Dalam diskusi tentang enegi di Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2000-2009) Purnomo Yusgiantoro menyampaikan, untuk memenuhi target bauran energi baru terbarukan 23 persen pada 2025, hanya bisa dilakukan melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Dengan cara seperti saat ini, sulit mencapai target yang setara dengan kapasitas listrik 45.000 megawatt.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, peran energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional paling sedikit 23 persen. Perannya diperbesar menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050. Sampai saat ini, porsi energi baru terbarukan kurang dari 10 persen.
Dalam bauran pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), porsi energi baru terbarukan sekitar 12,32 persen atau setara dengan 7.500 MW.
Dengan laju pertumbuhan pembangkit listrik energi baru terbarukan di Indonesia yang lamban, sangat sulit -untuk tidak mengatakan mustahil- mencapai target yang diamanatkan PP No 79/2014. Laju penambahan kapasitas terpasang listrik dari energi baru terbarukan hanya sekitar 500 MW hingga 600 MW per tahun. Jika kapasitas terpasang listrik dari energi baru terbarukan pada 2025 harus 45.000 MW, maka mulai tahun depan harus ada pertumbuhan kapasitas terpasang rata-rata 5.300 MW. Apakah mungkin hal itu bisa dicapai
Kembali ke awal pembahasan, bagaimana dengan nuklir? Pembicaraan soal nuklir untuk listrik di Indonesia masih menuai polemik. Rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, pada 2007 ditolak masyarakat. Ketakutan bahaya radiasi nuklir menjadi alasannya. Hingga kini, tak ada lagi kabar kelanjutan pembangunan PLTN di Indonesia. Mengulang yang pernah dikatakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar, tak mudah mendapat lokasi yang tepat dan tak ada penolakan untuk membangun PLTN.
Padahal, mengacu hasil jajak pendapat yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pada 2016, sebanyak 77,53 persen masyarakat setuju terhadap pembangunan PLTN. Sisanya, sebanyak 22,47 persen menyatakan tidak setuju. Yang setuju berpendapat Indonesia perlu keandalan pasokan listrik dan harga listrik yang murah. Adapun yang tidak setuju menyebutkan alasan dominan berupa bahaya radiasi dan limbah radio aktif.
Pada PP No 79/2014, peluang penggunaan nuklir masih terbuka. Namun, ada catatan pembangunan PLTN di Indonesia, yaitu menjadi opsi terakhir dan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat. Hal itu tertulis dalam Pasal 11 Ayat 3.
Pada buku Outlook Energi Indonesia 2018 yang diterbitkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), nuklir berpotensi sebagai substitusi energi fosil dan akan memperkaya sumber energi baru terbarukan di Indonesia. BPPT menyebutkan, pada 2050, pembangkit listrik berbahan bakar nuklir diperkirakan sudah beroperasi dengan porsi sekitar 3 persen.
Lalu, bagaimana sebaiknya arah pengembangan nuklir untuk listrik di Indonesia? Belum ada peta jalan pengembangan nuklir untuk listrik di dalam negeri. Selain itu, masih ada persoalan tentang persepsi masyarakat yang perlu dituntaskan. Seiring kian pesatnya perkembangan teknologi, faktor keamanan adalah isu utama, yang kemajuannya terus membaik. Pada akhirnya, semua tidak lepas dari niat pemerintah dan dukungan masyarakat. (Aris Prasetyo)