LAMPUNG SELATAN, KOMPAS — Empat hari setelah tsunami Selat Sunda menghantam wilayah pantai selatan Lampung, sebagian warga terdampak masih memilih untuk tetap mengungsi di area perbukitan akibat trauma. Untuk itu, upaya relokasi permanen permukiman pesisir perlu dilakukan mengingat ancaman tsunami yang terus dapat terjadi akibat aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau.
Marlina (40), warga Desa Kunjir, Lampung Selatan, memilih untuk terus tinggal di sebuah gubuk di lereng bukit meski angin kencang dan hujan terus turun di daerah itu sejak musibah terjadi pada Sabtu (22/12/2018) malam. Ia bersikukuh untuk tinggal di atas bukit bersama suami dan ketiga anaknya akibat trauma dan khawatir akan terjadinya tsunami susulan.
Anak-anak saya tidak menginginkan untuk kembali tinggal di sana lagi.
Marlina bersedia rumahnya direlokasi sebab ia tidak ingin mengalami musibah yang sama untuk kedua kalinya. Hal yang sama pun disampaikan oleh Munawaroh (41), warga Kunjir lainnya.
”Asalkan tempatnya aman dan rumah dibangun oleh pemerintah. Kami sudah trauma tinggal di sini,” kata Munawaroh saat ditemui di Desa Kunjir, Lampung Selatan, Rabu (26/12/2018) siang.
Pada lereng bukit yang berada di sisi utara Desa Kunjir tersebut terdapat beberapa gubuk persawahan yang ditempati warga. Beberapa gubuk bahkan ditempati dua keluarga. Lereng bukit menjadi pilihan lokasi bagi banyak warga pesisir yang mengungsi meski tanpa kondisi tinggal dan fasilitas MCK yang layak.
Idoh Mafrudoh (30), warga Desa Way Muli, saat ini tinggal di bawah tenda darurat yang ia dirikan sendiri di lereng bukit di sisi utara Desa Way Muli. Keluarga Idoh yang beranggotakan enam orang harus berbagi tempat tinggal sementara dengan dua keluarga lainnya. Kondisi tempat tinggal Idoh dan pengungsi lainnya di bawah tenda-tenda darurat itu tidaklah layak. Tenda yang seadanya tidak mampu menahan terpaan angin dan air hujan.
Idoh mengatakan, dirinya tidak berkeberatan untuk direlokasi. Ia beserta istri dan keempat anaknya merasa trauma dengan tsunami yang melanda desa itu. ”Anak-anak saya tidak menginginkan untuk kembali tinggal di sana lagi,” kata Idoh.
Relokasi permukiman warga di area terdampak adalah salah satu metode dasar untuk meminimalisasi jumlah korban apabila tsunami kembali terjadi pada masa yang akan datang. Upaya relokasi sudah diterapkan di beberapa kasus, seperti tsunami Papua Niugini tahun 1988 serta tsunami Aceh dan Sri Lanka tahun 2004.
Namun, berdasarkan beberapa riset, termasuk riset pada 2012 oleh O Murao dan S Isoyama dari Universitas Tsukuba, Jepang, berjudul Transition of Housing Location in the Damaged Coastal Areas before the 2011 Great East Japan Earthquake, upaya relokasi perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial dari masyarakat agar area terdampak bencana tetap bebas dari permukiman.
Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo mengatakan, saat ini pemerintah daerah sedang berkoordinasi untuk menyiapkan lokasi permukiman baru yang lebih aman. Jarak permukiman baru dengan pantai pun akan diperhatikan. Sebab, sebagian besar mata pencarian masyarakat di pesisir adalah nelayan.
Ia mengatakan, pihaknya sesegera mungkin akan melakukan rehabilitasi area permukiman. ”Karena tidak mungkin juga pengungsi tinggal di penampungan atau di rumah sakit dalam waktu yang lama,” kata Ridho.
Sebelumnya, pada kunjungannya ke Desa Way Muli pada Selasa, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, sebaiknya pembangunan kembali rumah warga tidak berada lokasi semula untuk menghindari potensi tsunami.