahan yang besarnya tiga triliun rupiah. Sekalipun usulan dana kelurahan itu telah diajukan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia sejak 2015, disetujuinya usulan itu oleh DPR dan pemerintah di 2019, tak pelak memunculkan dugaan adanya kepentingan Pemilu 2019 di baliknya.
Selain dana kelurahan, sejumlah fraksi partai politik di DPR sempat memunculkan kembali usulan dana saksi dibiayai oleh negara. Padahal saat pembahasan Undang-Undang Pemilu, Tahun 2017, usulan itu sudah lama diperdebatkan, dan hasilnya negara tidak akan membiayai saksi. Ini karena saksi memang seharusnya menjadi tanggung jawab partai sebagai bagian dari fungsi partai melakukan kaderisasi dan pendidikan politik.
Pada akhirnya, sekalipun sejumlah fraksi partai politik mendesak pembiayaan saksi oleh negara, sikap pemerintah yang konsisten menolak, menggugurkan keinginan partai-partai itu.
Persoalan klasik
Dengan masa kampanye yang panjang dan pemilu yang baru akan digelar pada 17 April 2019, kondisi DPR di awal 2019 diperkirakan tidak akan berubah. Bahkan, bisa saja lebih parah mengingat intensitas kampanye oleh para anggota DPR yang pasti akan meningkat mendekati hari pemungutan suara.
Sementara itu, masa jabatan anggota DPR 2014-2019 akan berakhir, akhir September 2019. Jadi, kalaupun mereka kembali fokus dengan tugas-tugas sebagai wakil rakyat pasca pemilu, tetap tidak banyak waktu tersisa untuk menyelesaikan pekerjaan rumah kedewanan, khususnya tumpukan legislasi yang belum tuntas.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, melihat rendahnya kinerja anggota DPR menjelang pemilu bukan terjadi kali ini saja. Menjelang pemilu-pemilu sebelumnya, hal itu pun terjadi. Namun, disayangkan, DPR bersama partai-partao tidak belajar dari hal tersebut. Akibatnya menjelang Pemilu 2019, persoalan klasik itu kembali muncul.
Padahal, DPR dan partai seharusnya bisa membangun mekanisme yang memastikan anggota DPR tetap menjalankan tugasnya tetapi di sisi lain tetap ada ruang bagi mereka untuk berkampanye.
“Misalnya dengan mengatur jadwal gerilya para anggota DPR. Jadi tidak semua intens di dapil (daerah pemilihan) yang membuat tugas-tugas di DPR dinomorduakan,” kata Aditya.
Ketika perbaikan sistem tidak kunjung dilakukan, harapan tersisa pada setiap anggota DPR. Sejauh mana mereka tetap berkomitmen dengan sumpah yang diucapkan saat dilantik menjadi anggota DPR. Sumpah untuk bekerja sebaik-baiknya, bekerja sungguh-sungguh, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, serta memperjuangkan aspirasi rakyat.
Atau, jangan-jangan, bapak dan ibu wakil rakyat sudah lupa dengan sumpah itu?