BANDA ACEH, KOMPAS - Gerakan literasi kebencanaan di Indonesia masih sangat lemah. Padahal tingkat pengetahuan sangat menentukan kemampuan untuk menyelamatkan diri saat terjadi bencana.
Hal itu mengemuka dalam diskusi “Membangun Gerakan Literasi Kebencanaan di Aceh” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Kamis (27/12/2018). Adapun pembicara dalam diskusi itu Jurnalis Harian Kompas dan penulis kebencanaan Ahmad Arif dan peneliti dari Universitas Kyusu Jepang Megumi Sugimoto.
Ahmad Arif mengatakan, literasi tentang bencana di Indonesia masih sangat buruk. Padahal kata Arif, setiap daerah di Indonesia memiliki sejarah tentang kebencanaan. Namun, sayangnya pengetahuan tentang bencana tidak dirawat dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Misalnya bencana tsunami di Aceh. Sebelum terjadi gempa dan tsunami 2004, warga Aceh sama sekali tidak mengetahui tentang tsunami sehingga kala itu, tsunami menelan banyak korban. Padahal, kata Arif, ratusan tahun lalu kawasan pesisir Aceh juga pernah dilanda tsunami. Bukti tsunami kuno semakin kuat setelah ditemukan di Goa Ek Luntie, Lhong, Aceh Besar.
Kata Arif, seharusnya peristiwa tsunami masa lampau menjadi pembelajaran untuk membangun mitigasi di masa sekarang dan masa depan,karena bencana gempa dan tsunami siklus alam yang terus berulang. Jika pengetahuan itu tidak diwariskan sulit mengurangi dampak risiko bencana. “Banyak sekali literasi yang mengingatkan tentang tsunami di Indonesia namun itu terlupakan,” kata Arif.
Bukan hanya di Aceh, bencana likuefaksi yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, sebenarnya itu juga sudah pernah terjadi. Dalam bahasa lokal warga Palu, likuefaksi disebut nalodo artinya berarti ambles diisap lumpur. “Sebenarnya warga telah mengetahui, namun tidak dijadikan pebelajaran. Pengetahuan lokal harusnya dijaga dan diwariskan kepada generasi,” kata Arif.
Arif menambahkan, mitigasi bencana dilakukan dengan pembangunan infrastruktur dan pendidikan kebencanaann bagi warga. Kata Arif, sistem peringatan dini bisa saja tidak berjalan saat terjadi bencana, namun pengetahuan warga dan kemampuan mitigasi mandiri jauh lebih menentukan tingkat keselamatan. “Peringatan terbaik adalah akal sehat dan pengetahuan,” ujar Arif.
Peneliti dari Universitas Kyusu Jepang Megumi Sugimo mengatakan, dalam mitigasi tidak cukup mengandalkan peringatan dini dari sistem yang dibangun pemerintah. Sebab, tidak selamanya tsunami terdeteksi. Seperti yang terjadi di Selat Sunda, tsunami terjadi namun tidak ada peringatan dini. Akibatnya, banyak warga di pesisir jadi korban.
Jalan keluar mitigasi terbaik kata Sugimoto adalah pembangunan infrastruktur mitigasi dan edukasi bagi warga. Kedua cara itu harus berjalan simultan.
Dia menambahkan, kelemahan di Indonesia media yang menyampaikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami masih minim. Di negaranya, banyak saluran yang memberikan informasi kebencanaan.