Tata Ruang Menjadi Kunci Mitigasi Bencana
Bencana alam, termasuk tsunami, masih mengintai Indonesia yang dikelilingi oleh gunung api aktif dan berada di tubrukan beberapa lempeng bumi. Oleh karena itu, mitigasi bencana amat dibutuhkan.
Saat ini, tata ruang di sekitar pantai yang rawan tsunami menjadi hal utama yang mesti dibenahi. Sebab, sering kali tsunami, seperti juga bencana alam lainnya di Indonesia, selalu merenggut banyak korban. Hal ini menandakan negara yang telah ratusan kali terkena tsunami ini belum juga mau belajar.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak tahun 1629 hingga 2018 telah terjadi 177 tsunami besar ataupun kecil di Indonesia.
Bencana alam tsunami juga baru saja terjadi di pesisir pantai Selat Sunda, yang mengakibatkan banyak korban meninggal. Menurut data BNPB per 26 Desember 2018, korban meninggal telah mencapai 430 orang.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan Eko Yulianto mengatakan, banyaknya korban meninggal karena tinggal di rumah dan bangunan wisata yang berada di bibir pantai. Ditambah tidak adanya sistem peringatan dini mengakibatkan warga tidak bisa mengevakuasi diri lebih cepat.
Eko juga mengatakan, kewaspadaan sudah seharusnya terjadi sejak lama, melihat beberapa peneliti telah memublikasikan mengenai tsunami di sekitar Selat Sunda. Bahkan, spesifik yang diakibatkan oleh Gunung Anak Krakatu.
”Ada (publikasi penelitian tsunami akibat Gunung Anak Krakatau) dari tahun 1989 dan sebelum-sebelumnya. Peneliti sudah memberikan warning bahwa banyak tebing terjal (yang bisa berpotensi tsunami). Tahun 1990-an bahkan sudah ada yang memodelkan tsunaminya. Jadi, seharusnya bukan hal yang mengagetkan,” kata Eko.
Ia juga melanjutkan, bukan hal yang tidak mungkin tsunami susulan terjadi di Selat Sunda. Sebab, Gunung Anak Krakatau masih terus aktif dan lerengnya yang terjal masih bisa memicu longsor yang dapat mengakibatkan tsunami.
Perbaiki tara ruang
Untuk mengurangi jumlah korban, hal utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki tata ruang di area pantai. Tidak hanya rumah warga, saat ini fasilitas umum dibangun di pinggir pantai, misalnya Bandara Minangkabau di Sumatera Barat dan Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali.
Jarak antara bibir pantai dan bangunan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, ada pula Peraturan Presiden RI Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Pada Pasal 1 Ayat 2, tertulis sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
”Di Selat Sunda bahkan banyak bangunan terlihat hanya berjarak 3 meter dari bibir pantai. Masih sangat dibutuhkan perhatian lebih mengenai tata ruang di daerah rawan bencana,” kata Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Jika terpaksa ada bangunan di pinggir pantai, dibutuhkan desain bangunan yang khusus. Layaknya rumah panggung yang bagian bawahnya harus kosong sehingga bisa dilalui air jika ada gelombang yang datang. Namun, tetap tidak pada posisi yang terlalu dekat dengan bibir pantai.
Bangunan fasilitas publik, seperti rumah sakit dan sekolah, tidak seharusnya ada di sekitar pantai. Ini untuk mengantisipasi jika terjadi bencana, fasilitas ini dapat terus beroperasi. Fasilitas umum juga dinilai mengundang warga untuk membangun rumah di dekatnya. Jadi, jika ada fasilitas umum di pinggir pantai, akan banyak rumah warga juga.
Setelah tata ruang ideal, yang selanjutnya menjadi perhatian yaitu tersedianya shelter evakuasi. Shelter digunakan untuk mengevakuasi warga terdampak saat atau setelah bencana sehingga shelter harus disesuaikan dengan jumlah warga sekitar yang terdampak. Jika daerah itu merupakan obyek wisata, dibutuhkan tempat yang lebih luas untuk mengantisipasi banyaknya jumlah pengunjung.
Fasilitas yang harus tersedia pada tempat ini adalah dapur umum dan fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK). Shelter tidak harus bangunan baru, bangunan yang ada bisa dimanfaatkan menjadi shelter, salah satunya rumah ibadah bertingkat. Contoh lain hotel di Bali yang dijadikan shelter.
Selain bangunan, bukit yang tinggi juga bisa dijadikan shelter. Tinggal membangun jalan dan tangga menuju lokasi yang dinilai aman tersebut. Hal ini sudah dilakukan di Pulau Panjang.
Tata ruang dan shelter diwujudkan sejalan dengan menumbuhkan mitigasi bencana noninfrastruktur, seperti menanamkan kesadaran tanggap bencana kepada masyarakat. Sutopo menilai kesadaran tanggap bencana sudah harus menjadi budaya warga Indonesia.
Aspek kultural yang dimaksud mencakup ancaman tsunami, risiko, dan antisipasinya agar tidak memakan banyak korban. Jika warga sudah sadar akan tanggap bencana, pemerintah tidak lagi kesulitan merelokasi warga sekitar pantai ke tempat yang lebih aman.
Setelah pendidikan, tak terlupa sistem peringatan dini yang menjadi banyak perhatian saat bencana terjadi. Eko menilai sistem peringatan tidak perlu menjadi prioritas ketika tata ruang, shelter, dan pendidikan kepada masyarakat sudah dijalankan. Namun, ia tidak memungkiri pentingnya alat-alat peringatan dini.
”Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki alat untuk mendeteksi tsunami akibat longsoran vulkanik seperti yang terjadi di Selat Sunda kemarin,” ujarnya.
Indonesia baru memiliki alat untuk mendeteksi tsunami yang dipicu gempa tektonik, yaitu buoy. Namun, dari 22 buoy yang dimiliki Indonesia, tidak ada satu pun yang aktif akibat vandalisme oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Indonesia kini hanya memanfaatkan lima buoy milik negara lain yang ada. Harga buoy buatan Amerika Serikat seharga Rp 7 miliar sampai Rp 8 miliar. Untuk buoy buatan Indonesia seharga Rp 4 miliar.
”Sistem peringatan dini penting, tetapi tidak mendesak. Biayanya akan sangat tinggi dan teknologinya tidak awet selamanya. Hanya akan sampai beberapa waktu dan perlu pembaruan lagi sehingga membutuhkan biaya yang besar lagi. Untuk pembangunan jangka panjang, termasuk manusianya, pembenahan tata ruang ditempatkan paling depan,” kata Eko. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)