JAKARTA, KOMPAS - Peningkatan konsumsi rumah tangga menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 yang masih diselimuti ketidakpastian global. Selain penduduk termiskin, stimulus peningkatan konsumsi juga harus membidik kelas menengah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara kepada Kompas, Kamis (27/12/2018), mengatakan, konsumsi diupayakan bisa tetap tumbuh di atas 5,1 persen tahun depan. Momentum peningkatan konsumsi, terutama pada triwulan I-2019, berasal dari perhelatan pemilihan umum (pemilu) serentak.
“Pemilu biasanya mendorong peningkatan Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT),” kata Suahasil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dalam tiga tahun terakhir sejak 2015, sumber pertumbuhan ekonomi terbesar dari komponen pengeluaran rumah tangga (PK-RT) yang berkisar 53-55 persen. Selanjutnya, berasal dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 30-40 persen dan komponen lainnya di bawah 10 persen.
Pada triwulan III-2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,17 persen, dengan produk domestik bruto (PDB) Rp 3.835,6 triliun. Sumber pertumbuhan berasal dari PK-RT sebesar 52 persen, PMTB 43 persen, dan komponen lainnya 4,6 persen.
Konsumsi rumah tangga jadi tumpuan karena kinerja investasi dan ekspor masih sulit diprediksi. Tekanan global masih membayangi perekonomian Indonesia pada paruh pertama 2019 yang bersumber dari kesepakatan soal tarif impor antara China dan Amerika Serikat, kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, dan keputusan soal Brexit.
Selain Pemilu, lanjut Suahasil, momentum pertumbuhan ekonomi dipacu dengan meningkatkan belanja sosial. Pada 2019, anggaran perlindungan sosial bagi 40 persen penduduk berpenghasilan terendah mencapai Rp 387,3 triliun. Alokasi perlindungan sosial itu naik dari proyeksi APBN 2018 sebesar Rp 291,7 triliun.
“Kelompok 40 persen penduduk berpenghasilan rendah ini kecenderungan konsumsinya, atau marginal propensity to consume, relatif tinggi,” kata Suahasil.
Peningkatan belanja sosial itu dialokasikan untuk tambahan 10 juta keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH), peningkatan penerima bantuan iuran JKN, bantuan pangan non-tunai untuk 15,6 juta keluarga, serta subsidi bunga untuk kredit usaha kecil dan mikro, dan perumahan.
Menurut Suahasil, peningkatan belanja sosial juga menopang pertumbuhan investasi yang dikhawatirkan masih belum optimal tahun depan. Investor cenderung menunggu dan melihat pasca Pemilu. Di sisi lain, kontribusi konsumsi pemerintah terhadap PDB relatif kecil kendati pertumbuhan positif. Porsi konsumsi pemerintah didomimasi belanja pegawai.
Secara terpisah, Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute, Eric Alexander Sugandi, mengatakan konsumsi rumah tangga terbesar untuk pengeluaran makanan dan minuman, transportasi, dan komunikasi. Tren kontribusi ketiga jenis konsumsi terhadap PDB meningkat sejak tahun 2010. Untuk mendorong kontribusi konsumsi, daya beli mesti ditingkatkan.
Kelasmenengah
Eric berpendapat, pemerintah tidak bisa hanya fokus pada peningkatan konsumsi penduduk miskin dan rentan miskin. Strategi peningkatan konsumsi juga harus membidik kelompok penduduk kelas menengah yang jumlahnya terus tumbuh. Mereka cenderung mengurangi pengeluran konsumsi untuk dialihkan ke kegiatan produktif lain, seperti investasi.
Mengutip studi Bank Dunia, sembilan dari dua puluh penduduk Indonesia menjelang kelas menengah. Adapun kelas menengah memegang 47 persen dari total konsumsi rumah tangga Indonesia, di luar konsumsi kelas atas. Kelas menengah menjadi konsumen utama dari perekonomian.
Selain Indonesia, pertumbuhan konsumsi juga menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi di China. Namun, mereka bukan sekadar mengalihkan tumpuan, tetapi menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang semula ditopang investasi dan ekspor. Jumlah penduduk kelas menengah di China terus tumbuh sehingga kebutuhan juga naik.
“Jadi, masalah pertumbuhan berbasis konsumsi itu bergantung daya beli,” kata Eric.
Peningkatan konsumsi mesti dibarengi edukasi dan realisasi produk dalam negeri. Tujuannya agar konsumsi tidak membebani neraca perdagangan yang sudah defisit. Kualitas dan harga produk dalam negeri harus terjamin untuk menarik pembeli. Strategi yang disiapkan harus jangka panjang dan mesti segera dimulai.
Suahasil menambahkan, peningkatan pendapatan secara umum bisa mendorong pertumbuhan impor. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong konsumsi dan penggunaan bahan baku dalam negeri. Konsistensi dalam penggunaan produk dalam negeri akan menjaga pertumbuhan konsumsi yang sehat pada 2019.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro menambahkan, penggunaan anggaran harus dijamin untuk kegiatan produktif yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Selama ini konsumsi pemerintah banyak dialokasikan untuk belanja pegawai sehingga tidak menimbulkan efek berganda yang signifikan.