Tetap Berbagi dalam Keterbatasan
Dalam keterbatasan, sebagian warga yang terdampak bencana tsunami Selat Sunda tetap berprinsip teguh agar selalu menyediakan ruang untuk berbagi dengan sesama. Mereka membantu tanpa pamrih, sekadar ingin meringankan beban bagi yang lebih membutuhkan.
Munah (37) adalah salah satunya. Sudah lima hari, rumah Munah yang terletak di Kampung Tembol, Desa Tembong, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, menjadi tempat pengungsian korban tsunami Selat Sunda yang menerjang daratan, Sabtu (22/12/2018) malam.
”Enggak apa-apa suami saya tidur di dapur, supaya rumahnya seimbang, enggak hanya berkumpul di bagian depan saja,” ujar Munah seraya tertawa saat ditemui di rumahnya, Rabu (26/12/2018).
Rumah semipermanen seluas 45 meter persegi itu kini dihuni 24 orang, yang terdiri dari empat anggota keluarga Munah dan 20 pengungsi. Mereka berlindung di bawah atap rumah saung empat petak yang berbilik bambu dan berlantaikan papan kayu.
Munah menuturkan, para pengungsi itu ia temukan berada di teras rumahnya pada Minggu (23/12/2018) siang. Saat itu, ia baru pulang dari pengungsian di Kampung Salabarang, Desa Tembong, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Rumah Munah berjarak sekitar 1,2 kilometer dari garis pantai.
Ia dan beberapa keluarga di areal permukiman itu lari ke Kampung Salabarang yang letaknya lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. ”Saya tidak kenal pengungsi yang ke rumah, tetapi saya tahu mereka ketakutan,” kata Munah.
Oleh karena itu, ia dan suaminya mempersilakan mereka tinggal bersama meski kondisi rumah amat terbatas. Bilik bambu dan lantai papan kayu sebagian besar sudah keropos. Bahkan, rumah itu tidak memiliki kamar mandi.
Keluarga petani penggarap itu hanya mampu menyediakan tikar sebagai alas tidur bagi para tamu. Sesekali, Munah pun memasak lebih banyak untuk makan bersama.
Meski serba terbatas, bantuan keluarga Munah amat berharga bagi para pengungsi. Eneng Bakriyah (32), salah satu pengungsi, selalu mengucapkan terima kasih di setiap akhir kalimat yang dia ucapkan kepada Munah. Bagaimana tidak, ketenangan hatinya setelah terancam tsunami terbangun kembali berkat bantuan tersebut.
Eneng mengatakan, dirinya dan keluarga besarnya kalut saat mendengar kabar tsunami di Selat Sunda. Rumahnya berada tepat di sebelah pagar Mutiara Carita Cottage yang berjarak hanya 200 meter dari garis pantai.
Oleh karena itu, ibu empat anak itu segera membawa putra-putrinya sambil mengendarai motor tanpa tujuan. Dalam pikiran Eneng, ia hanya harus mencari tempat yang lebih tinggi.
Baca juga: Kebersahajaan di Tengah Bencana
Perjalanannya pun berhenti di rumah yang sama sekali tak ia ketahui pemiliknya. Rumah itu terkunci. Ia dan keluarganya kemudian berlindung semalaman di teras yang luasnya tak lebih dari 10 meter persegi itu. ”Saya bersyukur sekali mendapatkan tempat yang aman di sini,” kata Eneng.
Selain keluarga Eneng, keluarga lain juga mengungsi di rumah warga yang berada di sekitar kediaman Munah di Desa Tembong.
Ikatan sosial
Meski mulanya tidak saling mengenal, ikatan sosial di antara keluarga Munah dan keluarga besar Eneng muncul berkat kesamaan nasib. Mulanya, mereka sama-sama ketakutan akan ancaman tsunami. Naluri untuk melindungi pun muncul saat melihat warga yang lebih lemah.
Ikatan itu semakin kuat seiring dengan interaksi yang intens. Eneng menuturkan, selama lima hari terakhir mereka selalu menghabiskan hari untuk bercengkerama, membagi keresahan bersama-sama. ”Tidak lupa, saya dan keluarga juga membantu membersihkan rumah,” katanya.
Raskah (64), warga Kampung Cibenda, Desa Sukarame, Kecamatan Carita, juga menyediakan rumahnya untuk ditinggali para pengungsi yang tidak dia kenal. Suasana rumahnya pun mendadak ramai, Rabu (26/12/2018). Di dapur, sekitar lima orang ibu menanak nasi. Sementara kaum lelaki membuat tenda darurat di depan rumah itu.
Rumah berukuran 14 meter x 6 meter itu menjadi tempat pelarian bagi warga sekitar yang takut terkena sapuan gelombang tinggi lagi pascatsunami Selat Sunda. Kamar tamu disesaki barang bawaan pengungsi. Mereka juga dengan leluasa beristirahat di rumah Raskah.
”Almarhum abah selalu berpesan untuk membukakan pintu bagi mereka yang membutuhkan,” kata Raskah, Rabu (26/12/2018), mengenang pesan almarhum suaminya, Kasiman.
Rumah beton yang berjarak sekitar 2 kilometer dari garis pantai itu mendadak sesak ketika gelombang laut menghantam pesisir pantai Pandeglang, Sabtu malam. Raskah turut melarikan diri ke hutan yang cukup jauh dari garis pantai. Ketika pulang, ia mendapati rumahnya sudah ramai oleh pengungsi.
Rumah beton yang berjarak sekitar 2 kilometer dari garis pantai itu mendadak sesak ketika gelombang laut menghantam pesisir pantai Pandeglang
Ia kaget melihat tak ada lagi pakaiannya yang sedang dijemur di ruang dekat dapur. Baju itu ternyata dipakai pengungsi yang basah kuyup. ”Mereka tidak minta izin dulu, tapi tetap saya ikhlaskan. Kasihan, mereka menggigil karena kedinginan,” katanya.
Hingga Rabu sore, tak kurang 15 keluarga tinggal di rumah itu. Ada yang tidur di ruang tamu, kamar, dan menggelar lapak di teras rumah. Semakin matahari turun, orang-orang dari Kampung Cibenda bagian bawah terus berdatangan ke rumah Raskah.
Komiah (35), warga Cibenda, Desa Sukarame, memboyong sembilan anggota keluarga ke rumah Raskah. Karena di dalam rumah sudah tak ada tempat, dia menggelar kasur di teras samping kiri rumah.
”Ibu Raskah baik orangnya. Dia hanya berpesan untuk membantu membersihkan rumah,” kata Komiah, yang sudah empat hari tinggal di rumah Raskah.
Di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Lampung, warga juga turut berbagi ruang tinggal dengan pengungsi. M Farhan (43) adalah satu dari sejumlah warga yang merelakan rumahnya digunakan sebagai tempat mengungsi.
Rumah Farhan terletak di kaki bukit dan jauh dari pantai. Karena itu, kediamannya menjadi tempat bernaung para pengungsi. Total ada 25 orang dari 5 keluarga mengungsi di rumah Farhan yang berukuran 9 meter x 12 meter.
Dindingnya pun terbuat dari anyaman bambu. Genteng-genteng rumah Farhan sedikit retak. Ketika hujan lebat turun, air merembes masuk ke rumah. Meski seadanya, mengungsi di rumah Farhan dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan mendirikan tenda di bukit.
Sahri (54) yang menumpang di rumah Farhan mengatakan, tinggal di tenda alam terbuka berbahaya untuk anak balita karena angin kencang dan hujan. Di kediaman Farhan ada lima anak balita yang mengungsi.
Ruang tamu rumah berubah menjadi tempat beristirahat para pengungsi. Solidaritas antarwarga terpupuk di rumah mungil tersebut. Selama rumahnya menjadi tempat mengungsi, Farhan ikut berbaur tidur di lantai ruang tamu. Karena berdesakan, tak jarang Farhan tidur dalam posisi terduduk.
Memberikan bantuan
Mereka yang terketuk hatinya untuk berbagi tidak hanya dari warga yang tinggal dekat dengan para korban bencana. Seperti kelompok pemuda dari Kampung Cimerak, Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon.
Mereka yang terketuk hatinya untuk berbagi tidak hanya dari warga yang tinggal dekat dengan para korban bencana.
Rudi Surodi (33), koordinator penggalangan bencana di Kampung Cimerak, mengungkapkan, gagasan untuk membantu korban bencana tsunami di Pandeglang ini muncul dari sekelompok remaja yang tergabung dalam klub sepak bola di Cimerak.
”Begitu kami sampaikan rencana ini kepada Ketua RW dan diteruskan kepada warga, ternyata banyak warga yang antusias membantu,” kata Rudi, yang ditemui di Kantor Kecamatan Labuan, Pandeglang, yang juga menjadi salah satu posko bantuan bencana tsunami Pandeglang.
Hanya dalam waktu empat jam, bantuan pun terkumpul. Bantuan itu berupa air mineral, mi instan, baju layak pakai, dan selimut, yang ditempatkan dalam dua truk dan satu mobil bak terbuka. ”Semoga dapat bermanfaat bagi korban tsunami,” kata Rudi.
Selain warga, ada juga sejumlah sukarelawan yang sengaja datang ke lokasi bencana untuk meringankan beban korban. Misalnya saja Kori Andrian, sukarelawan dari Radio Antar-Penduduk Indonesia (RAPI) Daerah Lampung.
Sejak Minggu (23/12/2018), Kori bersama rekan-rekannya hadir di lokasi bencana. Dengan membawa tiga mobil ambulans, mereka menyisir desa-desa terdampak tsunami dan mengevakusi korban luka ke rumah sakit.
Tak hanya itu, para sukarelawan juga membantu menenangkan korban. Kabar bohong yang beredar melalui media sosial kerap membuat para korban ketakutan.
Pada masa bencana, ruang-ruang kemanusiaan menemukan ladang persemaian. Itulah kenapa warga tergugah untuk berbagi kepada sesama meskipun mereka juga memiliki keterbatasan. Kelapangan hati mereka begitu berarti bagi korban bencana yang membutuhkan uluran bantuan.(NIA/MTK/BAY/VIO/IGA/E10/E17)