Kenangan tak selalu manis dikenang. Namun selalu ada pembelajaran yang dapat dipetik. Pembelajaran yang membuat manusia semakin tegar dan bijak menjalani kehidupan. Begitulah pengalaman Inaya Wulandari Wahid.
Putri bungsu Presiden Republik Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan, pergantian tahun selalu mengingatkan akan kepergian ayahnya, 30 Desember 2009. “Itu tahun baru paling enggak menyenangkan. Setelah memakankan bapak di Jombang, Jawa Timur, kami kembali ke Jakarta dengan suasana yang sangat tidak matching. Kami berada dalam kemeriahan yang semu,” ujarnya.
Saat itu, waktu yang sebenarnya dianggap menjadi hari yang penuh harapan dan menyenangkan, tak berarti demikian bagi Inaya. “Tanggal 31 Desember 2009 itu kami memakamkan bapak, hari itu juga tepat hari ulang tahun saya. Jadi kayak nyeseknya tuh double,” ujarnya.
Namun, lambat laun, Inaya mengaku semakin banyak belajar tentang kematian. Memang tidak menyenangkan ketika ditinggal seseorang yang dikasihi, namun baginya itu tetap sebuah berkah. “Berkah bahwa bapak sudah enggak sakit lagi. Meski seperti sekarang menjelang tahun baru, pasti jadi keinget lagi, tapi ini tetap menjadi harapan bahwa kita masih diberkahi dalam kehidupan,” kata Inaya.
Sebuah berkah, memiliki sosok ayah sekaligus bapak bangsa yang wahid dalam hal toleransi antarumat beragama. Salah satu pemikiran Gus Dur adalah: "agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan. Sebab, jika kamu bisa melakukan yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu”.
Inaya mengingatkan, Indonesia tidak dibangun dari satu entitas. Indonesia dibangun oleh beragam suku, budaya, dan agama. Perbedaan yang menyatukan kita sebagai bangsa besar.
Perbedaan bukanlah hal untuk diperdebatkan. Bagi Gus Dur, saling memuliakan manusia adalah bagian penting dalam beragama. Sebab, melalui perbedaan, kita belajar bagaimana memuliakan manusia, yang juga berarti memuliakan pencipta-Nya. (SHARON PATRICIA)