Relokasi Warga Penyintas Tsunami Selat Sunda Masih Terkendala
PANDEGLANG, KOMPAS – Rencana relokasi penyintas bencana tsunami Selat Sunda yang tinggal di sepanjang pesisir Pandeglang, Banten, masih terbentur sejumlah kendala, termasuk lahan dan kesediaan warga. Pemerintah daerah juga mengakui tidak mudah untuk menyiapkan penghidupan baru bagi warga pesisir.
Bupati Pandeglang Irna Narulita mengungkapkan, pemerintah masih kesulitan memperoleh lokasi lahan yang ideal untuk merelokasi penyintas bencana Selat Sunda di Pandeglang. Selain itu, proses relokasi perlu memerhatikan banyak aspek, seperti kesediaan masyarakat untuk pindah ke lokasi baru, menyiapkan pekerjaan pengganti, dan lingkungan sosial yang baru.
"Relokasi perlu pendekatan kepada warga. Juga menyiapkan warga untuk pekerjaan baru, seperti dari nelayan ke bercocok tanam. Kami juga mempertimbangkan lahan relokasi yang berada di ketinggian dan lokasinya layak serta aman,” kata Irna, saat ditemui di Kecamatan Labuan, Pandeglang, Kamis (27/12/2018).
Namun, Irna mengakui, relokasi penyintas bencana tsunami tetap perlu dilakukan. Pemukiman warga di pesisir pantai yang diprioritaskan untuk direlokasi antara lain di Kecamatan Carita, Labuan, Panimbang, dan Sumur. Permukiman itu umumnya berjarak kurang dari 100 meter dari garis pantai.
"Akan direlokasi setidaknya satu kilometer dari area pantai sesuai anjuran BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Itu guna menghindari tsunami di masa mendatang," ujar Irna.
Memperhitungkan anggaran
Irna menyebutkan, pencarian lahan untuk relokasi juga memperhitungkan kemampuan anggaran pendapatan dan belanja daerah Pandeglang. Meski ada opsi lain berupa bantuan dari Provinsi Banten dan pemerintah pusat.
Menunggu kejelasan lahan dan anggaran, untuk sementara waktu, warga dibebaskan untuk memilih tinggal di penampungan atau rumah kerabat.
Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0601/Pandeglang Letnan Kolonel (Inf) Nur Heru Wibawa mengungkapkan, salah satu lokasi yang dapat menjadi tempat relokasi adalah kawasan Tahura atau Taman Hutan Raya di Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang. Lokasi relokasi bisa dipertimbangkan di samping Tahura dan di masa depan dapat dikembangkan menjadi kampung wisata.
Namun, kata Letkol Nur Heru, dibutuhkan pertimbangan yang matang dan melibatkan pemerintah dan pihak terkait.
Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei menyatakan, area terdampak tsunami yang berada di perairan Selat Sunda bagian selatan merupakan daerah rawan bencana dengan risiko tinggi. Penduduk yang tinggal di wilayah tersebut mendesak direlokasi.
“Relokasi (perlu) dengan menyusun kembali tata ruang yang aman dari bencana,” ucap Willem, di Pandeglang, Rabu.
Willem memastikan pemerintah akan memberikan bantuan kepada penyintas bencana untuk membangun rumah sedangkan lahan untuk relokasi merupakan tugas dari pemerintah daerah. "Pemerintah daerah harus menyiapkan lahan yang relatif aman untuk relokasi korban terdampak tsunami. Setelah masa tanggap darurat selesai, kami akan membahas relokasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi," kata Will
Penolakan
Rencana relokasi ini menuai penolakan dari sebagian penyintas bencana yang tinggal di pesisir dan kebanyakan nelayan. Endang (36), warga Kampung Karang Mempek, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, mengaku tidak mau pindah dari kampungnya meskipun sebagian bangunan rumahnya rusak.
"Kalau pindah dari pinggir pantai, saya tidak bisa lagi mencari uang. Anak dan istri saya mau makan apa?" kata Endang, saat ditemui, Kamis sore. Rumah Endang berjarak 50 meter dari garis pantai.
Endang kehilangan perahu dan alat penangkap ikan. Dia lebih khawatir kehilangan alat pencari makan itu daripada kecemasannya terhadap posisi rumahnya yang paling dekat ke arah pantai. "Kalau pemerintah mau bantu, sebaiknya beri bantuannya perahu saja, biar saya bisa melaut lagi," ucap nelayan yang sudah melaut sejak kelas 4 SD ini.
Di samping rumah Endang, terdapat rumah Nuhani (70). Dinding dapur rumah itu jebol. Berdiri di ruang tamu, pandangan mata bisa melihat langsung ke arah pantai. Saat gelombang tsunami datang, Nuhani beserta istri dan cucu terseret hingga ke ruang tamu. Tetapi ia tetap enggan pindah dari rumah reyot ini. "Nanti kalau pindah, anak saya akan kerja di mana? Lebih baik saya dibantu untuk memperbaiki rumah ini," tutur Nuhani.
Nuhani menggantungkan hidup dari anaknya yang tinggal tak jauh dari kawasan itu. Anaknya juga bekerja sebagai nelayan. Keluarga ini menggantungkan hidup dengan memancing ikan. Sebagian hasil tangkapan menjadi sumber pangan, sisanya dijual.
Tanggapan serupa juga ditemui di Kampung Cipanon, Tanjungjaya. Kawasan kurang lebih dari 4 hektar ini berjarak 200 meter dari bibir pantai. Dari 170 kepala keluarga, 70 persen di antaranya nelayan. "Ini yang membuat kami berpikir panjang untuk pindah dari kawasan ini," kata Markasim, Ketua RW 05 Kampung Cipanon.
Namun, ada juga warga yang bersedia direlokasi dengan sejumlah persyaratan. Elyana (42), penjual nasi uduk di kawasan Pantai Cipanon, misalnya, mengaku mau direlokasi asal tempatnya berada di tepi jalan. Kawasan wisata Cipanon mengerek penjualan nasi uduk. Saat hari libur, ia mendapat hasil bersih Rp 500.000-Rp 1 juta.
"Saya orangtua tunggal. Ada anak tiga orang anak yang harus dibiayai. Kalau relokasi justru menghilangkan usaha saya, nanti anak-anak siapa yang harus membiayai," ucap Elyana.
Jakri (40), warga Desa Teluk, Kecamatan Labuan, juga sepakat dengan rencana relokasi. Ia merasa khawatir jika tsunami terjadi kembali. Rumahnya hanya berjarak 200 meter dari garis pantai “Saya setuju saja, asalkan rumah yang disediakan sudah siap ditinggali dan lokasinya aman,”kata Jakri.
Murtapiyah (28), warga Desa Carita, Kecamatan Carita, juga bersedia direlokasi. Walaupun rumahnya yang berada di jarak 200 meter dari laut tidak rusak diterjang tsunami, ia berharap bisa pindah untuk menghindari bencana serupa.
Berdasarkan data terakhir posko penanggulangan bencana tsunami Selat Sunda di Banten hingga Kamis sore, jumlah korban tewas akibat bencana Selat Sunda di Banten sebanyak 306 jiwa. Selain itu, bencana tersebut menyebabkan 32.538 orang mengungsi dan 757 terluka baik itu di Pandeglang maupun Serang.
Penanganan trauma
Memasuki hari keenam pascabencana tsunami, tindakan pemulihan trauma (trauma healing) dinilai sangat dibutuhkan oleh penyintas bencana tsunami Selat Sunda. Sebab, sebagian besar masyarakat masih trauma dengan bencana tsunami.
Camat Carita Suntama mengatakan, selain menjadi korban tsunami secara langsung, sejumlah penduduk wilayah itu juga menjadi korban secara tidak langsung. Sebanyak 4.020 penduduk yang tinggal di pantai saat ini mengungsi di 13 posko pengungsian yang tersebar di enam desa. “Sebagian besar penduduk Carita trauma terhadap tsunami karena rumah mereka sangat dekat dengan laut,” kata Suntama.
Meski tidak semua warga menderita luka fisik dan materiil karena rumahnya hancur, mereka cenderung takut untuk kembali ke rumah masing-masing. Oleh karena itu, kata dia, warga membutuhkan pemulihan trauma secepatnya. “Akan tetapi, hingga saat ini belum ada bantuan untuk pemulihan kondisi psikologis mereka,” ujar Suntama.
Trauma tersebut dirasakan betul oleh Eneng Bakriyah (32), warga Desa Carita, Kecamatan Carita. Rumahnya berada tepat di sebelah Mutiara Carita Cottage, yang jaraknya sekitar 200 meter dari laut. Sudah sejak Sabtu (22/12/2018) malam ia mengungsi ke Desa Tembong, Kecamatan Carita, untuk berlindung dari tsunami.
Eneng masih menangis setiap kali mengingat tsunami. Kesedihannya bertambah ketika mengingat kondisi anak bungsunya yang berusia dua tahun. Dagu dan leher bocah itu melepuh karena tersiram air panas saat lampu tiba-tiba padam karena tsunami. Ia berharap, ada bantuan untuk memulihkan traumanya akan kejadian yang terus terngiang-ngiang di kepala. (ILO/NIA/MTK/BAY/E10/E17)