JAKARTA, KOMPAS - Penetapan anggota Komite Eksekutif PSSI, Johar Lin Eng, sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus ”jual beli” laga, Kamis (27/12/2018), diharapkan menjadi momentum membersihkan sepak bola nasional dari jerat pengaturan skor. Satuan Tugas Antimafia Bola Polri kini tengah gencar mengusut satu per satu kasus pengaturan skor di Tanah Air.
Selain Johar, Satgas Antimafia Bola juga menangkap dua tersangka terkait kasus suap sepak bola, yaitu mantan anggota Komisi Wasit PSSI berinisial Pr dan perempuan wasit, AY. Johar, Pr, dan AY diduga menjadi otak dari sejumlah kasus pengaturan skor di Jawa Tengah dalam kompetisi Liga 2 dan Liga 3.
Gebrakan Polri itu menuai banyak pujian dari sejumlah pihak. Penangkapan besar-besaran terhadap para terduga pelaku pengaturan skor ini adalah yang pertama kali dilakukan pada era liga sepak bola profesional, yaitu sejak 2008.
Apresiasi atas langkah Polri tersebut disampaikan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto yang sempat dimintai keterangan oleh Satgas Antimafia Bola. Gatot mendukung penuh langkah Polri yang tengah melakukan operasi besar penumpasan pengaturan skor.
”Jika kepolisian memanggil untuk minta keterangan, kami pasti memprioritaskan itu. Setidaknya saya membuktikan itu saat dipanggil Bareskrim Polri, Rabu lalu. Semua itu (pemberantasan mafia bola) sudah menjadi mimpi Kemenpora sejak 2015,” katanya.
”Kami meminta polisi tidak hanya mengusut puncak gunung esnya, tetapi juga ke akar-akarnya hingga tuntas,” ujar Gatot.
Pujian juga dilontarkan Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali. ”Langkah cepat Polri ini menunjukkan, mereka sangat serius ingin memerangi pengaturan skor.
Ini bisa menjadi pintu masuk untuk bersih-bersih sepak bola nasional. Polri menjadi tumpuan harapan publik ketika PSSI selama ini sulit diharapkan (dalam memerangi pengaturan skor),” ujar Akmal, Kamis.
Terkait hal itu, Akmal mengingatkan, polisi sebetulnya pernah mengusut sejumlah kasus dugaan pengaturan skor di masa lalu. Kasus itu salah satunya melibatkan mantan pemain sepak bola Johan Ibo.
Pada 2015, Ibo ditahan Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya karena diduga ingin menyuap pemain Pusamania Borneo FC pada laga kontra Persebaya Surabaya di Liga QNB. Ia lantas dilepas polisi karena kekurangan alat bukti.
Hal serupa terjadi pada terduga mafia judi asal Malaysia, David Cantona, pada 2017. Ia tertangkap hendak mengakali laga PSBK Blitar kontra Persegres Gresik United di ajang Piala Bung Karno.
Sejumlah uang rupiah dan dollar Amerika Serikat, yang diduga untuk suap, disita. Namun, ia lantas dilepaskan Polres Blitar, lagi-lagi dengan alasan kekurangan alat bukti.
Akmal berharap, kali ini Polri mampu menyeret para terduga pelaku pengaturan skor ke meja hijau. Ia menilai langkah Satgas Antimafia Bola memakai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana
Suap guna menjerat para pelaku tahun ini sudah sangat tepat. ”Undang-undang itu sebetulnya terlahir pada masa itu untuk mengatasi masalah maraknya suap sepak bola (pengaturan skor) di era Galatama.
Namun, undang-undang lama itu seolah dilupakan, seperti pada kasus Johan Ibo dan mafia di Blitar. Polisi menjerat mereka dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang sulit dibuktikan karena suap sepak bola bukan korupsi,” tutur Akmal.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, tidak tertutup kemungkinan polisi memeriksa dan menetapkan tersangka lain. Ketiga tersangka itu dimintai keterangan terkait kasus mereka dan potensi keterlibatan pihak lain.
”Nanti akan kami buatkan daftar (nama-nama lain) sesuai keterangan para saksi. Itu akan menyesuaikan fakta dan konstruksi hukum,” ujar Dedi.
Ketua Tim Media Satgas Antimafia Bola Komisaris Besar Argo Yuwono menambahkan, sejumlah daerah telah didatangi demi pendalaman kasus ini.
Johar dijemput paksa di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, berdasarkan pengembangan penyelidikan. Johar, yang juga Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jateng, memakai identitas palsu saat terbang dari Solo. (SAN/JOG/DRI/JON)