Indonesia yang Kurang Tanggap dengan Bencana
Indonesia merupakan negara maritim yang rawan bencana, termasuk oleh terjangan gelombang besar tsunami. Cincin api mengelilingi negeri ini. Gunung berapi yang masih aktif setiap saat menebar ancaman aktivitas vulkanik.
Letak Indonesia juga berada pada tubrukan beberapa lempeng bumi sehingga pergeserannya setiap saat bisa mengakibatkan gempa bumi dan tsunami.
Namun, negeri ini seperti tak pernah belajar dari banyaknya korban akibat bencana alam. Paling mutakhir adalah korban dan kerugian akibat tsunami di Selat Sunda. Banyaknya korban meninggal menjadi salah satu bukti kurang tanggapnya Indonesia pada bencana yang sebenarnya telah berulang kali terjadi di negeri ini.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari tahun 1629 hingga 2018, Indonesia telah mengalami 177 tsunami besar dan kecil. Tsunami tersebut antara lain terjadi di Flores (1992), Aceh (2004), dan Sulawesi Tengah (1968, 1996, dan 2018). Terbaru adalah tsunami yang terjadi di sekitar Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018.
Data BNPB per Senin (26/12/2018) pukul 13.00 menunjukkan, korban yang meninggal mencapai 430 orang. Salah satu akibat banyaknya korban disebabkan tidak ada peringatan tsunami sehingga warga tidak sempat mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman.
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan longsor bawah laut, lalu berdampak tsunami ke daerah pantai di sekitarnya.
”Kita belum memiliki sistem peringatan dini untuk tsunami yang dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan gunung api,” kata Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Alat yang dimiliki Indonesia baru untuk tsunami yang dipicu oleh gempa tektonik. Salah satu alat yang digunakan dalam Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) adalah buoy, alat pendeteksi tsunami di laut. Namun, aktivasi alat ini pun dipertanyakan. Pasalnya, 22 buoy yang dipasang di perairan Indonesia sudah tidak aktif sejak 2012.
Indonesia membangun sendiri 8 unit buoy, Jerman 10 unit, Amerika Serikat 2 unit, dan Malaysia 1 unit dipasang di perairan Indonesia. Namun, akibat vandalisme dan terbatasnya biaya pemeliharaan serta operasi, alat ini tidak lagi berfungsi. Kondisi ini menyulitkan petugas untuk mengetahui apakah tsunami benar terjadi di lautan atau tidak.
Saat ini, Indonesia hanya mengandalkan alat milik negara lain yang dipasang di perairan Indonesia. Ada lima buoy milik negara lain tersebut, yaitu 2 unit di bagian selatan Sumba dekat Australia milik Australia, 1 unit di barat Aceh milik India, 1 unit di Laut Andaman milik Thailand, dan 1 unit di utara Papua milik Amerika Serikat.
Harga 1 unit buoy buatan Amerika Serikat Rp 7 miliar hingga Rp 8 miliar, sedangkan buatan Indonesia Rp 4 miliar. Alat yang membutuhkan biaya besar ini kebanyakan rusak akibat vandalisme dan tidak adanya biaya operasional serta pemeliharaan. Buoy yang dipasang di Laut Banda, misalnya, pada April 2009 rusak dan hanyut ke bagian utara Sulawesi.
Menurut Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group, sekaligus pakar tsunami di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, buoy memang rentan dirusak atau dicuri bagian-bagiannya oleh masyarakat, proteksi sosialnya tidak ada yang menjamin (Kompas, 25/12/2018).
Setelah bahaya tsunami diketahui mengancam, peringatan dini selanjutnya membutuhkan sirene. Bunyi sirene ini untuk memberikan tanda bahaya bagi masyarakat untuk segera mengevakuasi diri.
Saat ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah membangun 52 sirene tsunami, tetapi kebutuhan Indonesia mencapai puluhan ribu untuk dipasang di daerah rawan tsunami.
Salah satu usaha untuk melengkapi sirene BMKG adalah BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah membuat sirene yang dapat didengar penduduk dalam radius 1-1,5 kilometer. Sementara alat dari BMKG dapat didengar dalam radius 2-3 kilometer.
Setelah warga mengetahui adanya ancaman tsunami, dibutuhkan jalur evakuasi menuju lokasi aman. Salah satu yang dibutuhkan adalah selter evakuasi. Selter ini untuk mengevakuasi warga yang luasnya harus disesuaikan dengan jumlah warga yang tinggal di daerah terdampak tsunami.
Selain luasnya, dibutuhkan perawatan pada fasilitas ini. Walaupun tidak atau belum digunakan, selter ini harus tetap terawat karena ancaman bisa datang kapan saja.
Selter juga harus dilengkapi dengan toilet dan dapur umum sesuai kapasitas selter. Saat ini, belum semua lokasi rawan memiliki fasilitas ini.
Umumnya, selter berada di daerah yang lebih tinggi. Misalnya saja bukit yang dijadikan selter tsunami di Pulau Panjang, Pasaman Barat. Ada pula hotel di Sanur, Bali, yang dapat dijadikan selter.
Sementara di Kota Padang ada bangunan lima lantai yang dijadikan selter. Bangunan ini memiliki luas 22 meter persegi dilengkapi dengan fasilitas dapur umum, MCK (mandi, cuci, kakus), dan dapat menampung 4.500 jiwa.
Pendidikan bencana
Selain kesiapan alat peringatan dini, dibutuhkan pula penanaman pengetahuan tanggap bencana bagi masyarakat, khususnya yang berada di daerah rawan bencana.
”Daerah Indonesia Timur sebenarnya yang paling banyak ancamannya (bencana tsunami). Namun, riset untuk daerah ini, bahkan mitigasi baik struktural maupun nonstruktural, masih kecil dibandingkan Indonesia bagian barat,” kata Sutopo.
Sosialisasi dan gladi, kata Sutopo, juga perlu ditingkatkan. Aspek kultural perlu ditingkatkan dan membuat ancaman tsunami menjadi budaya masyarakat.
Aspek ini mencakup masyarakat paham terhadap ancaman tsunami, lalu risikonya, kemudian antisipasinya. Sosialisasi ini juga dilirik menjadi salah satu pelajaran di sekolah-sekolah, bahkan akan dipertimbangkan menjadi salah satu mata pelajaran.
Tata ruang di daerah terdampak tsunami juga membutuhkan perhatian lebih, misalnya saja di Selat Sunda yang banyak menjadi kawasan industri. Bangunan masih terlihat hanya berjarak 3 meter dari pinggir laut.
Oleh karena itu, BNPB menilai rencana induk pengurangan risiko bencana tsunami yang pernah berjalan pada 2013-2014 perlu dilanjutkan.
Ada empat program di dalam rencana induk tersebut. Pertama, mencakup penguatan rantai peringatan dini tsunami. Termasuk di dalamnya sirene, informasi, alat deteksi gempa, dan lainnya. Kedua, pembangunan dan peningkatan tempat evakuasi sementara. Ketiga, penguatan kapasitas kesiapsiagaan. Keempat, pembangunan kemandirian industri kebencanaan.
Namun, rencana induk pengurangan risiko bencana tsunami tidak menjadi prioritas. Hal ini mengakibatkan empat program dalam rencana induk tidak berlanjut hingga saat ini. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)