Jejak Bencana pun Tak Membuat Peka
Letusan Gunung Krakatau yang menyebabkan tsunami bukan hal asing bagi Nurjanah (46). Kisah itu menjadi cerita turun-temurun. Bahkan, hampir setiap hari Nurjanah melihat jejak bencana tsunami Krakatau di hadapannya.
Nurjanah berjualan minuman kepala muda persis di bibir pantai Cikoneng, kawasan Anyer, Serang, Banten, di samping Menara Suar Cikoneng. Sebuah menara yang menjadi jejak nyata kedahsyatan bencana tsunami akibat erupsi Krakatau pada 1883.
Berdasarkan keterangan yang tertulis di dalam menara tersebut, Menara Suar Cikoneng awalnya dibangun pada 1806. Namun, saat Krakatau meletus 1883, bangunan berbahan batu bata itu luluh lantak.
Raja Belanda ZM Willem III lalu membangun ulang menara suara tersebut pada 1885. Serpihan puing bangunan itu dijadikan monumen yang terletak di depan menara suar baru untuk memperingati letusan dahsyat Krakatau masa itu.
Setelah tsunami menerjang, ada kesadaran untuk mengubah konstruksi bangunan agar lebih tahan terhadap bencana.“Menara suar yang hancur karena tsunami itu dibangun dengan bata, sedangkan menara penggantinya dibangun dengan baja,” kata Mohammad Taufik (57), penjaga menara.
Tsunami pada 1883 dipicu oleh letusan Gunung Krakatau. Letusan dahsyat itu mengakibatkan runtuhnya tubuh gunung dan menyebabkan tsunami setinggi 20 meter. Bencana itu menelan 36.000 korban di pesisir Banten dan Lampung (Kompas, 24/12/2018).
Nurjanah tahu bahwa menara suar Cikoneng lama telah dijadikan monumen untuk memperingati letusan Krakatau yang berakibat tsunami tersebut. Selain itu, Nurjanah juga mendapat informasi mengenai letusan gunung tersebut secara turun temurun.
Berdasarkan kisah dari Buyut Ali, kakek dari suami Nurjanah, seluruh warga Desa Cikoneng selamat dari tsunami karena melarikan diri ke bukit. Dari kisah itu, Nurjanah juga mengetahui bahwa kehadiran tsunami diawali dengan surutnya air laut yang begitu drastis. Namun, hal itu tak lantas membangkitkan kesadaran Nurjanah agar terhindar dari bencana tersebut.
Abai
Selang lebih dari seabad usai kejadian 1883, tsunami Selat Sunda kembali melanda daratan Banten dan Lampung yang dipicu aktivitas Gunung Anak Krakatau. Persisnya pada Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21.30, gulungan gelombang yang diperkirakan setinggi 2 meter hingga 7 meter memporakporandakan pesisir Pandeglang dan Serang.
Pantai Cikoneng tidak terlalu terdampak akibat tsunami tersebut. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mensinyalir masih ada potensi tsunami susulan yang dapat terjadi aktivitas Gunung Anak Krakatau.
BMKG pun menerbitkan imbauan agar warga menjauhi pesisir pantai dengan radius 500 meter hingga 1 kilometer. Terlebih, status Gunung Anak Krakatau kini sudah berstatus siaga.
Namun, Nurjanah merespons biasa saja imbauan tersebut. Dia sudah kembali membuka warungnya dan berjualan pada Rabu (25/12/2018), selang tiga hari dari tsunami. Warung dia hanya berjarak 10 meter dari laut.
“Habis bagaimana, kebutuhan keluarga harus dipenuhi. Cucu saya kalau minta jajan juga enggak bisa ditunda,” kata Nurjanah saat menjajakan kelapa muda di warungnya. Dari sekitar 10 warung yang ada di kompleks tersebut, hanya miliknya yang beroperasi.
Dalam kondisi normal, ia bisa mengantungi uang Rp 300.000-Rp 400.000 per hari. Namun, setelah tsunami penghasilannya sekitar Rp 50.000 per hari. Dia mengakui, sumber penghasilan utama keluarganya dari hasilnya berjualan karena suaminya yang bekerja sebagai nelayan belum dapat melaut pascatsunami.
Padahal, Nurjanah tahu bahwa getaran dan erupsi Gunung Anak Krakatau masih terus terjadi. Dari warungnya, kepulan asap dari ujung gunung tersebut juga terlihat jelas. Bahkan, abu vulkanik juga memenuhi kursi bambu di warung itu. “Kami pasrah saja. Semua kan sudah ada yang mengatur,” kata Nurjanah.
Tidak hanya Nurjanah, sebagian masyarakat lain di lokasi terdampak bencana tsunami di pesisir Banten juga abai dengan bencana tsunami. Mereka mengaku tidak ada pilihan lain karena harus tetap menghasilkan uang.
Muslim (22), pedagang Pecel Lele, di kawasan Pantai Lagundi Carita, bahkan membuka warungnya sehari berselang tsunami Selat Sunda menerjang daratan Banten, termasuk Pantai Lagundi. “Memang sih ada trauma. Tapi kami tidak ada penghasilan lain kalau tidak buka warung,” kata Muslim.
Neneng (43), warga Kampung Lelang Baru, Panimbang, Pandeglang, Banten, sudah mengetahui imbauan tersebut. Tetapi ia tetap mendiami rumahnya yang hanya berjarak 15 meter dari pinggir pantai. "Saya mah kalau malam mengungsi kok, cuma siangnya kembali ke sini lagi," kata Neneng saat menyapu halaman rumah, Jumat (28/12/2018).
Neneng tidak khawatir berada di tepi pantai saat siang hari. Sebab, situasi ombak laut bisa terlihat jelas. "Nah, kalau malam kan ombaknya tidak kelihatan, makanya saya mengungsi," kata dia.
Sebelum tsunami melanda kawasan ini, Neneng terbiasa dengan gelombang laut yang tinggi. Setiap bulan Desember, kata dia, terjadi musim angin barat. Saat itu, gelombang laut bahkan mencapai halaman rumahnya. "Karena tsunami ini saja maka semua pada panik," katanya.
Jejak di Lampung
Di Taman Dipangga Kota Bandar Lampung, berdiri satu monumen peringatan peristiwa tsunami akibat letusan Gunung Krakatau 1883. Monumen itu berupa buoy setinggi 1,5 meter.
Di bagian bawah buoy terukir relief melingkar yang bergambarkan letusan Gunung Krakatau dengan gelombang tinggi di sekitarnya.
Menurut penuturan warga yang tinggal di sekitar monumen, Hasan (65), buoy itu dulu ditemukan tersangkut di atas bukit. Tak jauh dari buoy juga ditemukan bangkai kapal yang terempas hingga ke atas bukit akibat tsunami.
Kini bangkai kapal telah tiada karena bagian-bagiannya habis dipreteli dan dijual. Hanya buoy itu saksi amukan Gunung Krakatau yang tersisa dan membekas hingga kini.
Masyarakat Kota Bandar Lampung dapat menyaksikan monumen dengan jelas karena berlokasi di pusat kota. Lewat monumen itu mereka mengerti risiko bencana tsunami yang terus mengintai mereka.
Namun, pemahaman warga Kota Bandar Lampung terhadap mitigasi bencana masih rendah. Bukti adanya buoy yang terhempas ke daratan seperti yang ada di Taman Dipangga itu tampaknya tidak membuat warga sekitar sadar akan bahaya yang dapat ditimbulkan tsunami.
Hasan pun sama sekali tidak merasa was-was atau takut akan terjadinya tsunami ketika Gunung Anak Krakatau statusnya naik menjadi siaga.
"Saya tahu dari cerita turun-temurun kalau dulu sempat ada tsunami besar sekali akibat Gunung Krakatau. Tapi saya kira sekarang tidak akan terjadi lagi yang sebesar itu," kata Hasan yang sehari-hari berdagang es kelapa muda di pelataran monumen. (NIA/MTK/BAY/SPW/IGA/E10/E17)