Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya sentra perekonomian, wilayah kota kian strategis. Akan tetapi, permasalahan kota pun semakin kompleks. Penerapan prinsip kota cerdas dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini, dan tingkat kecerdasan kota dapat diukur secara periodik lewat Indeks Kota Cerdas.
Diperkirakan pada 2050 sebanyak 70 persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Begitu juga di Indonesia. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2010, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 49,8 persen. Pada 2030, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 63,4 persen.
Seiring jumlah penduduk di kota merangkak naik, dampak dan masalah bermunculan. Tuntutan kebutuhan masyarakat yang harus dilayani oleh aneka fasilitas publik mengemuka.
Perekonomian juga diharapkan berputar lancar agar warga bisa hidup sejahtera tanpa memperlebar kesenjangan. Hal yang tak kalah mendesak adalah menjaga kelestarian lingkungan.
Solusi dan perbaikan masalah mulai bermunculan di setiap kota. Inisiatif dan penyelesaian inilah yang kemudian diapresiasi Kompas dengan menyusun Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2018.
Peringkat yang dihasilkan menunjukkan sejauh mana implementasi konsep kota cerdas di tiap-tiap kota.
93 kota
Dalam IKCI 2018, hanya 93 dari 98 kota yang diikutkan dalam penyusunan. Lima kota di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tidak dimasukkan karena status lima kota itu berbeda, yakni berlabel kota administratif.
Pengukuran ke-93 kota ini dikelompokkan berdasarkan jumlah penduduk. Ada empat kategori: kota metropolitan atau kota dengan penduduk minimal 1 juta jiwa; kota besar, daerah berpenduduk lebih dari 500.000 jiwa hingga kurang dari 1 juta jiwa; kota sedang, daerah berpenghuni lebih dari 100.000 jiwa hingga 500.000 jiwa. Terakhir, ada kelompok kota kecil yang berpenduduk paling banyak 100.000 jiwa.
Enam pilar
Dalam IKCI 2018, konsep kota cerdas dikaitkan dengan semua usaha memecahkan masalah warga kota dan mewujudkan efisiensi sumber daya, termasuk energi. Aktivitas jasa diharapkan bisa didorong maju untuk melayani kebutuhan warga.
Konsep ini juga menitikberatkan pada upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Di ujung nanti, yang juga merupakan pencapaian paripurna kota cerdas, kualitas hidup warga kota diharapkan meningkat.
Mengingat luasnya konsep kota cerdas, penyusunan indeks ini berbasiskan Lingkaran Kota Cerdas milik Boyd Cohen. Dalam lingkaran tersebut, kota cerdas ini dibangun dari banyak aspek yang bisa dikelompokkan menjadi enam pilar, yakni lingkungan, mobilitas, pemerintahan, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup.
Indikator dari enam pilar tersebut kemudian diturunkan. Data sekunder terkait 93 kota dikumpulkan dari BPS dan lembaga lain. Angka dan informasi yang terhimpun diolah dan diboboti dengan pendapat 12 pakar. Pemberian bobot menjadi bagian penting agar metodologi yang diadopsi bisa lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
Masyarakat cerdas
Bobot terbesar dari enam elemen kota cerdas ada pada aspek masyarakat, terutama dalam hal pendidikan, kreativitas, dan inklusivitas.
Kota-kota yang unggul dalam IKCI 2018 umumnya memiliki inisiatif-inisiatif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Surabaya, misalnya, meme nangi posisi pertama kategori kota metropolitan.
Kota ini telah mengembangkan pusat industri digital start up dan penyediaan Koridor Coworking Space untuk mendorong industri kreatif. Selain itu, ada Rumah Bahasa yang bisa melayani warga belajar bahasa asing dengan gratis. Teknologi pun telah membantu memudahkan pendidikan di Surabaya.
Menurut Ridwan Sutriadi, penulis serial buku kota cerdas dari perspektif perencanaan kota yang juga pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Indonesia sudah memiliki perencanaan pembangunan dari tingkat daerah hingga nasional.
Rencana-rencana yang bersifat sektoral dan spasial inilah yang harus dikuatkan dengan ide kota cerdas, yaitu pembangunan berbasis pengetahuan secara kontinu. (RATNA SRI WIDYASTUTI DAN IGNATIUS KRISTANTO H/ LITBANG KOMPAS)