Gus Dur dan Keindonesiaan Kita
Judul Buku : Gus Dur, Islam Nusantara, & Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh & Papua 1999-2001
Penulis : Ahmad Suaedy
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Tahun 2018
Tebal Buku : xxxiv + 488 halaman
ISBN : 978-602-06-1813-5
Buku ini merupakan kesaksian mengenai sintesa unik yang membentuk figur, pemikiran, dan kiprah Gus Dur. Karya yang awalnya disertasi doktoral ini memberi kita salah satu dokumentasi lengkap mengenai perjuangan Gus Dur untuk membangun ”kewarganegaraan bineka” berlandaskan kesetaraan.
Istilah ”kewarganegaraan bineka” tersebut adalah terjemahan bebas Suaedy untuk menerjemahkan ”multicultural citizenship”.
Suaedy berhasil menunjukkan, gagasan visioner mengenai ”kewarganegaraan bineka” itu tidak diambil Gus Dur dari khazanah ilmu-ilmu sosial kontemporer di Barat, walau ia berdialog intens dengannya, tetapi sudah menjadi pergumulan teologis yang mewarnai kiprah NU sejak sangat dini.
Misalnya, ia merujuk pada syair yang menanamkan rasa nasionalisme di kalangan pesantren dan sejak 1916 dijadikan Piagam Nahdlatul Wathan.
Syair itu sudah menyebut kata ”bangsa” ataupun ”cinta tanah air”, tetapi yang menarik tidak menyebut kata ”Islam” dan ”Muslim” sama sekali. Bagi Suaedy, ini membuktikan bahwa gagasan tentang bangsa dalam piagam itu ”tidak hanya menunjuk secara eksklusif umat Islam atau bahkan umat pesantren, melainkan semua penduduk yang menetap di bumi Nusantara waktu itu” (hlm 123).
Aspirasi dasar inilah yang terus berkembang dan menjadi pergulatan teologis utama NU. Nantinya, lewat muktamar di Banjarmasin tahun 1936, aspirasi itu dirumuskan dalam Deklarasi Negara Bangsa sebagai Perwujudan Aspirasi Islam. Di situ, sekali lagi, NU menegaskan posisinya bahwa Nusantara yang plural ini merupakan dar al-Islam (daerah Islam).
Tetapi, sebagaimana dicatat Suaedy, di situ tidak ada ”keharusan untuk menjadikan syariat Islam atau Al Quran dan hadis sebagai dasar negara dan tidak menyebut penduduknya harus eksklusif Islam” (hlm 125-126).
Kembali ke Khittah
Kita tahu, alur pemikiran inilah yang kemudian menjadi elan vital NU saat mengambil keputusan kembali ke Khittah 26 di Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar Ke-27 di Situbondo tahun 1984.
Bersama KH Ahmad Shiddiq sebagai rais aam, Gus Dur memainkan peran utama dalam gerakan kembali ke Khittah 26 di tengah tekanan sangat kuat rezim Orde Baru.
Ada empat aspek mendasar gerakan kembali ke Khittah yang sampai sekarang masih sangat gayut dengan problem-problem kebangsaan kita dan karena itu perlu disebut sekilas.
Pertama, NU tidak lagi terikat pada partai politik mana pun, dan dengan begitu, keyakinan agama tidak lagi dikaitkan dengan kewarganegaraan secara eksklusif. Kedua, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kemasyarakatan dan kenegaraan: NU menjadikan Islam model ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja) sebagai akidah, sementara Pancasila sebagai asas.
Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final. Dan, keempat, akhirnya penegasan supremasi ulama di dalam organisasi NU (hlm 117-121).
Menurut Suaedy, sikap dasar itu merupakan cerminan dari tiga nilai dasar Aswaja yang menjadi teologi dan ideologi NU serta membingkai seluruh pemikiran dan kiprah Gus Dur.
Pertama, Aswaja mendasari ”resolusi konflik” pada masanya lewat tawaran metodologis keilmuan. Di situ, keabsahan suatu pandangan teologis ataupun sosial bukan didasarkan pada kekuasaan, melainkan pada keakuratan dan kesahihan metodologi yang dipakai.
Nilai kedua Aswaja ialah pengambilan jarak antara ide dan praktik agama dengan kekuasaan yang kerap membonceng dan memakai pandangan keagamaan demi kepentingannya.
Hal ini mengandaikan nilai ketiga Aswaja, yakni kemerdekaan masyarakat untuk meyakini dan menjalankan pandangan keagamaan tanpa campur tangan penguasa (hlm 397-399).
Tetapi, bagian paling menarik dan paling panjang dari buku Suaedy ini adalah ketika ia menelusuri konsistensi kiprah Gus Dur saat menghadapi tantangan pelik pada periode kepresidenannya: gerakan separatisme di Aceh dan Papua yang sedang mencapai puncaknya. Sejauh yang saya tahu, inilah buku pertama yang mengkaji—dan memberikan dokumentasi sangat lengkap—kiprah Gus Dur dalam soal pelik tersebut.
Pendekatan Gus Dur
Suaedy melukiskan secara rinci kiprah Gus Dur dan mengungkapkan beberapa ciri pendekatan Gus Dur yang menonjol. Gus Dur sesungguhnya sedang membalikkan paradigma state-centric, yang bertitik tolak dari negara dan sangat kuat mewarnai rezim Orde Baru, ke arah paradigma society-centric yang titik tolaknya warga negara.
Jika dalam paradigma state-centric tuntutan Aceh dan Papua merdeka dianggap ”separatis”, di tangan Gus Dur justru tuntutan itu merupakan tuntutan hak-hak warga negara yang selama ini diabaikan oleh negara.
Gus Dur memakai tiga instrumen penting untuk menyelesaikan konflik dan memenuhi tuntutan kewarganegaraan itu: memberikan pengakuan (recognition) terhadap martabat kemanusiaan, memberikan penghormatan (respect) terhadap seluruh eksistensi kultural dan kelokalan mereka, serta transformasi kelembagaan (institutional transformation) untuk menjamin pengakuan dan penghormatan itu (hlm 75-79).
Gus Dur melakukan hal itu dengan cara yang kerap dianggap nyeleneh karena para menteri dan pembantu terdekatnya kerap tidak tahu langkah-langkahnya dalam penyelesaian konflik di Aceh dan Papua. Ia lebih mengandalkan komunikasi dan informasi langsung dari masyarakat, bahkan dengan para eksponen separatis di Aceh dan Papua, ketimbang dari para pembantunya di pemerintahan.
Meskipun cara nyeleneh Gus Dur merepotkan dan sering dinilai negatif, tetapi efektif menerobos kebuntuan. Dalam kasus Aceh, Gus Dur berkali-kali mengirim utusan rahasia untuk bertemu dan membujuk para petinggi GAM agar mau berdialog walau ditentang kuat oleh militer dan para politisi lain.
Dalam kasus Papua, Gus Dur tidak hanya mengembalikan nama Papua, sebagai bentuk penghormatannya, tetapi juga menampung aspirasi masyarakat sejauh berada dalam bingkai NKRI.
Untuk Kongres Rakyat Papua II, yang dipersepsikan orang sebagai langkah persiapan kemerdekaan Papua, Gus Dur menyumbang Rp 1 miliar sehingga Tom Beanal berujar, ”Orang ini (Gus Dur–TS) tampaknya bukan orang lain. Dia seperti kita punya nenek moyang” (hlm 307).
Apa yang dilakukan Gus Dur, walau terasa nyeleneh, sebenarnya merupakan langkah agar masyarakat Aceh maupun Papua merasa ”diwongké” (dihormati sebagai manusia), diperlakukan dan dihormati sebagai sesama manusia, anak-anak bangsa.
Dengan cara unik dan sederhana ini, Gus Dur berhasil merawat keindonesiaan kita: menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama setiap kelompok masyarakat tanpa memandang perbedaan. Itulah visi kewarganegaraan bineka yang diperjuangkan Gus Dur.
TRISNO S SUTANTO Peneliti lepas, aktif di Paritas Institute