Badai musim semi Arab yang pernah menggulingkan sejumlah rezim di Timur Tengah kini melanda Sudan. Kekuasaan rezim Omar al-Bashir yang 29 tahun berkuasa dipertaruhkan.
KAIRO, KOMPAS Unjuk rasa rakyat di Sudan sepekan ini hingga Rabu (26/12/2018) terus berlanjut. Kehidupan di ibu kota Khartum dan kota lain kini praktis lumpuh. Unjuk rasa terbesar sejak Presiden Omar al-Bashir berkuasa tahun 1989 itu merambah 13 wilayah (provinsi) dari 18 wilayah di Sudan.
Menurut versi pemerintah, unjuk rasa itu menelan korban delapan orang tewas. Namun, organisasi Human Rights Watch menyebutkan, sedikitnya 37 pengunjuk rasa tewas dan ratusan orang luka-luka.
Unjuk rasa itu semula sebagai protes atas kenaikan harga roti dan buruknya kondisi ekonomi. Namun, kini sudah beralih menjadi unjuk rasa politik, yakni menuntut turunnya rezim Bashir yang sudah berkuasa 29 tahun.
Aksi unjuk rasa pada Selasa (25/12) sudah mencapai area sekitar istana kepresidenan di Khartum. Massa meneriakkan yel-yel ”rakyat ingin jatuhnya rezim”, seperti yel-yel yang sering terdengar pada masa musim semi Arab tahun 2011 di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman.
Bashir mulai panik menghadapi aksi unjuk rasa yang semakin membesar dan aparat keamanan gagal meredamnya. Ia menuduh para pengkhianat dan oknum bayaran berada di balik unjuk rasa tersebut.
Sejumlah pengamat politik Sudan, seperti dikutip harian Al Quds al Arabi, menyebut, ada lima skenario solusi untuk mengakhiri unjuk rasa rakyat yang disebut ”musim semi Sudan” itu.
Lima skenario
Pertama, Bashir mengumumkan mundur dan diganti figur militer loyalisnya. Jika skenario ini diambil, hampir dipastikan akan terjadi transaksi untuk melindungi kepentingan Bashir dan menjamin tidak ada tuntutan hukum apa pun terhadap Bashir sebagai imbalan mundurnya presiden Sudan tersebut.
Kedua, Partai Kongres Nasional (NCP) pimpinan Bashir yang berkuasa di Sudan melakukan pembangkangan dan meminta Bashir mundur. NCP juga bisa mengancam tidak akan mencalonkan Bashir lagi pada pemilu presiden tahun 2020.
Ketiga, unjuk rasa rakyat bisa menggulingkan rezim Presiden Bashir, seperti terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Skenario ini sangat dicemaskan regional dan internasional karena dikhawatirkan disusul perang saudara, seperti yang terjadi di Libya dan Yaman, akibat pertarungan perebutan kekuasaan di antara kekuatan politik di negara itu.
Keempat, terjadi transaksi politik antara Bashir dan oposisi, khususnya partai Nasional Umma (NUP) pimpinan Sadiq al-Mahdi untuk bekerja sama meredam unjuk rasa rakyat. Jika skenario ini terjadi, akan ada transaksi politik melibatkan oposisi dalam pemerintahan dengan cara membentuk pemerintah persatuan nasional.
Kelima, intervensi asing untuk mempertahankan atau menggulingkan rezim Bashir. Jika skenario ini terjadi, muncul pertarungan internasional antara Amerika Serikat (AS) dan Barat di satu pihak serta Rusia di pihak lain. Jika situasi Sudan semakin tak terkendali, tidak menutup kemungkinan AS dan Barat melakukan intervensi untuk membantu pengunjuk rasa menggulingkan rezim Bashir. Sebaliknya, Rusia akan berusaha mempertahankan Bashir.
Kunjungan mengejutkan Bashir ke Damaskus pada 16 Desember lalu setelah mengunjungi Rusia merupakan isyarat Bashir memilih poros Rusia guna menyelamatkan kondisi buruk di Sudan saat ini. Kunjungan Bashir ke Rusia dan Suriah sekaligus itu merupakan kemarahan Presiden Sudan tersebut terhadap AS dan Barat yang terus menjatuhkan sanksi ekonomi atas Sudan.
Menurut Al Quds al Arabi, yang mengutip sejumlah pengamat politik Sudan, kemungkinan terbesar yang terjadi dalam beberapa hari atau pekan kedepan di Sudan adalah skenario ketiga dan keempat.