Praktik Ilegal Sewa Trotoar Tanah Abang Masih Terjadi
Sewa-menyewa trotoar untuk berdagang kaki lima di sekitar Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, masih terjadi. Oknum warga setempat menyewakan lahan trotoar kepada pedagang kaki lima atau PKL. Praktik ilegal ini dituding sebagai salah satu penyebab sulitnya menertibkan PKL di kawasan itu.
Salah satu trotoar yang disewakan adalah trotoar Jalan kebon Jati di seberang Pasar Tanah Abang Blok G. Area sepanjang sekitar 30 meter dan lebar 5 meter itu dikuasai seorang oknum PKL bernama Udin yang juga warga setempat. PKL biasa menyebutnya ”pengurus”.
Area trotoar itu terbagi dua, yang ditandai dengan ubin kuning pemandu penyandang tunanetra. Zona bagian dalam arah ke kios pedagang resmi yang tidak dirazia Satuan Polisi Pamong Praja disewakan per tiga bulan atau per tahun. Sementara itu, area bagian luar arah ke jalan raya disewakan per bulan.
Zuhro (42), pedagang celana perempuan, mengaku setiap tahun dipungut biaya sewa selama berdagang di trotoar. Untuk bisa berdagang di trotoar bagian dalam, Zuhro harus menyetor Rp 5 juta kepada Udin. Selain itu, setiap hari Zuhro juga dikutip Rp 5.000 oleh anggota pengurus maksimal tiga kali.
”Wajarlah, namanya kita diberikan tempat untuk berdagang,” kata Zuhro, Minggu (23/12/2018).
Zuhro mengaku tidak keberatan karena omzetnya bisa menutupi biaya sewa tersebut. Setiap hari rata-rata omzetnya Rp 1,2 juta-Rp 2 juta. Kalau ada kamtib (Satpol PP) lewat, saya tinggal geser ke dalam. Nanti, kalau kamtib lewat, saya keluarkan lagi,” ujarnya.
Zuhro pun mempertemukan Kompas dengan Udin yang sepanjang sore itu sering berkeliling dari lapak ke lapak-lapak PKL lain. Ketika berkenalan, pria yang menurut sejumlah PKL berusia sekitar 35 tahun itu langsung menawarkan lahan trotoar.
Udin sigap menjelaskan lokasi-lokasi yang masih kosong, baik trotoar bagian luar maupun trotoar bagian dalam. Di trotoar bagian dalam, tinggal dua lokasi yang tersisa dengan ukuran sekitar 1,5 meter x 1,5 meter. Harganya sesuai kesepakatan dengan PKL karena durasi sewanya jangka panjang.
Sementara itu, di bagian luar masih banyak yang tersedia. Meskipun dianggap lebih strategis karena dekat dengan pejalan kaki, lokasi ini rawan dirazia Satpol PP. Tempat yang hanya cukup untuk satu gantungan pakaian dengan panjang 1,5 meter, lebar 0,5 meter, dan tinggi 1,5 meter itu dipatok Rp 800.000 per bulan.
”Bisa dinego. Kalau sanggupnya hanya Rp 600.000, tidak apa-apa, tetapi jangan bilang ke pedagang lain,” kata Udin.
Menurut Udin, di kawasan yang dia kelola itu lebih aman karena tidak banyak kutipan. Sekali sehari PKL hanya dikutip Rp 10.000. Sementara itu, di tempat lain PKL bisa dikutip sehari puluhan kali dengan biaya bervariasi, mulai Rp 2.000. Kemudian, apabila sewaktu-waktu PKL terjaring razia oleh Satpol PP, Udin mengklaim bisa membantu mengurusnya.
”Atau Abang pakai tempat saya saja agar lebih aman. Saya bisa cari tempat lain,” ujarnya sambil menunjukkan dua lapaknya di trotoar bagian luar.
Efendi (53), pedagang kaus perempuan, mengatakan, sewa-menyewa trotoar itu sudah berlangsung beberapa tahun terakhir. Praktik ini sudah menjadi rahasia umum di antara para PKL.
Akan tetapi, Efendi mengaku tidak dipungut sewa oleh Udin karena Efendi lebih dulu berdagang di trotoar itu. Sehari-hari Efendi hanya membayar Rp 10.000 kepada salah satu kenalannya yang pernah menjadi sekuriti di Pasar Tanah Abang.
Menurut Efendi, pungutan tersebut banyak dikeluhkan PKL, tetapi mereka tidak berani mengungkapnya. ”Wajar saja PKL tetap bandel meskipun dirazia kamtib. Mereka sudah telanjur menyewa lapak (trotoar) sehingga tidak mau rugi,” ujarnya.
Tidak hanya di trotoar Jalan Kebon Jati, praktik sewa-menyewa trotoar juga terjadi di trotoar Jalan Jati Baru Raya. Namun, menurut sejumlah PKL, oknum warga setempat tidak lagi memungut sewa. ”Karena kamtib rutin merazia, mereka enggak pungut lagi. Ini sejak sebagian PKL di sini dipindahkan ke atas (Jembatan Penyeberangan Multigunan Tanah Abang),” ujar Dapit (45).
Setoran
Selain membayar sewa, para PKL di trotoar Jalan Jati Baru Raya juga membayar setoran kepada sejumlah ”pengurus” di kawasan itu. Sekitar 20 ”pengurus” menagih setoran Rp 1.000 hingga Rp 5.000 kepada pedagang setiap hari.
Anwar (48), pedagang sandal, baru saja membuka lapaknya, Minggu (23/12/2018) pukul 16.00, di belakang jalur pemandu (guiding block). Berselang satu jam kemudian, seorang pria gondrong dengan mata kanan tertutup plester duduk di sebelah lapak Anwar sambil menggesekkan ujung jari telunjuk dan jempolnya ke arah Anwar.
”Biasa,” ujarnya kepada Anwar. Tanpa berpikir lama, Anwar merogoh saku belakang lalu memberikan pemuda itu dua logam Rp 500. Pemuda itu pun pergi setelah mendapatkan ”jatah” dari Anwar.
Hampir setiap hari Anwar menyetor ke banyak ”pengurus”. Jumlah setoran pun bervariasi, dari Rp 1.000 hingga Rp 5.000. Dari penghasilannya Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per hari, ia sisihkan Rp 20.000 hingga Rp 50.000 untuk membayar setoran.
”Saya enggak mau cari masalah jadi mendingan saya kasih,” ujarnya. Sebab, tak jarang pedagang di trotoar itu berselisih dengan para ”pengurus”. ”Pernah ada yang berkelahi karena masalah setoran,” ujar pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, itu.
Tidak tahu
Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu Purwoko membantah terkait keberadaan oknum yang mempersewakan trotoar di sekitar Pasar Tanah Abang. ”Tunjukkan kepada saya siapa oknumnya. Trotoar itu untuk pejalan kaki, bukan PKL,” kata Yani ketika dihubungi.
Dihubungi terpisah, Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara mengaku tidak tahu soal praktik sewa-menyewa trotoar tersebut. Sejauh ini tidak ada laporan dari bawahannya terkait hal itu.
”Hal ini (praktik sewa-menyewa trotoar) tidak masuk logika saya. Berarti mereka (PKL) gambling (berjudi) juga. Masa mau menyewa lahan yang membuat mereka terusik,” ujar Bayu.
Bayu menambahkan, praktik itu tidak mungkin terjadi karena setiap hari Satpol PP rutin menyisir PKL di trotoar. Sekitar 66 personel diturunkan setiap hari untuk menertibkan PKL di yang berjualan di trotoar kawasan Pasar Tanah Abang, termasuk di Jalan Jati Baru Raya dan Kebon Jati. (YOLA SASTRA/DIONISIO DAMARA TONCE)