JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama menunjukkan, tingkat kerukunan antarumat beragama di DKI Jakarta pada 2018 turun menjadi 70,2 dari tahun sebelumnya 73,9. Angka ini berada di bawah angka rata-rata nasional 70,9.
Hasil survei yang melibatkan 13.600 responden di 34 provinsi ini menempatkan DKI Jakarta di posisi ke-20 secara nasional. Hasil ini muncul dalam refleksi akhir tahun Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta di kantornya di Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018). Pertemuan dihadiri para tokoh FKUB yang mewakili agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu.
Meski menurun, Ketua FKUB DKI Jakarta Ahmad Syafi’i Mufid mengatakan, kondisi kerukunan Jakarta masih dalam rentang tinggi. Secara nasional, angka kerukunan antarumat beragama memang turun.
”Ada lima kategori rentang, yaitu 0-20 rendah, 21-40 sedang, 61-80 tinggi, dan 80-100 sangat tinggi. Jadi, Jakarta masih dalam kondisi tinggi,” katanya.
Menurut Ahmad, turunnya tingkat kerukunan antarumat beragama ini dipicu oleh suasana politik dengan adanya pemilihan umum tingkat presiden, legislatif, dan tingkat daerah yang saling berdekatan. Agama digunakan untuk kepentingan ini di media sosial dari hari ke hari.
Tentu saja, kata Ahmad, isu ini berpengaruh pada persepsi masyarakat saat ditanya mengenai kerukunan umat beragama. Kendati demikian, tak ada kejadian besar yang menodai suasana toleransi antaragama di Jakarta. Penurunan angka ini lebih pada persepsi individu warga terhadap kerukunan tersebut.
Menurut sejumlah tokoh FKUB DKI Jakarta yang hadir dalam pertemuan refleksi akhir tahun tersebut, hasil survei itu menyanggah hasil kajian Setara Institute yang menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota 10 besar dengan nilai toleransi terendah di Indonesia.
Pendeta Manuel Raintung, yang juga Ketua Umum Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Wilayah DKI Jakarta, mengatakan, banyaknya unjuk rasa di Jakarta berlatar agama tak mencerminkan intoleransi di kehidupan masyarakat. Sebab, indikator toleransi adalah bagaimana hidup damai disertai adanya saling pengakuan terhadap agama lain tanpa kekerasan di masyarakat.
”Kami belum dengar adanya kekerasan. Kalaupun ada kelompok tertentu yang melakukannya, belum jadi representasi bagi kehidupan masyarakat Jakarta,” katanya.
Sejumlah pendirian rumah ibadah di Jakarta memang masih menemui kendala. Namun, secara umum, sebenarnya tak banyak masalah. Hal ini dibuktikan dengan adanya 6 pendirian gereja di Jakarta selama 2018, 7 gereja pada 2017, dan 10 gereja pada 2016.
”Pendampingan pada rumah-rumah ibadah yang menemui kendala soal izin masih terus dilakukan. Ini memang harus bersabar, tidak bisa terburu-buru,” katanya.
Sementara itu, perwakilan dari Gereja Katolik, Pastor Suyadi, mengatakan, masih dibutuhkan ketekunan dan perjuangan bersama guna menjaga kerukunan antarumat beragama di DKI Jakarta. Gereja Katolik berusaha melakukannya dengan melakukan beragam diskusi dan kegiatan lintas iman.
Guna mengantisipasi semakin turunnya kerukunan, FKUB DKI Jakarta berencana menggaet para generasi milenial untuk membuat konten-konten media sosial yang mempromosikan kerukunan antarumat beragama. Hal ini dinilai sebagai langkah efektif karena saat ini konten di media sosial merupakan faktor yang dominan menggerus kerukunan tersebut.